Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah telah menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi dari sektor penerbangan sebesar 13 persen ada 2030.
Komitmen ini disertai bergulirnya rencana aksi dan peta jalan pengembangan bahan bakar aviasi berkelanjutan (SAF) alias bioavtur.
Studi ICCT terhadap berbagai bahan baku dan teknologi produksi SAF menunjukkan pentingnya Indonesia berfokus pada pemanfaatan minyak jelantah dan residu pertanian.
DALAM dokumen rencana aksi yang tiga tahun lalu diserahkan Kementerian Perhubungan kepada Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), Indonesia menyatakan berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor penerbangan sebesar 13 persen dibandingkan dengan kondisi normal pada 2030. Pemerintah berencana mengembangkan bahan bakar aviasi berkelanjutan (SAF) atau biasa dikenal dengan sebutan bioavtur. Saat ini, SAF kompatibel dengan teknologi mesin pesawat dan dapat dicampur dengan avtur hingga 50 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAF dapat mengurangi emisi gas rumah secara drastis dibandingkan dengan bahan bakar avtur konvensional. Besaran pengurangan emisi SAF berbeda-beda, bergantung pada bahan baku dan teknologi yang digunakan untuk membuatnya. Peta Jalan Pengembangan Industri SAF Indonesia yang diluncurkan pada September 2024 juga telah mempertimbangkan cara mendiversifikasi bahan baku dan jalur produksi SAF.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Studi permodelan The International Council on Clean Transportation (ICCT) menunjukkan SAF diperlukan untuk mencapai pengurangan karbondioksida secara jangka panjang di sektor penerbangan. Dampak pengurangan emisinya diproyeksikan bervariasi pada kisaran 59-64 persen. Variasi dampak ini amat bergantung pada skenario yang digunakan (lihat Gambar 1).
Peningkatan efisiensi teknis dan operasional pesawat juga berkontribusi meredam pelepasan emisi, masing-masing berkontribusi sekitar 16 persen. Hal lain yang dapat membantu upaya dekarbonisasi sektor penerbangan pada 2050 adalah pesawat tanpa emisi bertenaga hidrogen, turunnya permintaan perjalanan udara karena kenaikan biaya bahan bakar, dan peralihan moda ke kereta api berkecepatan tinggi.
Gambar 1: Kumulatif emisi CO2 dari penerbangan global sesuai dengan skenario dan pengukuran 2020-2050. Dok: ICCT
Bahan Baku dan Teknologi Produksi SAF
Pemerintah Indonesia telah menyusun peta jalan pengembangan industri SAF yang komprehensif. Peta jalan itu telah mencantumkan berbagai jenis bahan baku dan teknologi produksi yang dinilai sesuai dengan potensi Indonesia serta mengikuti Skema Pengurangan dan Pengimbangan Karbon untuk Penerbangan Internasional (CORSIA). Salah satunya adalah SAF dari lini hydroprocessed esters and fatty acids (HEFA), proses mengubah minyak dan lemak menjadi bahan bakar yang dapat langsung digunakan alias drop-in fuel.
HEFA saat ini sudah komersial dan dianggap memainkan peran penting dalam jangka pendek, sampak kelak teknologi jalur SAF lainnya dikomersialkan. Peta jalan SAF Indonesia mempertimbangkan tiga bahan baku pada lini teknologi tersebut, yaitu minyak sawit mentah (CPO), distilat asam lemak sawit (PFAD), dan minyak jelantah (UCO).
Apabila merujuk pada CORSIA, SAF dengan bahan baku CPO memiliki besaran emisi tepat di bawah ambang batas—dengan skenario pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 13 persen yang memerlukan proses penangkapan metana. Namun, di luar skema CORSIA, Uni Eropa melalui peraturan ReFuelEU Aviation tak mencantumkan CPO dan bahan baku SAF berbasis makanan lainnya dalam daftar bahan baku yang disetujui. Begitu pula PFAD dikecualikan di Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Sementara itu, HEFA dari minyak jelantah memiliki emisi yang rendah dan memenuhi standar regulasi Uni Eropa dan Amerika Serikat. Karena itu, pemanfaatan minyak jelantah mendapatkan insentif di dua wilayah tersebut.
Studi ICCT menunjukkan HEFA berbasis minyak jelantah memiliki biaya produksi paling rendah (lihat Gambar 2). Karena itu, pengembangan HEFA berbasis minyak jelantah di Indonesia akan lebih menguntungkan karena diterima secara global serta memiliki daya tarik tersendiri bagi maskapai penerbangan yang berbasis di Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Gambar 2: Estimasi biaya produksi SAF dibandingkan dengan harga avtur konvensional di Eropa (Euro/liter). Dok: ICCT
Selain HEFA, jalur teknologi SAF lain, seperti gasifikasi Fischer-Tropsch (FT) dan konversi alcohol-to-jet (ATJ), akan dikembangkan di Indonesia. Studi ICCT menunjukkan secara detail ihwal proses gasifikasi yang dapat dilanjutkan dengan proses Fischer-Tropsch synthesis dalam produksi bahan bakar solar dan avtur terbarukan. Sementara itu, proses produksi avtur dari alkohol (ATJ) dapat menggunakan bahan baku tanaman yang mengandung gula dan pati atau biomassa dengan kandungan selulosa yang tinggi. Jalur konversi ATJ cukup bervariasi, bergantung pada pilihan bahan baku dan pilihan alkohol, seperti etanol atau isobutanol.
Indonesia memiliki residu pertanian yang melimpah, di atas 200 juta ton per tahun. Residu pertanian ini potensial menjadi bahan baku untuk kedua jalur pengembangan SAF, baik gasifikasi Fischer-Tropsch maupun ATJ dengan cellulosic ethanol (lihat Gambar 3). Berdasarkan CORSIA, SAF yang diproduksi dari bahan baku residu pertanian menghasilkan emisi gas rumah kaca yang sangat rendah, yaitu 8 gram CO2e/MJ untuk proses Fischer-Tropsch dan 25 gram CO2e/MJ untuk konversi ATJ.
Kendati jalur gasifikasi Fischer-Tropsch memiliki emisi yang rendah, produksi SAF pada jalur ATJ dapat dianggap lebih cocok untuk Indonesia jika berencana mengembangkan industri biofuel dengan pasar yang berkelanjutan. Maksudnya, etanol yang diproduksi dari residu pertanian pada awal pengembangan bisa digunakan untuk program bioetanol nasional (transportasi darat). Kelak, ketika elektrifikasi kendaraan telah meluas, secara bertahap etanol tersebut dapat diarahkan ke industri penerbangan.
Gambar 3: Total residu pertanian tersedia di Indonesia yang dapat mendukung proses FT gasification atau jalur ATJ untuk memenuhi target SAF Indonesia (dalam juta ton basah/tahun). Dok: ICCT
Dalam peta jalan SAF Indonesia, singkong dan tebu disebut sebagai bahan baku untuk ATJ. Tebu termasuk dalam daftar bahan baku di CORSIA. Namun kriteria keberlanjutan CORSIA mengecualikan bahan baku yang ditanam di lahan hutan primer yang dikonversi setelah 2008. Dengan demikian, tebu yang ditanam di perkebunan baru di Papua Selatan bisa jadi tidak akan memenuhi persyaratan CORSIA. Selain itu, karena merupakan bahan bakar berbasis pangan, tebu didiskualifikasi dalam regulasi RefuelEU Aviation.
Hal tersebut sangat kontras dengan seberapa baik cellulosic ethanol untuk jalur ATJ yang diterima di Uni Eropa. Negara lain yang saat ini mengembangkan cellulosic ethanol, yakni Brasil dan India.
Apa yang Seharusnya Jadi Fokus Pengembangan SAF?
ICCT telah melakukan studi tekno-ekonomi pengembangan industri cellulosic ethanol di Indonesia. Apabila semua residu pertanian digunakan, Indonesia berpotensi memproduksi 55 juta kiloliter cellulosic ethanol per tahun atau setara dengan 33,2 juta kiloliter SAF melalui jalur konversi ATJ. Angka tersebut tiga kali lebih tinggi daripada proyeksi permintaan SAF Indonesia pada 2060 yang berada di bawah 10 juta kiloliter—skenario tinggi untuk permintaan avtur dengan campuran SAF 50 persen.
ATJ dari cellulosic ethanol dapat dengan mudah memenuhi permintaan SAF domestik hingga 2060. Hal ini berarti tidak ada tekanan untuk Indonesia untuk mengembangkan SAF dengan teknologi Power-to-Liquid (PtL) atau biasa disebut e-fuels. PtL diproduksi dengan menggabungkan karbondioksida dan hidrogen yang diproduksi dengan elektrolisis air, melalui reaksi kimia, seperti Fischer-Tropsch synthesis untuk menghasilkan produk FT-diesel, e-kerosene, naphtha, dan propana.
Gambar 4: Perkiraan biaya produksi e-kerosene di Amerika Serikat dan Uni Eropa, dibandingkan dengan HEFA dan bahan bakar fosil Jet A (avtur). Dok: ICCT
Studi ICCT menunjukkan lebih detail proses produksi dan biaya produksi e-kerosene (lihat Gambar 4). Harga e-kerosene sangat mahal dan sulit untuk bersaing dengan harga bahan bakar dari fosil, setidaknya hingga 2050.
Setelah mengevaluasi potensi bahan baku dan jalur produksi untuk mencapai target SAF 2060, Indonesia perlu mendukung pengembangan HEFA dari minyak jelantah dan ATJ yang diproduksi dari residu pertanian. Untuk jangka pendek, Indonesia sebaiknya berfokus pada jalur HEFA berbasis minyak jelantah dan mulai berinvestasi pada jalur cellulosic ethanol ATJ untuk mendukung target SAF jangka panjang.
Dengan bahan baku yang melimpah di Indonesia, kedua jalur produksi SAF tersebut sudah cukup untuk memenuhi permintaan hingga 2060. Indonesia bahkan akan menikmati surplus produksi hingga 20 juta kiloliter SAF ATJ yang dapat diekspor ke pasar global. Hal tersebut dapat mendorong Indonesia menjadi produsen SAF global yang maju.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini merupakan bagian dari Kolokium, program penulisan sains populer yang dikelola Tempo.