Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laode Caludin, 51 tahun, bergegas menambatkan perahu di tiang kayu, di Pantai Manokwari, sore itu. Dengan sedikit tergopoh dia bawa ikan tangkapannya menuju pasar untuk dijual. "Sekarang ikan kian susah ditangkap," kata Caludin akhir November lalu.
Caludin kini memang hanya mampu mengais rezeki Rp 1 juta per bulan dari laut. Dulu, pada 1990-an, pendapatannya jauh lebih besar. "Bisa sampai Rp 15 juta sebulan," kata ketua kelompok nelayan Borobudur di Kelurahan Padarni, Distrik Manokwari Barat, ini.
Ikan memang seolah-olah menjauh dari pantai. Para nelayan, kata Laode Musadi, rekan Caludin, harus berlayar setidaknya 50 kilometer dari garis pantai. Padahal dulu mereka cukup menempuh 16 kilometer sudah panen ikan. "Saya harus memacu motor hingga empat jam," ujar pria 45 tahun ini. Hasilnya pun tak lagi 200 ekor ikan seperti masa kejayaan dulu. "Kini hanya sanggup separuhnya."
Musadi juga mengamati, pola cuaca makin kacau dalam sepuluh tahun terakhir. Kata dia, nelayan tak lagi bisa meramalkan keadaan. Dia mencontohkan, pernah muncul badai besar saat masa teduh ikan. Akibatnya, sebuah perahu nelayan tenggelam.
Apakah lautan Manokwari memang sudah berubah? Setidaknya keadaan itu bagai membenarkan hasil penelitian Camilo Mora, ilmuwan dari University of Hawaii di Manoa, Amerika Serikat, yang dirilis Oktober lalu. Lewat analisis pemodelan iklim, Mora dan timnya meramalkan Manokwari akan menjadi kota pertama di dunia yang terkena dampak perubahan iklim. Dan itu akan terjadi pada 2020, alias tujuh tahun lagi!
Kota ini mendahului kota lain di dunia, yakni Kingston di Jamaika (2023) serta kota-kota di Palau (2023), Gabon (2024), Haiti (2025), Kamerun (2025), Sierra Leone (2028), Republik Demokratik Kongo (2028), dan Bahama (2029). Jakarta juga akan terÂimbas pada 2029. Kota terakhir adalah Anchorage di Alaska, dekat Kutub Utara, pada 2071.
Di luar Anchorage, menurut Mora, semua kota di wilayah tropis itu akan mengalami kenaikan suhu udara sebelum 2030. Tapi sebenarnya, "Efek perubahan iklim sudah mulai kita rasakan," kata Mora dalam artikelnya yang diterbitkan di jurnal Nature itu.
Tujuan riset Mora itu memetakan skenario dampak perubahan iklim terhadap wajah bumi. Dia meneliti 265 kota yang tersebar di semua benua. Kota-kota yang terpilih mewakili letak geografis berdasarkan garis lintang, dari ekuatorial sampai kutub. Dari Indonesia, ia mengambil sampel Jakarta dan Manokwari.
Analisis dilakukan terhadap 39 model iklim dari 12 negara dan 21 pusat data global. Datanya berupa suhu udara, kadar keasaman air laut, suhu permukaan laut, tingkat presipitasi, dan evaporasi. Seluruh data lalu diolah komputer.
Menurut Mora, kawasan tropis menjadi "korban" pertama yang didera kenaikan suhu udara paling ekstrem sepanjang sejarah. Kawasan tropis paling rentan justru karena kondisi lingkungannya yang relatif stabil. Fluktuasi suhu air dan udara sepanjang tahun sangat minim. Akibatnya, perubahan kecil saja pada suhu rata-rata tahunan akan memicu ketidakseimbangan iklim.
Kenaikan dua derajat Celsius, misalnya, akan menyebabkan gangguan musim tanam dan panen. Juga mempercepat penyebaran penyakit dan mendorong laju migrasi organisme ke daerah yang lebih dingin. Dari khatulistiwa, efeknya lalu menjalar ke utara dan selatan hingga kutub. Indikasinya sudah terlihat. Rata-rata suhu bulanan terendah sepanjang 35 tahun ini lebih panas dalam kurun 150 tahun terakhir.
Mora mengingatkan kenaikan suhu udara ini akan memicu efek domino. Melelehnya es kutub, meningginya permukaan laut, air laut yang semakin asam, dan cuaca ekstrem hanyalah sebagian efek. "Negara padat penduduk dan minim sumber daya adalah yang paling rentan," katanya.
Skenario versi Mora hanya terjadi jika laju emisi karbon tetap seperti sekarang. Jika emisi karbon—dikenal juga sebagai gas rumah kaca—bisa direm atau dikurangi, dampaknya bisa diperlambat.
Dr Eng Hendri, koordinator perubahan iklim di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Negeri Papua, sependapat bahwa kawasan tropis merupakan tempat yang paling rentan. Gejalanya bahkan sudah dirasakan sejak beberapa tahun lampau. "Kita sudah sulit memperkirakan musim," ucapnya.
Gandi Purba, rekan Hendri, mengatakan ada hal lain yang harus ditanggung selain dampak global emisi gas rumah kaca. Beban itu adalah terjangan fenomena alam, seperti El Nino dan La Nina. "Yang paling terasa adalah Papua, yang merupakan daratan besar di Western Pacific," ujarnya.
Keduanya berpendapat nantinya yang paling awal terkena dampak perubahan iklim bukanlah Manokwari. Menurut Hendri, negara kepulauan di Pasifik, seperti Palau, Mikronesia, Solomon, Haiti, Marshall, Seychelles, Samoa, Bahama, dan Tuvalu, adalah yang lebih dulu terkena pada tujuh tahun mendatang. "Awal perubahan iklim ada di sepanjang daerah di Samudra Pasifik," katanya.
Mendebat kota mana yang lebih dulu mungkin sudah tak diperlukan lagi. Sebab, gejala perubahan itu sudah dirasakan meluas. Bukan hanya para nelayan di Manokwari yang kini bingung oleh perilaku lautnya. Mereka yang mengamati kawasan Raja Ampat juga merasakan perubahan.
Direktur Program Kelautan The Nature Conservancy (TNC) Abdul Halim mengatakan kawasan permukaan laut Raja Ampat sudah mengalami kenaikan suhu beberapa tahun terakhir. TNC memasang temperature logger di perairan Kofiau, Kepulauan Raja Ampat, pada 2009. Ternyata diketahui suhu di sana tetap hangat dan bertahan hingga awal 2011.
Jangan remehkan suhu yang menghangat ini. Sebab, dengan kian semlenget-nya permukaan laut, habitat terumbu karang bakal megap-megap. Lalu akan terjadi pemutihan karang atau coral bleaching, yakni ketika Zooxanthellae meninggalkan polip karang yang menjadi rumahnya. Rupanya, mereka stres terkena air laut yang menghangat.
Pemutihan karang juga dipengaruhi tingginya konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Lautan, seperti halnya pepohonan, akan menyerap karbon dari atmosfer. Ini memicu pengasaman air laut yang pada akhirnya membikin Zooxanthellae puyeng.
Hingga kini, terumbu karang di kawasan Raja Ampat memang masih ayem. Itu terjadi karena adanya fenomena upwelling, yakni gerak vertikal arus dari dasar dengan temperatur dingin dan kaya nutrisi ke permukaan laut. Proses alami ini sangat membantu mendinginkan suhu air laut di permukaan. Itulah yang sejauh ini menyelamatkan komunitas terumbu karang Raja Ampat.
Pertanyaannya: kenapa komunitas terumbu karang di Manokwari dan Teluk Cenderawasih tak setahan yang di Raja Ampat itu? Menurut Manajer Program Conservation International di Papua, Alberth Nebore, perairan Teluk Cenderawasih tidak berfluktuasi sebagaimana kawasan terbuka seperti Raja Ampat. "Ini menyebabkan potensi terumbu kolaps akibat pemanasan global sangat terbuka," ujarnya.
Maka di sinilah sinyal bahaya menyala. Menurut Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas dan Penelitian Dewan Nasional Perubahan Iklim Agus Supangat, pemutihan akan berpengaruh langsung terhadap rantai makanan. "Nanti suatu saat tidak ada lagi ikan," katanya.
Melihat yang terjadi di lapangan, jangan-jangan waktunya akan lebih cepat dari tujuh tahun. "Tamu kita memang sudah datang," ujar Agus. Tamu yang dia maksud tentu saja perubahan iklim. Sang tamu mungkin sudah datang, tapi belum mengetuk pintu. Jadi masih ada waktu untuk bersiap-siap.
Mahardika Satria Hadi, Jerry Omona (Manokwari)
Prediksi
Perubahan Iklim Manokwari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo