Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ranting Zaitun di Tangan Arafat

Niat Israel mengenyahkan Yasser Arafat justru mengembalikan pemimpin Palestina itu ke posisi sentral.

21 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APABILA ditamsilkan sebagai permainan catur, kedudukan Yasser Arafat-Ariel Sharon boleh dikatakan remis pada hari-hari ini. Terlibat perseteruan aktif selama dua dekade lebih, posisi keduanya masih setara—belum ada yang kalah atau menang. Dan andaikata Presiden Palestina dan Perdana Menteri Israel itu berpindah ke ring tinju, Ariel Sharon tak pelak akan menjadi petarung agresif yang aktif meluncurkan pukulan, sedangkan Arafat lebih banyak bertahan. Toh, Sharon belum pernah sukses mengoyak pertahanan lawannya secara telak—apalagi membikin Arafat KO, knocked out, di atas kanvas. Dalam areal pertarungan sesungguhnya—di gelanggang politik—Arafat bahkan sedikit unggul: dia menuai jauh lebih banyak ”simpati penonton” ketimbang musuhnya. Sidang Majelis Umum PBB di New York pada pekan silam adalah bukti paling gres: dalam pengambilan suara untuk resolusi yang melarang Israel mengenyahkan Arafat dari Palestina, hanya empat negara yang menolak. Di antaranya, Amerika dan konco abadinya, Israel. Ada 133 yang mendukung. Sisanya abstain. Di Majelis Umum, Amerika memang tak punya hak veto—sebuah hak yang sudah dia pakai tatkala memveto resolusi serupa oleh Dewan Keamanan PBB terhadap Israel dalam pekan yang sama. Kedua resolusi ini berawal dari maklumat Kabinet Keamanan Israel pada dua pekan silam. Isinya, Israel berniat mengenyahkan Yasser Arafat dari Palestina pada waktu dan dengan cara yang akan ditentukan sendiri oleh Israel (baca Sepasang Bom Berbalas Maklumat, TEMPO, 15 September 2003). Bagi Israel, Arafat berdosa besar sebagai sponsor tak langsung gelombang bom bunuh diri yang menyerang Israel selama ini. Ternyata maklumat itu justru membikin Israel kelimpungan menerima kecaman masyarakat internasional. Bak bumerang, maklumat itu juga membikin si gaek Arafat kian bersinar dan harum namanya. Rakyat Palestina, yang mulai gerah melihat pemimpinnya ini loyo dan tak becus menjalankan roda pemerintahan otoritas Palestina, tiba-tiba bersatu-padu mengelu-elukannya. Jumat pekan lalu, seusai salat, puluhan ribu rakyat Palestina memadati jalan-jalan di Qalqilya, Bethlehem, Nablus, dan Jalur Gaza. Mereka memekikkan hujatan kepada Ariel Sharon. Ribuan warga lain membanjiri kantor kepresidenan Arafat di Ramallah untuk membentengi pemimpin mereka (lihat Tameng Hidup bagi Abu Amar). ”Enyahlah Sharon! Kami akan membelamu sampai mati, Abu Amar!” para demonstran menjeritkan kor yang mengoyak langit Ramallah, kota tempat Arafat bermarkas di Tepi Barat. Dan Arafat menyambut mereka dengan lambaian sembari mengecupkan ciuman jarak jauh. Melalui saluran telepon, Arafat pun tak lupa menebar pesona kepada 20-an ribu penduduk Palestina di kamp pengungsi Rachidayah di selatan Libanon. ”Saya akan mati di Palestina dan saya tak akan pergi,” katanya. Pendek kata, Arafat langsung mengambil langkah-langkah yang simpatik di dalam negeri maupun di dunia internasional, sehingga Sharon makin terpojok. Dengan amarah yang meluap-luap, Sharon dan para pembantunya menyaksikan ”peruntungan” Arafat setelah Israel mengancamnya dengan maklumat pada dua pekan silam. Pasal apa yang membikin Sharon begitu geram? Harus diakui, Sharon saat ini—selain kekuatan tentaranya yang merangsek ke segala pojok otoritas Palestina—sesungguhnya dalam kedudukan yang lemah. Dia seperti terjebak dalam posisi simalakama. Coba kita hitung. Jika dia nekat menggelindingkan Arafat keluar dari Palestina, dunia sudah pasti mengutuknya. Dan para penyumbang nyawa gratis untuk ”barisan bom bunuh diri” siap lepas landas menuju titik-titik ledakan baru di Israel. Jika Sharon diam saja, kecaman dari dalam negeri, apalagi kaum ultrakanan, membikin panas kupingnya: dianggap sudah tua dan tak bergigi. Sementara itu, jika Israel sampai melaksanakan usul Wakil PM Israel Ehud Olmert agar ”Arafat dibunuh saja”, Sharon pun akan menanggung akibat ini: dia akan mereguk kemarahan dunia sembari menyaksikan Arafat, si musuh bebuyutan, berkibar namanya dalam sebuah kemartiran politik. Mingguan The Economist menuliskan analisis ini pada pekan lalu: ”Adalah di luar standar mana pun apabila sebuah pemerintahan mengumumkan akan membunuh pemimpin resmi dari satu calon negara (Palestina).” Memisahkan Arafat dari rakyat Palestina memang tak sesederhana memangkas kekuasaannya. Bagi rakyat Palestina, betapapun tidak becusnya Arafat, dia masih berakar sebagai simbol perjuangan. Dia mengembalikan tanah air Palestina, dan Arafat tahu persis posisinya di hadapan rakyat Palestina. ”Saya adalah bagian dari rakyat saya, dan saya salah satu korban (Israel),” katanya suatu ketika. Perjuangan Yasser Arafat membebaskan Palestina dari pendudukan Israel sudah ia mulai saat dia masih mahasiswa di Kairo pada 1946. Saat itu Arafat aktif menyelundupkan senjata ke Palestina. Bersama kawan-kawannya, dia mendirikan gerakan bawah tanah yang dikenal dengan nama Al-Fatah pada 1964. Dia didaulat memimpin Fatah. Dan Arafat mulai menjelmakan mimpi buruk ke Israel melalui serangan-serangan gerilyawan Fatah ke negeri tersebut. Fatah kemudian bergabung dengan sejumlah faksi gerilya Palestina dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Dia memimpin PLO pada 1968. Dikaitkan dengan berbagai aksi teror sejak dulu, PLO juga dituding berperan di balik peristiwa berdarah Black September dalam Olimpiade Munich di Jerman pada 1972. Adalah Arafat yang berhasil membawa PLO ke jalur diplomasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa memberi PLO status pengamat pada 1972. Arafat mendapat kehormatan berpidato dalam Sidang Umum PBB. Dengan pistol yang menghias pinggang, dia berpidato, ”Saya datang membawa ranting zaitun (simbol perdamaian) dan senjata pejuang kemerdekaan. Jangan biarkan ranting zaitun jatuh dari tangan saya,” katanya. Di Beirut, Libanon, dia kemudian membangun basis PLO. Di sinilah, untuk pertama kalinya, Arafat berhadapan dengan Ariel Sharon. Kala itu Sharon menjabat menteri pertahanan pada kabinet Perdana Menteri Manachem Begin. Sharon memburu Arafat dengan mengerahkan pasukan Israel yang menyerbu Beirut pada 1982. ”Sharon sendiri mengaku bahwa dia mencoba membunuh saya 17 kali di Beirut. Tapi saya ada di sini, duduk dengan sepucuk senjata,” ujar Arafat setelah peristiwa tersebut. Sharon memang gagal menghabisi Arafat karena dia buru-buru hengkang ke Tunisia. Maka Sharon mengumbar kemarahannya dengan mengizinkan milisi Kristen Falangis yang didukung Israel membantai 2.750 penduduk Palestina di kamp pengungsi Sabra dan Shatila di selatan Beirut. Sharon terpental dari pemerintahan, dan Arafat selamat. Dari Tunisia Arafat mulai membangun perjuangan diplomasi. Dia memproklamasikan Negara Palestina Merdeka dan menyatakan kepada PBB bahwa PLO menentang terorisme. Dia juga menegaskan, PLO mendukung hak hidup bersama Palestina dan Israel. Sejak itu Arafat memilih jalan perundingan dengan Israel dan menandatangani Perjanjian Oslo di Washington pada 1993 bersama Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin. Pada tahun 2001, Arafat pulang kampung ke Ramallah. Di sana dia memimpin pemerintah otoritas Palestina, yang diharapkan menjadi jalan menuju kemerdekaan penuh negeri itu. Cuma, impian Arafat dan rakyat Palestina tak berjalan mulus. Pergantian pemerintahan dari Partai Buruh ke Partai Likud yang antiperdamaian membuat implementasi Perjanjian Oslo tersendat-sendat. Pemerintah Benjamin Netanyahu menelikung Perjanjian Oslo. Dan penelikungan ini dilanjutkan dengan saksama oleh Ariel Sharon saat dia menjadi perdana menteri pada tahun 2001. Hal itulah yang membuat frustrasi kelompok garis keras Palestina. Mereka marah terhadap Arafat karena membiarkan rakyat Palestina diperlakukan sewenang-wenang oleh Israel. ”Dia (Arafat) bukan orang baik. Dia tak melakukan apa-apa,” ujar Manal Salaymeh, gadis Palestina yang tinggal di Yerusalem timur. Maka aksi bom bunuh diri yang digerakkan kelompok Hamas dan Jihad Islam menjadi makanan sehari-hari penduduk sipil Israel. Sementara itu, Sharon, yang mulai puyeng berat karena ledakan bom bunuh diri beruntun di Israel, menuduh Arafat sebagai teroris. Sharon menuding Arafat membiarkan Hamas dan Jihad Islam mengirim pemuda Palestina untuk menjadi martir di Israel lewat ”bom-bom syuhada”. Sebagai balasan, Sharon menetapkan bahwa para pemimpin Hamas dan Jihad Islam ”halal darah”-nya bagi Israel alias silakan dibunuh. Maka tentara Israel pun memburu tokoh-tokoh kelompok perjuangan radikal Palestina ini. Ujung-ujungnya, warga sipil juga yang menelan azab serangan tentara Israel. ”Arafat telah memilih aksi terorisme,” Sharon memberi alasan. Sharon sendiri seperti lupa bahwa ia juga menerapkan praktek terorisme sejak tahun 1953 hingga saat ini. Suatu ketika Sharon memimpin aksi militer ke Tepi Barat, yang saat itu masih dikuasai Yordania. Di sana dia meledakkan 45 rumah penduduk Palestina—sekitar 70 penduduk desa tewas, setengah di antaranya anak-anak dan perempuan. Menurut Sharon, aksi ini dia lancarkan sebagai pembalasan terhadap aksi gerilyawan Palestina yang memasuki Israel. Kebencian yang nyaris personal terhadap Sharon semakin berakar di kalangan rakyat Palestina ketika Sharon menjabat menteri konstruksi dan perumahan pada kabinet Likud. Dia mendirikan 30 permukiman baru bagi warga Israel di Gaza dan Tepi Barat setelah mendepak sekitar 200 ribu penduduk Palestina dari rumah dan tanah mereka. Sharon pula yang dituduh sebagai biang kerok munculnya gerakan intifadah kedua setelah dia menerabas masuk ke kompleks Masjid Aqsa di Yerusalem Timur pada tanggal 28 September 2000. Saat itu Sharon adalah anggota parlemen. Dia menentang keras upaya damai Perdana Menteri Ehud Barak dari Partai Buruh yang bersedia menegosiasi status Yerusalem dengan Arafat. Barak menawarkan Yerusalem sebagai ibu kota bersama Israel dan Palestina. Partai kanan garis keras Israel marah besar. ”Barak tak berhak menyerahkan Yerusalem,” ujar Sharon di Knesset. Tahun 2001, Sharon berhasil meraih kursi Perdana Menteri Israel. Maka kian giatlah dia menerapkan kebijakan garis kerasnya. Dan kian komplet pula kebencian rakyat Palestina terhadap dirinya. Di bawah Sharon Perjanjian Oslo macet total. Serangan bom bunuh diri marak. Militer Israel menyerbu dan menduduki beberapa kota di Tepi Barat dan Gaza serta mengisolasi Arafat di Ramallah. Amerika Serikat dan Israel mempreteli peran sentral Arafat dengan mendesakkan Mahmud Abbas, tokoh moderat Palestina, ke kursi perdana menteri. Toh, bom bunuh diri terus memboyakkan Israel dan Abbas tak berdaya menghentikannya—dan pamit mundur dari jabatannya. Lalu tibalah peristiwa puncak itu, pada dua pekan silam: dua bom bunuh diri meledak di Tel Aviv dan Yerusalem pada hari yang sama. Lalu Ariel Sharon serta Kabinet Keamanan Israel bersidang cepat dan memutuskan membuang Arafat dari Ramallah—membikin Palestina meledak dalam amarah. ”Kita harus menghadapi kenyataan bahwa Arafat segala-galanya bagi rakyat Palestina. Mereka memandangnya sebagai presiden dan pahlawan nasional,” ujar Yosef Partitzky, seorang menteri dalam kabinet Sharon. Adapun Arafat, yang sudah khatam urusan politik, tak menyia-nyiakan kesempatan baik ini untuk ”menekan” Israel agar mau menerima tawaran gencatan senjata menyeluruh dari Palestina. Arafat berusaha melambaikan sekali lagi ranting-ranting zaitun—simbol tradisional perdamaian di tanah suci Israel-Palestina. Dalam sebuah wawancara dengan koran Israel Yedioth Ahronoth pekan lalu, dia berkata, ”Mari kita membuka lagi lembaran baru demi anak-anak kami dan demi anak-anak Israel.” Raihul Fadjri (The Guardian, Washington Post, Haaretz, Electronic Intifada)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus