Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pihak mengkritik rencana deforestasi untuk pembukaan lahan kelapa sawit dan 20 juta hektare lahan hutan untuk pangan dan energi yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Greenpeace Indonesia menilai rencana itu berisiko menyebabkan penderitaan yang luas di masyarakat. Selain itu, Greenpeace menilai pandangan pemerintah yang keliru dengan menganggap hutan sebagai lahan kosong yang tidak produktif. Padahal hutan merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat lokal dan adat yang bergantung pada keberadaannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jadi hutan ini seperti supermarket mereka, menyediakan lahan pangan, menyediakan kebutuhan air. Makanya sangat bertolak belakang dengan ketahanan pangan dan air. Hutannya terbuka ya airnya enggak ada," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Muhammad Iqbal Damanik, saat dihubungi pada Sabtu, 4 Januari 2024.
Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien menyatakan, sebagai kepala negara, pernyataan Presiden Prabowo Subianto dapat diartikan sebagai dorongan untuk terus memperluas lahan sawit dengan membuka hutan alam yang berpotensi merusak lingkungan.
"Penelitian kami menemukan bahwa daya tampung lingkungan batas atas atau ‘cap’ sawit di Indonesia hanya sampai pada angka 18,15 juta hektare. Temuan ini penting, mengingat industri sawit di Indonesia terlampau ekspansif dalam dua dekade terakhir," kata Muttaqien melalui pesan tertulis, Selasa, 31 Desember 2024.
Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) juga mengkritik pernyataan Presiden Prabowo Subianto terkait rencana penambahan penanaman kelapa sawit. Dalam pernyataannya, Prabowo menolak anggapan bahwa lahan sawit menyebabkan deforestasi dengan alasan tanaman tersebut juga menyerap karbon dioksida.
“Pernyataan tersebut telah mendegradasi inisiatif pemerintah sendiri untuk membuat sawit nasional lebih kompetitif melalui pendekatan sawit berkelanjutan dengan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), yang mana ISPO mengatur juga standar antideforestasi,” kata Mansuetus Darto, anggota Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit, dalam keterangan tertulis, Selasa, 31 Desember 2024.
Mansuetus berpendapat bahwa pernyataan tersebut seolah-olah mengabaikan keberadaan ISPO, Rencana Aksi Nasional Sawit, dan National Dashboard yang selama ini dirancang untuk memperbaiki tata kelola sawit.
Peneliti dari The Indonesian Institute, Christina Clarissa Intania, menyatakan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya mengancam kelestarian lingkungan, tetapi juga kehidupan masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan. Menurut dia, rencana deforestasi skala besar berisiko menggusur masyarakat adat dari tanah mereka, yang hingga kini belum mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah.
"Banyak wilayah adat yang belum mendapat pengakuan formal, sehingga hak-hak mereka, baik sebagai pemilik tanah maupun atas kelangsungan hidup mereka, terancam," ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat, 3 Januari 2025.
Kebijakan ini juga dinilai dapat memperburuk konflik agraria yang sudah lama terjadi, mengingat luasnya hutan yang direncanakan untuk dialihfungsikan. "Dengan adanya polemik pengakuan wilayah adat, wacana deforestasi ini bisa memperburuk keadaan, memperbesar potensi pergeseran masyarakat adat secara paksa."
Novali Panji Nugroho, Irsyan Hasyim, Dede Leni Mardianti, M. Faiz Zaki, dan Dinda Shabrina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Prabowo Minta Lahan Sawit Diperluas: Jangan Takut Deforestasi