Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sepanjang Jalan Kutipan

Ongkos investasi di Indonesia lebih mahal 30 persen. Setengahnya pungutan liar.

24 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TRUK kontainer yang disetir Muskir itu baru saja berbelok ke lokasi pabrik ketika seorang lelaki berbaju kotak-kotak dan bercelana jins mendekat dan mengulurkan tangan. Muskir, yang paham betul kode itu, segera menyorongkan selembar lima ribuan. Ini namanya ”salam tempel”. Besarnya tiga sampai lima ribu rupiah, tergantung ukuran truk dan kontainer yang diangkut.

Peristiwa di depan pabrik polimer PT Indorama Synthetics di kawasan industri Desa Cibinong, Jatiluhur, Purwakarta-, Jawa Barat, Kamis siang pekan lalu itu terus berulang. Setiap sopir tak akan lupa bersalam tempel dengan lelaki yang biasa dipanggil ”Pengki” itu.

Rata-rata seratusan truk besar-kecil masuk kawasan itu setiap hari. ”Ini mah pungutan resmi,” kata Pengki. Hasilnya tak ia kantongi sendiri, tapi dibagi rata. Ada pos untuk karang taruna, kepala desa, anggota polisi setempat, bahkan tentara dari rayon militer.

Bagi para sopir seperti Muskir, tak ada pilihan lain. ”Katanya sih retribusi parkir,” katanya. Salam ”berisi” itu merupakan ”kesepakatan” dengan organisasi pemuda desa. Kalau menolak? Huh! Sama saja dengan mengundang masalah pada keamanan kendaraan, barang yang diangkut, bahkan pribadi para awak truk.

Meski ”rela”, Muskir bukannya leg-o-wo-. Sebab, bukan hanya Pengki yang harus ”disalami”. Rangkaiannya sambung-menyambung sepanjang perjalanan. Selepas kawasan, giliran para petugas di pos Dinas Perhubungan Darat di Sela Eurih, Cibaragalan, dan di lokasi menuju gerbang tol Cikopo, yang akan menagih jatahnya. Rata-rata lima ribu rupiah tiap pos.

Itu belum segalanya. Sebab, di se-panjang- jalan tol, dari Cikopo sampai pe-labuhan Tanjung Priok di Jakarta, yang berkuasa adalah para petugas patroli jalan raya dari kepolisian. Ini juga perlu kecipratan rezeki. Begitu pula jika kontainer menuju pelabuhan atau kawasan industri di Serang, Banten.

Sampai di pelabuhan, acara ”salaman” belum berakhir. Muskir menghitung, total biaya ”ramah tamah” ini bisa mencapai Rp 100 ribu. ”Kalau sedang apes, bisa Rp 150 ribu sekali jalan,” ia bercerita.

Di dalam pelabuhan, para sopir bukan satu-satunya obyek penderita. Para ope-rator pelayaran, yang mengurus dokumen dan mengangkut kontainer itu, pun tak luput dari kewajiban serupa. Beda-nya, mereka yang kebanyakan pegawai perusahaan asing itu tak mau memikul sendiri kerugian.

Beban pungutan itu mereka alihkan pada pengguna jasa. Caranya: -mengutip biaya penanganan terminal dengan tarif- di atas ketetapan. Padahal, per 1 -No-vember tahun lalu, pemerintah -sudah me-nurunkan biaya tersebut dari US$ 150 menjadi US$ 95 untuk kontai-ner 20 ka-ki, dan dari US$ 230 menjadi US$ 145 untuk kontainer 40 kaki.

Biaya dokumen masih dipatok- US$ 40, mes-ki tarif resmi peme-rintah hanya - Rp 100 ribu—atau US$ 11. Menurut Edwin, Koor-dinator Pemasaran dan Penjualan PT Mandiri Abadi Santosa, yang mengageni Dongnama Shipping Co. Ltd., biaya terminal di Indonesia lebih mahal ketimbang di Singapura dan Thailand karena banyak pihak campur tangan. ”Kami harus keluar- banyak untuk biaya-biaya yang...Anda sendiri tahulah,” ujarnya kepada Efri Ritonga dari Tempo.

Dalam hitungan Asosiasi Peng-usaha Indonesia (Apindo), rata-rata tingkat kemahalan investasi di Indonesia mencapai 30 persen. ”Separuhnya dalam bentuk pu-ngutan liar,” kata Sekretaris Jenderal Apindo, Djimanto. Selebihnya karena faktor ke-terbatasan infrastruktur dan pungutan lain oleh daerah.

Dari pungutan resmi daerah itu pun, tak sedikit yang ”porno”. Beberapa pengusaha di Kota Tangerang, misalnya, mengeluhkan betapa gerah-nya mereka setiap kali ada petugas berbaju cokelat dari berbagai dinas daerah yang mendatangi pabrik. Dalihnya macam-macam, tapi setiap pulang tak pernah lupa minta sangu.

Praktek itu makin menjadi-jadi sejak- otonomi daerah mulai berlaku, lima tahun lalu. Ada banyak jenis pungutan, mulai dari retribusi parkir, izin gangguan, retribusi tenaga kerja, izin penggunaan genset dan alat kerja seperti- forklift, serta rupa-rupa izin lain. Semuanya berujung di duit.

Tak jelas mana yang akan diperiksa setiap kali aparat datang. ”Mereka lihat-lihat, lalu minta uang,” kata Alwani Alfonso, Manajer Sumber Daya Manusia PT Hardaya Aneka Shoes Industry, Selasa pekan lalu.

Cerita ”salam tempel” seperti di Purwakarta juga terjadi di Tangerang. ”Kami juga yang rugi, karena akibatnya tarif angkutan kontainer jadi mahal,” kata Alfonso, yang juga Sekretaris Apin-do Provinsi Banten.

Di luar urusan produksi pun pu-ngutan tak kalah semarak. Mulai dari proposal sumbangan peringatan Hari Kemerdekaan, setiap hari raya agama, dan kegiatan-kegiatan lain di instansi pemerintahan. Besarnya mulai dari puluhan ribu sampai jutaan rupiah. ”Yang begini sering membuat kami jengkel,” kata Dewanto, Direktur PT Kusuma Hadi, di Solo, Jawa Tengah.

Tapi, ”Kami tak pernah minta pu-ngut-an,” kata Kepala Badan Keuang-an dan Kekayaan Daerah Kota Tangerang, Abdurohim. Cuma, Asosiasi Pertekstilan Indonesia mencatat, setidak-nya ada 80 jenis pungutan melalui peraturan di berba-gai daerah yang dinilai tak jelas. ”Banyak di antaranya- di Kota Tangerang,” kata sekreta-ris asosiasi, Ernovian Gazali Ismi. ”Selebihnya di Kota Bandung, Kabupaten Lebak, Cilegon, dan sentra industri lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur.”

Akhir Februari lalu, peme-rintah mengeluarkan paket- kebijakan perbaikan iklim investasi melalui Instruksi -Presiden No. 3/2006. Salah satu targetnya adalah pener-tiban atas peraturan daerah yang tak sinkron dengan kebijakan pemerintah pusat, selain perbaikan sistem perpajakan, kepabeanan, dan ketenagakerjaan.

”Paket sudah banyak,” kata Ernovian. ”Tapi, yang dulu saja banyak yang belum jalan.” Ia menunjuk paket kebijak-an pasca-kenaikan harga minyak, Oktober tahun lalu, yang sempat menjanjikan pemotongan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk produk primer. ”Buktinya, impor kapas masih kena PPN 10 per-sen.”

Paket kali ini pun belum terlihat berbeda. Yang terjadi justru masalah baru sebagai akibat rencana revisi Undang-Undang No. 13 tentang Perburuhan. Para pengusaha kini bahkan terancam menanggung rugi karena protes buruh yang terus-terusan berakibat pada tersendatnya proses produksi.

Pada 1 Mei besok, masih ada ”ancam-an” gelar protes besar-besaran yang me-liputi 84 serikat dan asosiasi. Para bu-ruh sendiri menolak dianggap sebagai bi-ang melemahnya investasi. ”Sebab, yang jus-tru paling gagal adalah pemerintah da-lam membersihkan birokrasinya,” ka-ta Sekretaris Jenderal Asosiasi Serikat Pe-kerja Indonesia, Yanuar Rizky.

Y. Tomi Aryanto, Nanang Sutisna (Purwakarta), Ayu Cipta (Tangerang), Imron Rosyid (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus