Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Pada Lingkar Kuasa dan Uang

Selain mengabdi pada dunia akademis, Miriam berkeringat melakukan advokasi masyarakat sipil.

15 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika saya masuk kampus Universitas Indonesia, Salemba, pada awal tahun 1960-an, mata kuliah ilmu politik diajarkan sebagai ilmu negara—yang di Eropa Kontinental seperti Jerman, Prancis, dan Belanda dikenal sebagai allgemeine staatslehre. Bagian terbesar materi ilmu negara dikuliahkan atas dasar pustaka karya tokoh Belanda dan Jerman seperti J.H. Logemann, Carl Schmitt, Herman Heller, dan Georges Jellinek.

Prof Djokosutono, pengajar ilmu negara, dekan dan perintis Fakultas Hukum UI, mengenalkan mazhab Anglo-Saxon (Inggris-Amerika) melalui karya Robert McIver dan Clinton Rosssiter. Pada waktu itu, Miriam Budiardjo adalah satu-satunya asisten Prof Djokosutono, setelah ia tamat dalam ilmu politik dari Georgetown University, Washington DC, pada 1954.

Miriam mengkombinasikan pende-katan ilmu negara yang legal-formalistik dengan pendekatan pragmatis-realis ala Anglo-Saxon. Ini berkat kemahirannya berbahasa Belanda, Jerman, dan Inggris. Pada masa itu, Miriam ikut merancang pendirian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Bersama rekan seangkatannya, yakni Dr Selo Soemardjan dan Tapi Omas Ihromi, pada 1962 mereka menyiapkan Bahagian Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Fakultas Hukum UI, yang kelak berubah menjadi fakultas baru itu. Setelah rangkaian persidangan selama 1962-67, akhirnya berdirilah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI pada 1968. Ia ikut menyusun format kurikulum di jurusan ilmu politik, komunikasi, administrasi, dan sosiologi.

Likat dengan urusan akademis tak membikin Miriam menjadi guru besar yang bersikap netral di menara gading. Ketika mahasiswa berdemonstrasi di kampus UI Salemba menuntut pembaharuan pada 1978, Miriam mempersilakan tentara keluar dari kampus. Ia lakukan dengan tegas, tapi sopan.

Sepuluh tahun kemudian, di tengah gelombang reformasi Mei 1998, Miriam menjadi salah seorang juru bicara Tim Reformasi UI yang mengusulkan kepada Presiden Soeharto agar mengundurkan diri.

Setelah pensiun sebagai guru besar, Miriam meneruskan pengabdiannya di Komisi Hak Asasi Manusia dan Komite Pengawasan Pemilu. Kedua bidang advokasi masyarakat sipil itu ditempuhnya karena sadar bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia haruslah merangkaikan lima dimensi hak asasi: hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya, sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Manusia Desember 1948. Hak politik dan sipil hanya bermakna apabila langsung dikaitkan dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Demikian pula sebaliknya: makna hak ekonomi, sosial, dan budaya harus terkait langsung dengan kondisi hak sipil dan politik. Di sinilah Miriam sadar akan pentingnya tritunggal perkaitan politik (kekuasaan), ekonomi (kekayaan), dan hukum (kaidah yang mengikat). Di sinilah dimulai kajian ulang materi buku Dasar-Dasar Ilmu Politik yang dicetak ulang 20 kali sejak terbit pada 1972.

Menempuh kembali minatnya pada perkaitan antara sistem pemerintahan dan demokrasi, Miriam kemudian aktif menjadi anggota Komite Pengawas Pemilu setelah tahun 1998. Pendekatan political economy and law, yang mulai diminati sejak reformasi Mei 1998, membuka matanya terhadap gejala politik uang dan permainan hukum—gejala yang diamatinya dengan risau. Perjalanan panjang dari asisten dosen ilmu negara mazhab Eropa Kontinental yang berpegang teguh pada prinsip law and state power, lalu bertemu pada ujung lingkar yang bernama pragmatisme power and money yang merupakan ciri khas mazhab Anglo-Saxon.

Kini Miriam telah tiada. Murid dan koleganya tersebar di Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, Lembaga Ketahanan Nasional, Akademi Hukum Militer dan Perguruan Tinggi Hukum Militer, Seskoad, Seskoal, Seskau, Komnas HAM. Tak kurang juga mereka yang pernah mengikuti ceramah dan seminar yang ia pimpin. Kondisi politik, ekonomi, dan sosial pada akhir tahun 1950-an dan 1960-an, masa-masa yang ”membentuk” pribadi dan integritas Miriam, memang berbeda dengan sekarang dan mendatang. Jadi, semua muridnya itulah yang perlu menjawab: bagaimana menentukan sikap atas perbenturan abadi kedua mazhab di atas?

Juwono Sudarsono

  • Guru Besar Universitas Indonesia dan Menteri Pertahanan RI
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus