Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Semangat yang Telah Lama Dilakukan

Semangat privatisasi dalam Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air dikritik sejumlah kalangan. Tapi telah lama sumber air di Indonesia dikelola swasta.

21 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERCELANA pendek dan bertelanjang dada, Nur Wahyu berlarian di tepi mata air. Sedetik kemudian tubuh pemuda tanggung ini lebur ditelan air yang bening, memercikkan butiran-butiran air ke sekelilingnya. Mandi di mata air Umbulan, Pasuruan, Jawa Timur, merupakan salah satu kesukaan Wahyu. "Airnya segar dan jernih," katanya. Memang begitulah kenyataannya. Saking jernihnya, dasar kolam yang berbatu-batu bisa terlihat dari atas dengan mata telanjang. "Bahkan jarum pun akan kelihatan," demikian seloroh Ustad Nur Buat, 43 tahun, seorang tokoh masyarakat setempat. Terletak di Desa Umbulan, Kecamatan Winongan, Kabupaten Pasuruan, kejernihan mata air Umbulan sudah di-keceng banyak investor sejak dari zaman kolonial. Adalah Inlando Water Bedrij, sebuah perusahaan swasta pada 1917, yang melakukan fungsinya sebagai pemegang konsesi pemasok air bersih bagi warga Belanda yang tinggal di Pasuruan dan Surabaya. Pada era Orde Baru, aroma privatisasi tercium di Umbulan sejak Agustus 1988, setelah diadakan tender pengelolaan mata air dan dimenangi PT Bimantara Siti Wisesa. Tapi perusahaan ini lalu mengundurkan diri. Tak lama muncullah The Bromo Consortium, yang menggandeng perusahaan Inggris, Northwest Water Matt McDonald & Co. dan Custin & Mollent. Tiga investor ini bersedia memasok dana 76.800 poundsterling. Belum sampai terwujud, Custin & Mollent mundur dan digantikan Trans Bakrie—perusahaan patungan Bakrie & Brothers dengan Transfield dari Australia. Tapi The Bromo Consortium tak menemukan kesepakatan soal harga jual air dengan pemerintah Provinsi Jawa Timur. Proyek pun batal. Lama tak ada kabar, pada akhir 1996 muncullah nama PT Mandala Citra Umbulan sebagai investor yang akan mengelola mata air Umbulan. Gubernur Jawa Timur ketika itu, Basofi Sudirman, menyebut bahwa proyek ini rencananya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air di wilayah Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan). Konsorsium Mandala Citra—dimiliki Hutomo Mandala Putra dan Kelompok Ciputra—dengan riang meneken proyek senilai Rp 1,1 triliun ini. Penandatanganannya sendiri dilakukan pada April 1997 antara Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Bersih (PDAB) Jawa Timur, Ir. Zainuddin Jafri, dan Presiden Direktur Mandala Citra, Hutomo Mandala Putra. Direncanakan, air Umbulan bisa dijual pada Juni 1999. Disepakati pemberian royalti Rp 500 juta untuk PDAB per tahun, yang akan naik 8 persen tiap tahunnya. Selain itu, PDAB juga akan mendapat fee Rp 135 juta per tahun, yang akan naik 8 persen tiap tahun. Kesepakatan tinggal kesepakatan manakala angin politik berubah. Jatuhnya Soeharto pada 1998 ikut menyeret runtuhnya bisnis Keluarga Cendana. Tak lama setelah reformasi bergaung, Basofi Sudirman meninjau ulang proyek-proyek yang digarap Keluarga Cendana. Meski demikian, proyek air bersih Umbulan tetap diprioritaskan, tapi dengan melimpahkannya ke investor lain yang sanggup mendanai. Kelompok Ciputra, mitra Mandala Citra, sendiri sudah angkat tangan dan menyatakan tidak memiliki dana. Tapi izin prinsipnya tetap dipegang konsorsium ini dan sempat diperpanjang dua kali. Proyek itu pun tertelan ingar-bingar politik, hingga kini praktis tak ada penguasa tunggal atas mata air Umbulan. Ada dua PDAM yang mengelola mata air Umbulan, yakni PDAM Surabaya dan PDAM Pasuruan. Tapi diam-diam, menurut Wakil Bupati Pasuruan, Muzammil Syafi’i, saat ini tengah dibahas pemanfaatan mata air Umbulan dengan melibatkan empat pemerintah daerah (Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Pasuruan). Rencananya akan dibentuk holding untuk menggandeng investor. ”Sudah ada satu investor yang menyatakan siap mengelola,” kata Muzammil. Upaya privatisasi seolah menampar kampanye antipengesahan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air yang dilakukan sejumlah kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) akhir-akhir ini. Kampanye yang didasari kekhawatiran bahwa air akan dikuasai kalangan tertentu dan abai terhadap kepentingan masyarakat. Menurut Koordinator Koalisi Air, Nila Ardhianie, dalam RUU itu air dipandang sebagai komoditas untuk dikomersialkan. Akibatnya, ia khawatir hanya kalangan berduit yang punya akses terhadap air bersih. Kekhawatiran yang dibantah Eka Budianta, salah satu direktur PT Aqua Golden Mississippi Tbk. Menurut dia, tak ada yang perlu dirisaukan dengan semangat privatisasi. Kalau sebuah mata air pengelolaanya diserahkan ke perusahaan tertentu, secara hukum amat mudah meminta tanggung jawab ketika terjadi kesalahan dalam pengelolaan. ”Tinggal tunjuk hidung saja,” ia menambahkan. Selain itu, menurut Eka, masuknya swasta dalam mengelola sumber air membuat pihak pengelola punya kepentingan buat melestarikan mata air yang jadi konsesinya. Aqua sendiri selalu membebaskan lahan 12,5 hektare di sekitar mata air untuk konservasi. ”Kalau kering mata airnya, kita sendiri yang rugi,” ujarnya. Ketakutan bahwa pengusaha akan mengabaikan dan menutup akses penduduk terhadap air juga ditepis habis oleh Eka. Ia mencontohkan bagaimana Aqua yang punya konsesi di 12 mata air di seluruh Indonesia tak pernah berkonflik dengan masyarakat. Di luar perbedaan pendapat itu, kenyataannya, privatisasi sudah terjadi jauh sebelum Nila dan kalangan LSM meributkan semangat ini dalam RUU SDA. Lihat saja apa yang terjadi di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Di wilayah ini, setidaknya terdapat 18 perusahaan air minum kemasan—sebagian dari 150-an di seluruh Indonesia—yang beroperasi dan diberi hak buat ”menguasai” sumber-sumber air yang dulu dengan bebasnya dipakai masyarakat. Yang paling populer di wilayah Sukabumi adalah mata air Babakan Pari di Kampung Kubang Sari, Desa Babakan Pari, Kecamatan Cidahu, Sukabumi. Mata air yang luasnya sekitar dua hektare ini dimanfaatkan tiga perusahaan, yakni Aqua, Alto, dan Agra. Sebelum Babakan Pari ”dicaplok” para pengusaha air, penduduk sekitar bebas memanfaatkannya. Kini, setelah dikelola perusahaan air minum, mata air lebih tertutup. Mata air yang dikuasai Aqua, misalnya, dikelilingi tembok setinggi tiga meter. Penduduk dilarang masuk area mata air tanpa izin, dan pintunya selalu dijaga petugas keamanan. Untuk keperluan warga, Aqua membangun tempat untuk mandi dan mencuci—persis di belakang lokasi mata air—serta disediakan pula menara air untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Selain itu, menurut Kepala Desa Babakan Pari, Udin Sukatma, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Babakan Pari mempekerjakan penduduk sekitar. ”Di sini hampir tidak ada pengangguran,” kata Udin. Saking banyaknya perusahaan yang mengelola mata air, kontribusi buat pendapatan asli daerah juga mengucur seperti air. Setiap tahunnya, perusahaan air kemasan menyumbang Rp 6-7 miliar. Bandingkan dengan total pendapatan asli daerah Kabupaten Sukabumi tahun lalu yang berjumlah Rp 23,88 miliar. Begitu pula yang terjadi di mata air Muncul, Salatiga, Jawa Tengah. Di lokasi yang terletak di Desa Rowoboni, Kecamatan Banyubiru, ini terdapat 11 mata air yang tak pernah berhenti mengalir. Sebuah perusahaan swasta—PT Bayuadji Nusantara Industries—memegang hak konsesi dua mata air. Untuk mendapatkan hak ini, pada 1995 Bayuadji telah membebaskan tanah milik warga. Di atas lahan seluas lima hektare ini pabrik pengolahan air minum merk Java didirikan. Warga sekitar juga tak keberatan atas kehadiran Java. Soalnya, selain mempekerjakan warga setempat, air di situ melimpah-ruah. Kendati dua mata air ”dimiliki” Java, tujuh mata air ”dikuasai” Pemda dengan membangun kolam renang, satu mata air untuk pembibitan ikan dan tempat cuci mobil, dan warga masih kebagian satu mata air yang tetap dimanfaatkan sebagai sendang. Tak mengherankan kalau setiap hari sendang ini selalu ramai oleh warga Dusun Rowomuncul yang memanfaatkannya untuk mandi, mencuci, dan keperluan lainnya. Maka Wahyu pun dengan tenang menyabuni badannya di mata air Umbulan. Ia tak pernah tahu, di Jakarta banyak pihak amat khawatir bahwa ia tak akan bebas lagi mandi di mata airnya, ketika Undang-Undang Sumber Daya Air disahkan. Agus Hidayat, Bibin Bintariadi (Pasuruan), Hudallah (Salatiga), Deffan Purnama (Sukabumi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus