Di Jakarta, pada perayaan milenium baru dua tahun lalu, 13 anak muda yang bergabung dalam Orkes Gambus Balasyik memainkan lagu-lagu Arab dengan cara tak lazim. Mereka menggelar lagu-lagu gambus dengan iringan drum set, keyboard, `ud atau gitar gendut, dan sejumlah gendang marawis.
Salah satu lagu andalan mereka, Weileiwah, ditutup dengan cara istimewa: seperti seorang gitaris flamenco memainkan farruca—tempo lambat, agak melankolis, yang mengklimaks menuju akhir, cepat, dan berakhir dengan sangat cepat.
Mereka juga memainkan lagu Ana Habaitak yang bergerak dalam irama syarah dengan dukungan perkusi melebihi dosis normalnya, sehingga seantero gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, kala itu menjadi ingar-bingar. Melodi rupanya bukanlah hal yang perlu digubris teramat serius. Ritme-lah yang wajib mendapat perlakuan istimewa. Untuk tiap-tiap alat perkusi, termasuk marwas yang ditepuk dengan semangat menggebu-gebu, disediakan mikrofon yang bakal melipatgandakan volume bunyi.
Balasyik, yang membawakan aliran modern dan dalam beberapa pertunjukan kental berbau rock, memang tidak sama dengan kelompok marawis tradisional Ahmad, Taha, Ucen, dan Kamal. Tapi antara marawis dan gambus sebenarnya berlangsung hubungan saling membutuhkan yang sudah teruji.
Marawis adalah jenis musik yang bisa hidup di dua alam. Terkadang marawis bisa berdiri sendiri sebagai satu ensambel, terkadang menjadi bagian dari orkes gambus. Karena itulah gambus menjadi sumber pendapatan kedua bagi para penepuk marwas. "Di bulan Ramadan kemarin, telah dua kali kami diminta main dalam orkes gambus," kata Taha.
Tapi inilah kelompok marawis dan orkes gambus di awal abad dan milenium baru. Taha dan kawan-kawan serta para personel grup Balasyik, yang berdiri pada 1994, menghadapi zaman berbeda dibandingkan dengan era ayah-kakeknya dulu. Sekarang ini rata-rata berumur 20-30 tahun, mereka merupakan keturunan ketiga atau keempat dari ulaiti. Ulaiti adalah orang-orang Arab asal Hadramaut, Yaman Selatan, yang berlabuh membanjiri pesisir Nusantara sejak dua abad lalu. Mereka datang ke sini karena dorongan ekonomi dan keinginan untuk berdakwah, menyebarkan agama Islam.
Dulu kaum ulaiti berbahasa Arab, tapi mencoba berbicara bahasa Indonesia—Melayu Pasar waktu itu—dalam aksen Arab yang kental. Sekarang generasi Taha dan Mustafa dari Balasyik seratus persen bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, dengan dialek Betawi atau Jawa yang medok. Dan kalaupun mereka sekarang mencoba berbicara dalam bahasa Arab, yang terlontar dari mulut hanyalah rangkaian kalimat yang mungkin bisa disebut "Arab prokem".
Dalam "Arab prokem", kalimat-kalimat telah melampaui serangkaian proses regenerasi yang arah perkembangannya tidak bisa diputar balik lagi. Simaklah kalimat "Tu rejal magrum" yang berati "Orang itu gila." Masyarakat Betawi biasa menyingkat kata "itu" dengan satu suku kata "tu". Sedangkan rejal berasal dari kata rojul, yang berarti orang lelaki, dan magrum merupakan adaptasi kata Arab maghrum. Adaptasi serupa berlangsung dalam kalimat "Ane lagi marid" yang artinya "Saya sedang sakit." Marid berasal dari kata Arab maridl, yang memang berarti "sakit".
Seperti bahasa Arab yang mengalami "prokemisasi", musik gambus di tangan Balasyik telah kehilangan kemurniannya. Lagu-lagu gambus lama dari jenis zhohifeh yang religius, yang berisi puji-pujian kepada Muhammad Rasulullah, kini kian tersingkir oleh syair yang lebih pop dan profan, termasuk syair percintaan. Dan sukses Balasyik menjadikan gambus sebagai kegemaran alternatif generasi muda tidak selalu memperoleh tempat di kalangan generasi yang lebih tua.
Musik gambus masuk ke Indonesia melalui beberapa pintu sekaligus. Gambus yang berasal dari Hadramaut dibawa dan dikembangkan secara langsung oleh ulaiti yang datang ke sini. Sedangkan gambus berlatar belakang Mesir, yang sudah punya dua nama besar, yakni Abdul Wahab dan Ummi Kaltsoum, masuk ke negeri ini melalui film-film Mesir yang sering diputar pada 1930-an.
Menarik disimak, modus penyebaran lagu-lagu Mesir itu menyerupai penyebaran lagu-lagu India pada periode 1950-an, yang akhirnya mengilhami kelahiran musik dangdut, yakni lewat film. Bagaimanapun, sama seperti film-film produksi Bollywood kini, film-film Mesir memberikan porsi besar untuk adegan-adegan nyanyi dan musik.
Bertahun lalu di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat, berdiri sebuah bioskop yang mengkhususkan diri memutar film-film Mesir. Di Alhambra Theatre, demikian nama bioskop itu, para penonton yang punya minat besar terhadap musik asal Mesir mencoba menyimak, lantas menyimpannya dalam ingatan masing-masing. Melalui cara itulah merembes lagu-lagu Mesir ke dalam perbendaharaan musik orkes gambus di negeri ini. Satu dasawarsa berselang, orang masih kerap mendengar orkes gambus Al Wathan dan Al Wardhah memainkan lagu-lagu Mesir dalam siaran Radio Republik Indonesia.
Balasyik nyaris sudah keluar dari Al Wathan ataupun Al Wardhah. Personel Balasyik adalah sekelompok anak muda yang percaya bahwa sepercik-dua percik "anarkisme" akan memperkaya kesenian itu sendiri. Dan yang lebih penting, perkawinan di antara dua hal yang berbeda bukannya mengakibatkan ketidakmurnian atau ketidaktegasan identitas, melainkan menyebabkan proses pengayaan yang menawarkan terobosan baru di aneka bidang. Balasyik, yang asyik dengan eksperimen kawin-silang berjenis-jenis musik, mencoba menggapai masa depan. Apa hasil perkawinan flamenco dengan gambus, salsa dengan gambus, rock dengan gambus, disko dengan gambus, bahkan jazz dengan gambus, itulah yang mereka dambakan.
Sebagian ide perkawinan itu memang terlampau naif dan lebih menyerupai satu "kawin paksa": bagian musik yang satu berdiri seperti orang asing di hadapan bagian lain. Semburat warna musik klasik yang dibubuhkan dalam lagu berjudul Yarait menunjukkan ketidaksanggupan atau ketidakseriusan mereka dalam proses mengawinkan musik klasik dengan gambus. Sedangkan lagu berjudul Mexico, yang sesungguhnya merupakan sebuah lagu Spanyol berjudul La Historia de Un Amor, lebih mencerminkan semangat bahwa mereka pun bisa memainkan lagu-lagu di luar tradisi gambus. Memang masih harus diselidiki lebih lanjut apakah ini memperlihatkan rasa minder pemusik gambus di hadapan musik lainnya. Namun itu semua menunjukkan satu hal yang selalu mereka lakukan: eksperimen.
Balasyik memang berkiprah dalam lingkup eksperimentasi tak terbatas. Tapi para kritikus yang mencela karya-karya Balasyik berbicara tentang dunia gambus dengan dinding pemisah yang kaku terhadap dunia luarnya. Mereka umumnya bertanya: bukankah model musik hibrida Balasyik akan menggerogoti kemurnian gambus sekaligus merongrong religiositasnya? Bukankah itu sama dengan langkah bunuh diri?
Ada saja memang sekelompok orang yang menginginkan kemurnian dan kembalinya masa silam. Mereka juga khawatir gambus sedang terancam oleh dunia luar. Namun Balasyik tampaknya justru ingin menatap masa depan, seraya menguji teori evolusi Charles Darwin dalam musik: menyesuaikan diri atau punah.
Dan itu tidak mudah. Tantangan besar bagi Balasyik sekarang adalah menyajikan "roh" gambus dalam setiap improvisasinya. Jelas mereka telah banyak keluar dari lingkar musik tradisional gambus. Sementara itu, belum jelas benar ke arah mana mereka sedang melangkah. Tapi mungkin itu tak jadi soal. Bagi orang muda seperti mereka, penjelajahan dan pengembaraan itu lebih penting. Bahkan, jika tersesat, mereka mungkin telah puas melepaskan ledakan hormon adrenalin melalui musik.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini