Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kontroversi Sebuah Rancangan

Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air yang segera disahkan dinilai merugikan rakyat kecil.

21 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari, seorang warga di Bolivia yang sedang menampung air hujan tiba-tiba didatangi petugas Bechtel, sebuah perusahaan air yang bermarkas di Amerika Serikat. Ia diminta membayar uang seharga air yang diambilnya kepada perusahaan itu. Kisah yang diceritakan oleh Oscar Oliviera, seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat di Bolivia ini, bukan lelucon. Ini merupakan dampak dari kebijakan privatisasi dan komersialisasi air di negara itu sejak 1999 demi mendapat dana pinjaman dari Bank Dunia. Kejadian yang mirip kelak bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia. Soalnya, sebentar lagi kita akan memiliki aturan baru, Undang-Undang tentang Sumber Daya Air, yang membuka privatisasi di sektor ini. Rancangan undang-undang ini tengah digodok oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan rencananya pekan ini bakal disahkan dalam sidang paripurna. Persis di Bolivia, munculnya undang-undang itu juga gara-gara adanya bantuan dari Bank Dunia. Jumlahnya US$ 300 juta dan telah diteken pada Mei 1999. Separuhnya sudah dikucurkan, lalu sisanya baru akan diberikan setelah RUU tersebut disahkan. Ini diakui oleh Menteri Keuangan Boediono. ’’Memang kita mengharapkan selesai tahun ini, (sehingga ada dana) untuk membiayai anggaran negara tahun ini,” katanya kepada Bagja Hidayat dari Tempo News Room, Kamis pekan lalu. Yang mengherankan, justru Ketua Panitia Kerja RUU Sumber Daya Air, Erman Suparno, yang membantah mentah-mentah. ”Kami tahu tak ada satu sen pun terkait dengan bantuan luar negeri,” kata politikus dari Partai Kebangkitan Bangsa ini. Dalam rancangan itu, keterlibatan swasta (nasional maupun asing) tak cuma dalam pengusahaan air, tapi juga dalam penentuan kebijakan. Ini tergambar pada pasal 10 ayat 3 RUU tersebut. Disebutkan, penyusunan pola pengelolaan sumber daya air dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan swasta. Cara ini, menurut sejumlah LSM, bisa merugikan kalangan masyarakat kecil yang tak memiliki akses untuk mempengaruhi kebijakan. Diperkenalkan juga dalam rancangan tersebut konsep hak guna pakai dan hak guna usaha dalam urusan air. Hak guna pakai adalah hak untuk memperoleh, memakai sumber daya air untuk berbagai keperluan sehari-hari. Adapun hak guna usaha berkaitan dengan pengusahaan air demi tujuan komersial. Dalam prakteknya, menurut Budi Wignyo Sukarto, dosen teknik sipil Universitas Gadjah Mada, hal ini bisa rumit. Soalnya, seorang petani mesti mendapatkan hak guna usaha jika membuka usaha pertanian atau perikanan yang dianggap bertujuan komersial. Itu sebabnya Koalisi Air, kalangan LSM yang memantau persoalan ini, menyerukan agar RUU tersebut ditunda pengesahannya. ”Amat jelas, rancangan ini membuka peluang yang besar bagi komersialisasi air,” ujar Nila Ardhianie, koordinator koalisi ini. Tanda-tandanya sekarang sudah tampak. Ia menunjuk beberapa perusahaan air minum milik pemerintah di Jakarta maupun daerah yang bekerja sama dengan perusahaan air multinasional seperti Thames, Suez Lyones, dan Vivendi. Nila juga menggambarkan semakin banyak mata air dan air sungai yang dikuasai perusahaan air kemasan. Sementara itu, tak ada jaminan bahwa kepentingan penduduk setempat atau di hulu sungai yang secara tradisional memanfaatkan air itu bakal terlindungi. Padahal Pasal 33 UUD 1945 sudah menjamin bahwa air termasuk yang harus dikuasai negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Bahkan pada November tahun lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memasukkan air sebagai bagian dari hak asasi manusia. ’’Jadi, seharusnya DPR dan pemerintah membuat undang-undang yang menjamin hak orang mendapatkan air, dan bukannya malah membuka lebar-lebar komersialisasi,” ujar Nila. Mendapat kritik keras, semestinya para wakil rakyat mendengarnya, dan tak buru-buru menyetujui rancangan itu.

Ahmad Taufik


Pasal yang Digugat

Pasal 7 ayat (2)
Hak guna dapat disewakan atau dipindahtangankan, sebagian atau seluruhnya, setelah mendapat izin dari pejabat yang menerbit-kan izin penggunaan sumber daya air.

Pasal 9 ayat (1)
Hak guna usaha dapat diberikan kepada perorangan atau bidang usaha untuk tujuan komersial dan atau untuk memenuhi kebutuhan usahanya berdasarkan izin dari pejabat yang berwenang.

Pasal 10 ayat (3)
Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air dilakukan dengan melibatkan seluas-luasnya peran masyarakat dan swasta.

Pasal 40 ayat (3)
Koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, swasta, dan masyarakat dapat berperan serta dalam pengelolaan air bersih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus