Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Sarang Primata di Belantara Jakarta

Jakarta kini memiliki pusat konservasi primata terbesar di dunia. Baru sebulan dibuka, mereka bisa mengelola keuangan secara mandiri.

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETAHUN lalu, sebagian warga Jakarta menghujat rencana kedatangan empat sekawan ini. Namun kini Kimbo, Kihi, Kidjoun, dan Komu itulah yang dicari masyarakat untuk mengisi waktu di saat libur sekolah. Menyaksikan tingkah laku empat gorila yang ditempatkan di Pusat Primata Schmutzer di Ragunan itu memang menyenangkan untuk melepaskan penat sambil berekreasi bersama keluarga. Di sana, primata asli Afrika yang baru empat bulan lalu didatangkan dari Kebun Binatang Howletts Fort Lympne, Inggris, itu terlihat sudah kerasan dengan lingkungan barunya. Mereka saling menggaruk dan riang berkejaran di kandang terbuka seluas 6,2 hektare yang dilengkapi gua bawah tanah itu. Dengan bersemangat gorila yang berusia 5-7 tahun ini mematah-matahkan sederetan pohon tebu yang mulai menggundul akibat dilahap hewan pemakan tanaman ini. Tingkah polah raja pegunungan Kongo ini tak terganggu oleh pelototan mata puluhan pengunjung yang menjejali pagar pembatas kandang seharga Rp 6 miliar itu. Soal biaya, itulah yang pada Oktober 2001 lalu diramaikan sampai ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta. Itu bukan biaya pembangunan kandang, karena soal ini ditanggung oleh sumbangan Nyonya Puck Schmutzer?orang Belanda keturunan Indonesia?melainkan biaya perawatan gorila. Sebagian anggota DPRD Jakarta tak setuju biaya itu dibebankan pada pengunjung. Nyatanya, baru sebulan pusat primata ini dibuka, uang telah mengalir dengan lancar, sampai-sampai Gubernur Sutiyoso pertengahan November lalu berpesan agar kemandirian keuangan ini ditiru oleh Kebun Binatang Ragunan. Tak bisa dimungkiri, Pusat Primata Schmutzer telah menjelma menjadi kawasan konservasi primata berkonsep taman margasatwa terbesar di dunia. Bahkan, meski baru dimanfaatkan sebagian dari total area 16,2 hektare (kandang gorila serta kandang orang utan dan simpanse yang sedang dibangun), Schmutzer sudah menjadi yang terbesar. Bandingkan dengan pusat primata terbesar selama ini, di Leipzig, Jerman, yang luasnya 4,5 hektare. Selain gorila, di sini terdapat pula hewan endemis Indonesia seperti siamang, lutung jawa, owa, dan kukang. Sebagian besar kandang dibangun dengan konsep terbuka. Konsep kandang terbuka biasa dipakai oleh kebun binatang modern. Menurut penyelia Pusat Primata Schmutzer, Willie Smits, berbagai fasilitas bagi primata yang tersedia di sini berkelas internasional dengan standar kebun binatang masa kini. Pujian dilontarkan pula oleh anggota tim evaluasi pusat primata dari Howletts Fort Lympne Animal Wild Life Park, Inggris, yang memberikan nilai cemerlang untuk kondisi lingkungan fisik dan perawatan hewan di pusat primata ini. Penyebabnya, ujar Smits, pihaknya berupaya menciptakan lingkungan dan tempat berlindung yang semirip mungkin dengan habitat aslinya. Pusat primata ini diharapkan tidak cuma mempertontonkan koleksi primata. Yang lebih penting, lokasi ini dapat menjadi wilayah konservasi dan pendidikan primata di Indonesia. Tujuan itu, menurut Smits, sejak semula memang dicita-citakan penggagasnya, Nyonya Puck Schmutzer, yang lama hidup di Indonesia dan wafat pada 1998. Karena tujuannya sebagai wilayah konservasi, kelak, menurut Smits, primata yang ada di sini akan dibiarkan berkembang biak sebagaimana di alam aslinya. Fungsi konservasi ini juga diharapkan oleh Direktur Taman Safari Indonesia, Tony Sumampouw. Untuk tujuan ini, menurut Tony, pihak pengelola harus memperhatikan silsilah parental primata agar diperoleh keaslian genetis. Selain itu, yang tak kalah pentingnya, menurut Tony, adalah mesti tersedianya anggaran yang memadai. Soal dana, penggagas pusat primata ini, Nyonya Schmutzer, yang punya ibu orang Jawa, sudah mengikhlaskan US$ 1,3 juta warisannya. Donasi ini ditambah sumbangan dari Yayasan Gibbon, menurut Madinah dari Bagian Humas Taman Margasatwa Ragunan, menyebabkan pihaknya ataupun Pemerintah Daerah DKI Jakarta tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Pihak Ragunan hanya menyediakan lahan serta para personel kandang, dan tinggal menjala keuntungan dari penjualan tanda masuk, yang diperkirakan sekitar Rp 1 miliar per tahun. Untuk merealisasikan angka tersebut, menurut Tony Sumampouw, diperlukan kerja keras pemasaran. Selain itu, meskipun seluruh pembiayaan selama tiga tahun ke depan sudah ditalangi, Tony menyarankan agar pengelola mencari sumber lain bagi kontinuitas pendanaan. "Sebab, mengelola kebun binatang bukan untuk waktu puluhan tahun, melainkan untuk seumur hidup," katanya. Terakhir, Tony mewanti-wanti agar dana besar yang bisa dijala itu dapat dikembalikan untuk kesejahteraan pusat primata. Tidak cuma kesejahteraan hewan, tapi juga kesejahteraan para personel yang terlibat di dalamnya. Sebab, jika faktor ini luput diperhatikan, menurut Tony, bukan mustahil sebuah konsep taman margasatwa yang brilian seperti Pusat Primata Schmutzer akan runtuh akibat pagar yang makan tanaman. Agus Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus