Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN Tingkat Menteri V World Trade Organization (WTO) telah digelar 9 September lalu di Cancun. Tapi, sebelumnya, sudah banyak pengamat meragukan keberhasilannya. Bisa dimaklumi jika kegagalan Pertemuan Cancun tak terlalu mengagetkan. Padahal WTO merupakan badan dunia yang bertugas merumuskan aturan perdagangan global dan punya otoritas memaksakan beberapa aturan.
Dalam pertemuan sebelumnya di Seattle, WTO gagal mencapai kesepakatan mengenai perlunya putaran baru perundingan perdagangan. Para wakil negara berkembang pun mempertanyakan manfaatnya. Ada kesan perundingan itu tidak demokratis dan tidak development friendly, sehingga mengundang demonstrasi para aktivis LSM yang menentang globalisasi dan ratifikasinya.
Negara berkembang sudah lama kecewa. Meski begitu, mereka tetap berharap berakhirnya Perang Dingin dapat membuahkan peace dividend untuk mendorong pembangunan. Tapi hal itu tidak terjadi, meskipun runtuhnya Tembok Berlin telah menggeser geopolitical landscape. Saat itu, untuk pertama kalinya dunia mengalami meluasnya ruang lingkup pergerakan arus modal, barang, jasa, dan gagasan menembus tapal batas negara.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi juga telah membantu meningkatkan kemampuan bertransaksi secara cepat dan akurat, sehingga kita dapat berhubungan langsung dengan tangan-tangan pelaku ekonomi yang tak tampak di tempat-tempat yang belum dikenal baik.
Sekilas, tampaknya kaidah yang dibayangkan sang pelopor perdagangan bebas Adam Smith cocok dengan fenomena di pasar. Hal itu mendorong gerakan serentak untuk mengubah kebijakan ekonomi dunia menjadi kebijakan yang bertopang pada inisiatif sektor swasta, memberikan kepercayaan penuh kepada market forces, dan meniadakan pengaruh pemerintah dalam proses jual-beli.
Semangat kembali ke market forces mulai tampak di negara-negara industri segera setelah kemelut ekonomi dunia berlalu pada 1970-an. Serasa tak ada tempat lagi bagi pembenaran pemikiran neo-mercantilist ataupun Keynesian motivated approach. Belakangan Washington Consensus segera menularkan semangat tersebut ke negara-negara berkembang, yang umumnya membutuhkan bantuan dana dari negara-negara maju.
Pada 1980-an, negara berkembang menghadapi defisit neraca pembayaran dan sangat peka pada gejolak ekonomi eksternal. Fatwa yang dikeluarkan lembaga-lembaga Brettonwoods umumnya minta agar campur tangan pemerintah dalam masalah ekonomi dikurangi sehingga tidak terjadi market distortion. Resepnya ialah liberalisasi keuangan, sementara perdagangan perlu dilakukan sesegera mungkin hingga private capital flows dapat bergerak memutar roda ekonomi menuju pertumbuhan. Hal ini banyak dipercaya negara berkembang, sehingga mereka membuka peluang masuknya short-term capital dalam jumlah besar.
Setelah lebih dari satu dasawarsa, negara berkembang masih terus dihantui neraca pembayaran, memberatnya beban utang luar negeri, dan kepekaan pada gejolak eksternal. Tapi upaya mengatasi neraca pembayaran melalui peningkatan ekspor tidak mencapai sasaran. Hal itu terjadi gara-gara memburuknya term of trade—sebagaimana disinyalir Raul Prebisch 30-an tahun silam—ataupun lantaran langkah proteksionistis negara maju.
Kekecewaan negara berkembang semakin mendalam melihat ketidaksesuaian antara potensi dan realitas perdagangan internasional, terutama berkaitan dengan pengentasan kemiskinan. Trade and Development Report 2002 menghitung adanya tambahan manfaat ekspor bagi negara berkembang sekitar US$ 700 miliar—itu pun bila tidak dihadang proteksi negara maju.
Umumnya negara berkembang memiliki comparative advantages di bidang pertanian dan industri yang padat sumber daya alam, di samping penggunaan teknologi sederhana. Tambahan sumber dana sebesar itu akan mampu meningkatkan lebih dari 50 persen lapangan kerja di sektor manufaktur. Karena itu, akses pasar merupakan kata kunci yang perlu diberikan oleh negara maju untuk menyeimbangkan perdagangan dan ekonomi global.
Hal itu digarisbawahi oleh Horst Koehler, Managing Director IMF, "The true test of the credibility of wealthy nations' efforts to combat poverty lies in their willingness to open up their markets and phase out trade-distorting subsidies in areas where developing countries have a comparative advantage—as in agriculture, processed foods, textiles and clothing, and light manufactures."
Dalam konteks Pertemuan Cancun, kegagalannya sudah terbaca dalam perundingan persiapan di Jenewa. Negara berkembang menilai usul pengurangan tarif di sektor pertanian masih sangat minim. Karena itu, negara maju diminta menghapus subsidi pertanian dan menghilangkan secara bertahap dukungan domestik pada produk pertanian. Mereka sangat berkepentingan dengan pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, dan pembangunan perdesaan.
Uni Eropa, misalnya, bersikeras mengenai isu-isu baru (Singaporean issues) seperti investasi, competition policy, government procurement, dan fasilitas perdagangan—yang seharusnya dipisahkan dari keputusan liberalisasi pertanian. Negara berkembang juga menuntut perbaikan struktur ekonomi. Sayang, isu-isu seperti special and differential treatment dan pelaksanaan kesepakatan lama—yang sangat diminati negara berkembang—masih seperti lari di tempat.
Prospek Pertemuan Cancun juga diwarnai karakter baru dalam hubungan AS-Uni Eropa. Uni Eropa mengancam akan mengenakan sanksi terhadap eksportir AS yang menghindari pajak. AS ganti mengancam akan mengadukan Uni Eropa kepada WTO mengenai moratorium pada makanan yang mengandung genetically modified organism. AS juga telah mengenakan tarif sebesar 40 persen untuk melindungi industri besi baja dalam negeri. Selain itu, Kongres AS telah meluluskan permintaan pemerintah Bush Jr. untuk memberikan subsidi bagi petani AS sebesar US$ 100 miliar.
Karena itu, manuver diplomatik AS dan Uni Eropa beberapa saat sebelum Pertemuan Cancun—yang sepakat untuk mereduksi tarif produk pertanian—sempat mengejutkan, meski usaha itu masih jauh panggang dari api. Kesepakatan mereka dikritik keras oleh negara berkembang dan Kelompok Cairns, yang mengajukan komitmen fair trade. Dalam Pertemuan Cancun telah terjadi polarisasi antara AS/Uni Eropa dan negara berkembang, terutama mengenai masalah pertanian.
Namun kali ini negara berkembang lebih kompak dalam berunding—hal yang sangat penting dalam kerangka WTO. Berkaitan dengan kekompakan negara berkembang, Sekretaris Jenderal United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Rubens Ricupero, pernah mengatakan, "This is not just a North-South issue; the challenge is to arrive at a more democratic decision making process. The onus is very much on developing countries to reassert their collective voice to ensure that development is no longer an afterthought of the trading system but receives the attention that it deserves and requires."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo