Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Tanpa Operasi di Kepala

Tak perlu operasi terbuka, lewat radiasi sinar gama, tumor di bagian kepala mati dengan sendirinya.

16 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rudi Rahman kini sudah bisa kembali mengemudikan mobil dengan percaya diri. Direktur Dana Pensiun Lembaga Keuangan Bank Mandiri ini tak lagi syak dalam mengira-ngira jarak mobil di belakangnya. "Dulu tuh rasanya jauh, tapi tiba-tiba sudah ada di depan," ujar pria 43 tahun ini. "Sekarang sudah sama (jaraknya)." Hanya terkadang gangguan penglihatan spasial masih membuatnya kha­watir.

Dua tahun lalu, Rudi tak hanya keder saat menyetir, tapi juga buat sekadar berdiri berlama-lama. Migren dan vertigo datang tak diundang setiap hari menyengat kepalanya. Biasanya, dengan menenggak obat analgesik (antinyeri), gejala itu reda. Tapi, sedari awal 2012, analgesik sudah tak mempan, hingga Rudi pun memutuskan ke dokter saraf dan dilanjutkan tes darah.

Hasil tes darah menunjukkan kadar kolesterolnya tinggi. Tapi, ketika kadar kolesterol sudah stabil di bawah 200 miligram/dl, pusing enggan menghilang, bahkan telinga kirinya mulai berdenging. Terapi ke dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorok tak menghilangkan gejala tersebut.

Dokter saraf yang dikunjungi merekomendasikan pemeriksaan dengan pencitraan resonansi magnetik (MRI). "Setelah dilakukan MRI, ternyata ada tumor dengan diameter 4 sentimeter," kata Rudi. Lokasinya di batang otak, area yang menghubungkan otak dengan sumsum tulang belakang. Rudi divonis menderita acoustic neuroma, tumor yang tumbuh lambat di saraf yang menghubungkan telinga dan otak. Sejak kecil Rudi sudah membawa tumor ini, karena perkembangannya hanya satu milimeter per tahun. Cuma sekarang, setelah berusia 43 tahun dan ukuran tumor mencapai 4 sentimeter, dia baru merasa sakit.

Vonis tumor di kepala itu membuat Rudi bergerilya mencari pengobatan. "Saya menghindari operasi terbuka, selain efek psikologis, ada beberapa teman yang setelah dibuka (tempurung kepala), penyembuhannya semakin jelek," ujarnya.

Dokter yang memeriksanya menambahkan informasi tak enak. Karena lokasi tumor di batang otak sebelah kiri, kalau tempurung kepala dibuka, telinga kiri berisiko tuli. "Saya kepingin ditangani dengan risiko serendah mungkin," Rudi menambahkan. Lewat diskusi dengan sejumlah kolega dan hasil penelusuran Internet, ia menemukan operasi radiasi dengan sinar gama (gamma knife radiosurgery). "Saya baca literatur, saya ikut mailing list pasien sinar gama, saya yakin dan saya pilih ini," ujarnya. Operasi dengan prosedur itu membutuhkan biaya US$ 12 ribu atau sekitar Rp 13 juta.

Pada medio Oktober 2012, Rudi menjalani operasi di Rumah Sakit Siloam Karawaci. "Sabtu ke sana, Selasa langsung disinar," katanya. Selasa pagi ia berangkat, kemudian menjalani persiapan operasi. Siangnya masuk mesin sinar gama seberat 20 ton yang berbentuk persegi dan memiliki lubang di tengah dengan tempat tidur portabel tepat di depan liang.

Rudi berbaring di dipan bergerak tersebut dalam keadaan tak sadar. Bagian tubuhnya dari bahu ke atas masuk ke lubang tersebut. Di dalam lubang, 200 titik sinar gama mengion kepalanya selama kurang-lebih satu setengah jam. Rampung penyinaran, Rudi istirahat hingga memulihkan kesadarannya, lalu pulang.

Sinar gama yang menyorot kepala Rudi itu berasal dari cobalt 60, bahan radioaktif buatan yang memiliki waktu hidup hanya lima tahun. "Kalau lebih dari itu (lima tahun), dianggap energinya tidak sesuai," kata ahli onkologi radiasi Susworo. Dokter di RS Siloam Karawaci ini menjelaskan bahwa Rudi menjalani operasi tanpa membuka batok kepala. "Logikanya sederhana, seperti kaca pembesar dengan matahari," ujar Susworo.

Sinar matahari yang dilewatkan melalui suryakanta dan menembus kertas di bawahnya hanya akan mengenai satu fokus. Dari fokus tersebut, api membesar dan membakar seluruh kertas. Tumor di kepala adalah kertas di bawah suryakanta tersebut. Bedanya, untuk menghancurkan sel-sel yang hidup dalam tumor, tembakan perlu dilakukan dari berbagai arah dengan dosis tertentu.

Besaran dosis ditentukan oleh ahli onkologi radiasi. Tapi, untuk area yang ditembakkan, perlu dokter bedah saraf yang membuat rancangan tiga dimensinya. Terakhir, ada fisika medis yang menentukan kadar 200 titik sumber sinar dalam mesin agar bisa tepat sasaran. Pasien yang akan disinar biasanya sudah melakukan MRI awal untuk mengetahui keberadaan tumor. Tapi, sebelum operasi, pasien harus menjalani MRI lagi, yang dilengkapi helm khusus segi empat yang menghasilkan 200 potongan kepala, dari axial (atas ke bawah), sagital (samping kanan ke kiri), hingga coronal (depan ke belakang).

Di komputer, dokter bedah saraf kemudian membuat batasan-batasan tumor yang akan disinar atau dikenal dengan nama perancangan. "Butuh dokter saraf yang mengidentifikasi kelainan itu dengan tepat. Kalau tidak, nanti bisa ke mana-mana (sinarnya)," kata dokter bedah saraf Lutfi Hendriansyah. Terakhir adalah penyinaran dengan dosis yang ditentukan oleh ahli onkologi radiasi. Sebenarnya ada patokan dosis dari literatur kedokteran, tapi untuk setiap pasien perlu penyesuaian lagi.

Sewaktu disinar, dosis terbesar yang terkena sinar adalah bagian tengah tumor. Makin ke pinggir, kata Lutfi, berkurang intensitas sinarnya hingga tidak ada sama sekali pada batas yang sudah dibuat dalam perancangan tadi. Diharapkan dosis penyinaran yang menurun tersebut tidak mengganggu struktur saraf di luar tumor. "Ini yang disebut central necrosis, kematian bertahap dari pusat," ujarnya.

Kematian sel terjadi karena sel tumor di pusat telah mengalami perubahan sifat akibat penyinaran. Dalam biologi radiasi, menurut fisikawan medis Elia Soediatmoko, sifat pembawa keturunan tumor tersebut sudah berubah. Tumor yang disinar tetap berkembang biak. Tapi, karena sel induk yang membawa sifat sudah berubah, perlahan ia akan mati. Lantaran sel induk itu adalah penyuplai makanan, jadi sel-sel baru yang lahir perlahan mati. Efeknya, ukuran tumor menyusut, warnanya berubah. Kalau dari MRI, terlihat mulai menggelap, yang menunjukkan area kematian sel.

Tumor yang mulai menyusut itu lama-lama bisa hilang. Caranya, menurut Lutfi, lewat saluran pembuangan tubuh: keringat, urine, atau feses. Tubuh manusia yang sehat akan membuang sel yang mati dengan sendirinya. Karena gamma knife baru satu setengah tahun di Indonesia, belum ada pasien yang total hilang seluruh tumornya. Waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui kematian 100 persen sel tumor adalah dua-empat tahun. "Dari evaluasi kami, kebanyakan sudah terjadi kematian sel di tengah, dan ukurannya mengecil," ujar Lutfi.

Hasil pemeriksaan MRI Rudi pada 16 November lalu membuktikan ucapan Lutfi. Bulatan tumor yang awalnya bergaris tengah 4 sentimeter dalam setahun menyusut menjadi 3 sentimeter. "Alhamdulillah, ini bukan ganas dan tidak menyebar," katanya.

Kepala Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Diatri Nari Lastri mengatakan banyak cara mengatasi tumor otak, baik operasi terbuka, operasi radiasi, maupun terapi radiasi. Untuk operasi terbuka, ada risiko edema atau pembengkakan cairan. Namun dokter biasanya sudah mengantisipasi risiko seminimal mungkin. Lalu, dengan radiasi, perlu penghitungan yang cermat untuk melokalisasi daerah yang akan disinar. "Setiap tindakan medis itu ada efek samping dan risikonya," ujarnya lewat surat elektronik.

Operasi dengan sinar gama, Diatri mengatakan, sudah dikenal di dunia medis untuk tumor yang letaknya sulit. Misalnya terlalu dalam sehingga sulit untuk dilakukan operasi atau terapi radiasi. "Jadi ketepatannya lebih baik," katanya.

Tidak semua tumor bisa ditangani dengan mesin buatan Swedia ini. Ukuran menjadi pertimbangan untuk melakukan operasi. "Tumor yang terlalu besar akan menekan saraf. Kalau memakai cara ini, sembuhnya lama," ujar Lutfi. Proses sentral necrotic tidak bisa langsung terjadi dalam hitungan hari. Idealnya, kata Lutfi, ukuran tumor yang bisa ditangani memiliki diameter 3 sentimeter atau berkisar 3 sentimeter kubik. Di atas ukuran tersebut, harus ada kajian untung-ruginya.

Saat ini gamma knife, yang awalnya dikembangkan dokter bedah saraf asal Swedia, Lars Leksell, baru bisa untuk kelainan tumor otak dan kelainan non-tumor otak (arterio venous malformation atau varises otak dan trigeminal neuralgia alias nyeri wajah). "Masih dikembangkan untuk kelainan fungsi otak, seperti epilepsi, parkinson, dan tremor," ujar Susworo.

Dianing Sari


Operasi Radiasi dengan Sinar Gama

Mesin Sinar Gama
Mesin sinar gama seberat 20 ton

Dokter
Dokter bedah saraf kemudian membuat batasan-batasan tumor yang akan disinar. Dosis penyinaran ditentukan oleh ahli onkologi radiasi.

Bingkai Stereotactic
Kepala pasien dipasangi bingkai Stereotactic dan saling bertautan ke unit radiasi gama. Bertujuan untuk presisi yang maksimal.

Sinar Gama
Di dalam lubang, 200 titik sinar gama mengion kepala selama kurang lebih satu setengah jam. Sinar gama berasal dari cobalt 60.

Tumor
Tumor di batang otak, area yang menghubungkan otak dengan sumsum tulang belakang. Akibat penyinaran, sel induk penyuplai makanan akan mati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus