Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertanyaan itu selalu menggantung di benak KH Hasyim Ahmad. Setiap kali memandang ke pusat semburan lumpur PT Lapindo Brantas Inc., warga Kedungbendo, Tanggulangin, Sidoarjo, itu senantiasa menggumam, ”Kapan semburan lumpur ini akan berhenti?”
Hasyim bertanya karena ia risau terhadap masa depan keluarganya yang kian tak menentu. Pembayaran ganti rugi belumlah jelas. Kini ia harus pula berpikir ke mana ia mesti memindahkan keluarganya ke tempat yang aman.
Lumpur memang kini baru menggenangi kawasan seluas 600 hektare di sekeliling pusat semburan di Banjar Panji, Sidoarjo. Tapi bukan tidak mungkin, jika tak ada rekayasa teknologi untuk membendung semburan lumpur dan mengalirkannya ke laut, Sidoarjo yang memiliki luas 591,59 kilometer persegi atau 59.159 hektare itu akan tenggelam seluruhnya.
Pakar dari dalam dan luar negeri yang hadir dalam lokakarya International Geological Workshop on Sidoarjo Mud Volcano di Jakarta dua pekan lalu mengajukan beberapa prediksi usia sembur lumpur itu. Lambok M. Hutasoit, ahli hidrologi dari ITB, misalnya, membuat dua prediksi. Pertama, semburan bakal berlangsung selamanya. ”Sepanjang air yang me-recharge belum habis, semburan tak akan pernah berhenti,” ujarnya.
Lambok menyebut prediksi itu akan terbukti bila air yang memasok semburan tersebut berasal dari Gunung Arjuna dan Gunung Penanggungan, sekitar 10 kilometer sebelah selatan pusat semburan. Tapi, jika berasal dari air yang terperangkap karena proses geologi ribuan tahun lalu, Lambok yakin semburan pasti berakhir.
Profesor di Kelompok Keahlian Geologi Terapan Institut Teknologi Bandung itu pun mengusulkan dilakukan pengujian sampel air melalui metode isotop, yakni penentuan umur dengan menguji konsentrat karbon 14 (C14). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, rencananya akan melakukan pengujian ini.
Menurut tim peneliti Ikatan Ahli Geologi Indonesia, volume lumpur yang berpotensi menyembur ke permukaan sebanyak 1.155.000.000 meter kubik. Jika diasumsikan debit rata-rata yang keluar 100 ribu meter kubik per hari, ”Lumpur akan menyembur kurang lebih selama 31 tahun,” kata Edy Sunardi, peneliti IAGI.
Menurut Edy, penanganan lumpur di permukaan harus secepatnya dilakukan dan tertata dengan baik. ”Jika tidak, 30 tahun ke depan Kota Sidoarjo akan habis dan tenggelam,” katanya. Dia merujuk pada dataran Sidoarjo yang landai.
Volume lumpur sebesar itu juga cukup untuk menenggelamkan Surabaya dan sebagian Gresik. Dengan asumsi ketinggian lumpur rata-rata satu meter, 1.155.000.000 meter kubik cukup untuk menggenangi lahan seluas 115.500 hektare. Ini sama dengan penjumlahan luas Sidoarjo dan Surabaya, plus sedikit wilayah Gresik (lihat infografis).
Bahaya lain yang mengancam adalah amblesnya tanah. Kelompok Riset Geodesi ITB yang dipimpin Hasanuddin Z. Abidin diminta Lapindo meneliti ancaman itu. Dengan menggunakan alat pemantau posisi lewat satelit atau GPS, terlihat amblesan menjalar dalam radius 3,5 kilometer dan membentuk bidang seperti elips. ”Kecepatan amblesnya bervariasi dari 2 sampai 4 sentimeter per hari,” kata Hasanuddin.
Menurut dia, hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang memakai metode berbeda yang dilakukan tim peneliti Jepang. Tim ini mencatat kecepatan ambles berkisar 1 sampai 3 sentimeter per hari. Penurunan tanah juga terjadi di areal ladang gas yang berada arah barat laut pusat semburan. Di wilayah ini terdapat sumur gas Wunut milik Lapindo.
Dengan kecepatan ambles rata-rata 2 sentimeter per hari, pada 31 tahun mendatang daerah ”elips” lumpur itu akan jadi kubangan raksasa berkedalaman 219 meter. Daerah elips itu akan semakin luas bila prediksi pertama Lambok yang terjadi.
Tak hanya penurunan tanah. Di sebuah lokasi arah timur pusat semburan juga terjadi penaikan (uplift) pasir lumpur. Tim Jepang menduga area uplift ini berpotensi menjadi lokasi semburan lumpur yang baru. ”Apakah memang ada sesuatu yang menerobos ke atas, kita tidak tahu,” kata Hasanuddin.
Ancaman lain bagi Sidoarjo di masa depan adalah krisis air tanah. Lambok menjelaskan, jika analisis isotop menjelaskan bahwa semburan berasal dari sumber yang terisi kembali (recharge), ”Skenario terburuknya adalah kegersangan di sekitar pusat semburan dan pencemaran air tanah,” ujarnya. Hal ini terjadi karena air yang tersembur merupakan air berkadar garam tinggi yang berpotensi mencemari sumur penduduk.
Lahan mirip gurun itu, kata Amien Widodo, akan seperti kawasan Bleduk Kuwu di Purwodadi, Jawa Tengah. Di Desa Kuwu ini terjadi semburan lumpur dengan volume kecil sejak ratusan tahun lalu, dan kini menggenangi 45 hektare lahan. Dengan luas genangan 600 hektare, Sidoarjo kelak memiliki bleduk raksasa sepuluh kali lebih besar dari Bleduk Kuwu.
Amien mengusulkan agar lumpur dibiarkan berada di lokasi kolam penampungan. ”Jika tanahnya ambles, sudah tersedia material pengganti di atasnya,” kata dosen geologi Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya itu.
Menurut Amien, di sisi barat, selatan, dan utara harus dibuat tanggul dengan ketinggian tertentu. Di sisi timur, harus dibuka agar lumpur bisa mengalir ke laut. ”Harus melalui sosialisasi yang baik, dan warga disadarkan pada skenario terburuk ini,” ujarnya.
Hasyim Ahmad dan ribuan warga Sidoarjo lainnya tentu berharap skenario terbaik yang bakal terjadi.
Untung Widyanto, Ahmad Fikri, Sunudyantoro, Rochman Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo