Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tersodok Pengakuan Eksekutor

Gunawan Santosa semakin sulit menghindari tuduhan sebagai dalang pembunuhan. Kalangan marinir pun telanjur gemas.

21 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUNAWAN Santosa bagaikan jagoan silat yang telah dibekap oleh seorang pegulat. Tak berdaya. Kelihaian untuk kabur dari penjara dan berkelit dengan mengubah wajahnya tidak bisa dipamerkan lagi. Di kepolisian, Gunawan, yang dicokok Kepolisian Daerah Metro Jaya dua pekan silam, mesti menghadapi bertubi-tubi tuduhan yang sulit dihindari. Dia bukan cuma dituding mendalangi pembunuhan bos Grup Asaba, Boedyharto Angsono, yang juga bekas mertuanya sendiri. Diduga kuat dia pula yang merencanakan penembakan direktur keuangan perusahaan yang sama, Paulus Tedjakusuma. Sang bekas menantu semakin terjepit karena empat anggota marinir yang menjadi eksekutor pembunuhan tersebut sudah ditangkap jauh hari. Pengakuan Gunawan segera ditabrakkan dengan kesaksian anggota Baret Ungu itu. Mereka kini ditahan oleh Polisi Militer Angkatan Laut. Dan keempatnya kompak mengatakan, Gunawanlah yang mendalangi aksi mereka. Dari pemeriksaan polisi terhadap tersangka sampai akhir pekan lalu, mulai tersusun rangkaian kisah petualangan Gunawan secara lebih lengkap dan detail. Tidak seperti yang diduga sebelumnya, ternyata wajah Gunawan sudah lama "dipermak". Ia mulai melakukan operasi plastik lima hari setelah melarikan diri dari Penjara Kuningan, Jawa Barat, pertengahan Januari silam. Menurut pengacaranya, Farhat Abbas, setelah kabur, Gunawan langsung menuju rumah Kopral Dua Marinir Suud Rusli di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Selain Suud, ada tiga marinir yang terlibat, yaitu Letnan Dua Sam Achmad Sanusi, Kopral Dua Fidel Husni, dan Prajurit Santoso Subianto. Masih belum jelas apakah mereka sudah membicarakan rencana pembunuhan tersebut di rumah Suud. Yang pasti, dilihat dari serangkaian langkah Gunawan selanjutnya, agaknya pria berusia 40 tahun ini sudah memiliki rencana jangka panjang yang rapi sekeluarnya dari penjara. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengubah wajahnya. Dia memulainya dengan mengubah alisnya di Salon Elize di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pegawai salon tersebut, Martha, sudah mengakui bahwa dialah yang mengubah alis Gunawan. Tak hanya itu. Gunawan alias Acin juga mengubah hidung dan kelopak matanya di klinik Dokter Dewo Aksoro di Jalan Cendana, Jakarta Pusat. "Biayanya Rp 8 juta," kata Farhat. Dia juga mencongkel tahi lalat di pahanya di kawasan Mangga Dua. Buah karya Dokter Dewo itu diakui oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Matius Salempang. Menurut dia, Dokter Dewo sudah mengaku telah mengubah wajah Gunawan. Tapi, kata Salempang, "Ia hanya dijadikan saksi karena tak tahu bahwa Gunawan itu buruan polisi." Gunawan pun mengubah identitas dirinya. Tak tanggung-tanggung, Gunawan menggunakan tiga kartu tanda penduduk dengan tiga nama dan tiga alamat berbeda di tiga kecamatan. Gunawan menggunakan nama Indra Amapta, Kevin Martin, dan Dustin Bakrie. Seorang teman dekat keluarga Boedyharto menceritakan bahwa rencana pembunuhan Boedyharto Angsono dan Paulus Tedjakusuma digodok saat mereka bertemu di sebuah restoran seafood di kawasan Lokasari, Jakarta Barat. Ketika itu, Gunawan membekali Suud dengan senjata sejenis Makarov, salah satu senjata yang sudah uzur dan kabarnya cuma dipakai di Angkatan Laut. Selain itu, kata Suud kepada pemeriksanya, Gunawan membayar mereka Rp 4 juta. Uang tersebut kemudian dibagi untuk empat orang, masing-masing mendapat bagian Rp 1 juta. Pembunuhan terhadap Paulus baru terlaksana pada 6 Juni 2003. Saat terjebak kemacetan di depan Hotel Golden Truly di Jalan Angkasa Raya, Jakarta Pusat, Paulus ditembak oleh Suud. Meskipun Paulus menderita luka parah, nyawanya terselamatkan. Pada saat itu, polisi sudah menduga bahwa senjata yang digunakan adalah senjata tua yang dipakai oleh salah satu kesatuan TNI. Namun, ketika itu, polisi masih belum menyebut marinir. Sekarang gambarannya makin jelas bahwa senjata yang dipakai untuk menembak Paulus tak lain adalah Makarov. Satu setengah bulan kemudian, giliran Boedyharto yang menjadi sasaran Gunawan. Dengan mengendarai dua sepeda motor, Suud bersama Achmad Sanusi, Fidel Husni, dan Santoso Subianto menuju gedung olahraga Pluit, Jakarta Utara, pada 19 Juli lalu. Mereka sebelumnya sudah mempelajari kebiasaan Boedyharto, yang selalu bermain basket di tempat itu. Dan, dor! Boedyharto tertembus peluru. Dari pistol yang sama, Suud juga menghabisi Sersan Dua Edy Siyep, 33 tahun, pengawal Boedyharto. Lagi-lagi polisi menemukan fakta bahwa senjata yang digunakan adalah senjata organik TNI. Berbeda dengan saat penembakan Paulus, kali ini polisi bergerak lebih cepat. Pihak Angkatan Laut pun tanggap. Empat tersangka yang diduga kuat menjadi eksekutor Paulus dan Boedyharto langsung disel dan dipecat. Dari pengakuan empat anggota marinir inilah kemudian muncul nama Gunawan sebagai dalangnya. Namun Gunawan mengaku tak terlibat dalam rencana pembunuhan Paulus. Dia juga menegaskan bahwa dia tidak pernah secara langsung memerintahkan pembunuhan terhadap Boedyharto. Farhat menuturkan pengakuan Gunawan kepadanya. "Saya enggak tahu. Kalau dendam, tentunya A Liong yang saya bunuh," kata Farhat mengutip Gunawan. A Liong? Nama ini tak lain dari keponakan Boedyharto. Selama ini, A Liong banyak membantu Boedyharto berhubungan dengan polisi. A Liong jugalah yang melaporkan Gunawan memiliki hewan langka di rumah peristirahatannya di Cidahu, Sukabumi. Laporan inilah yang kemudian berbuntut Gunawan dihukum dua setengah tahun penjara. A Liong jugalah yang meminta Boedyharto dan anaknya, Stephen Angsono, berhati-hati setelah Paulus tertembak. Tapi A Liong sendiri tidak gentar menghadapi tudingan sekaligus gertakan Gunawan. "Dia enggak bakal bisa membunuh saya," katanya kepada TEMPO. Soal kematian Boedyharto, kepada Farhat, Gunawan mengaku tidak pernah memberikan perintah langsung kepada Suud dkk. untuk membunuh bekas mertuanya. Masih menurut Farhat, Gunawan hanya meminta tolong kepada mereka agar mau menyelesaikan masalahnya. Tak tahunya, penyelesaian masalah itu dengan membunuh Boedyharto. "Itu hanya salah penafsiran dari Suud," kata Farhat mengutip Gunawan. Benarkah begitu? Polisi rencananya hari-hari ini akan mengkonfrontasi pernyataan Gunawan dengan empat anggota marinir yang sebelumnya sudah diperiksa Polisi Militer Angkatan Laut. Langkah ini diperlukan untuk mengecek silang pernyataan Gunawan dan Suud dkk. yang bertolak belakang. Sejauh ini, polisi dan Polisi Militer Angkatan Laut sudah membaca berkas pemeriksaan Gunawan dan empat anggota marinir. Dan hasilnya tampaknya saling mendukung. Matius Salempang sendiri tidak mau mengomentari sangkalan Gunawan. "Dia boleh saja berkata begitu, tapi buktikan nanti di pengadilan," katanya. Dan sampai saat ini, tersangka kasus ini masih lima orang tersebut. Anggota keluarga Gunawan, masing-masing Mulyati Santosa (ibu), Sulistina Santosa (kakak), dan Andre Basuki (sepupu), yang sebelumnya disebut-sebut sudah menjadi tersangka karena membantu Gunawan selama pelarian, ternyata masih belum mendapat status tersebut. Alamsyah Hanafiah, pengacara keluarga Gunawan, mengakui bahwa sepeda motor Andre yang dipakai untuk membunuh Boedyharto sudah sering dipinjam Suud. Tapi fakta itu tak cukup untuk menjadikan Andre sebagai tersangka. "Ibunya juga tak bisa diadili karena menyembunyikan Gunawan," kata Alamsyah. Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan akan ada tersangka lain, terutama yang terkait dengan pelarian Gunawan. Teman dekat keluarga Boedyharto tadi juga menceritakan bahwa dari telepon genggam Gunawan diketahui ada delapan nomor yang pernah berhubungan dengan Gunawan tiga hari sebelum penangkapan. Nomor itu antara lain milik seorang mayor marinir yang tinggal di Sukabumi Ilir, Jakarta Barat, pejabat di Mahkamah Agung, dan dua ibu rumah tangga. Bahkan sumber TEMPO di Polda Metro Jaya menyebut bahwa sang Mayor sempat mengirim pesan singkat (SMS) ke Gunawan, yang isinya memperingatkan agar Gunawan berhati-hati karena dibuntuti reserse yang memakai mobil Escudo berwarna kuning. Akibatnya, Gunawan hengkang dari tempat kos sebelumnya di Jalan Kartini, Jakarta. Benarkah? Komandan Polisi Militer TNI-AL, Brigadir Jenderal Marinir Soenarko, menyatakan bahwa dia telah mendengar informasi keterlibatan anggota marinir membantu Gunawan selama pelarian. "Tapi sampai hari ini saya belum menemukannya," ucap Soenarko. Kini TNI-AL dibuat sibuk dengan kasus ini. Korps marinir kelihatan benar-benar gemas dengan kelakuan Gunawan yang menyeret anggotanya. Itu sebabnya diduga tersangka akan ditohok lewat berbagai pengakuan oknum anggota marinir yang terlibat. "Saya mau tempeleng dia. Saya pesan, orang seperti dia dihukum seberat-beratnya, digantung atau ditembak mati," kata Kepala Staf TNI-AL, Laksamana Bernard Kent Sondakh, kepada Yura Syahrul dari Tempo News Room. Agaknya Gunawan bakal sulit lolos dari jerat hukum. Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus