Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat itu ditunda tujuh jam. Dijadwalkan pukul satu siang, tapi diundurkan hingga pukul delapan malam. Padahal, Kamis siang pekan lalu itu, sejumlah peserta sudah menunggu di Istana. Maklum, ini rapat mahapenting: membahas bencana lumpur yang sejak 29 Mei 2006 mengubur Sidoarjo.
Gubernur Jawa Timur Imam Utomo yang sudah hadir di sana sejak siang mengaku tak tahu mengapa rapat itu ditunda. Saat ditanyai wartawan soal penundaan itu, Imam cuma menjawab pendek, ”Tanya ke Presiden sana.”
Di kalangan wartawan beredar kabar bahwa rapat itu ditunda menunggu Nirwan Bakrie, salah satu pemegang saham PT Lapindo Brantas Inc. Nirwan memang mendadak diundang pada siang hari. Kehadiran Nirwan Bakrie dalam rapat itu teramat penting, sebab sembilan bulan sudah nestapa lumpur mengurung Sidoarjo, tapi tak pernah ada solusi yang cespleng. Padahal warga kian sekarat.
Lihatlah daftar berikut ini. Lebih dari 10 ribu rumah terkubur, lengkap dengan perabotnya. Hampir 15 ribu warga pergi mengungsi. Yang menganggur gara-gara lumpur itu hampir 2.000 orang. Sekitar 23 perusahaan terpaksa guling tikar.
Masih ada sederet data suram lain. Sekitar 600 hektare sawah gagal panen. Dewan Tani setempat menghitung kerugian mereka sekitar Rp 15 triliun. Infrastruktur dan perusahaan negara di sekitarnya juga babak-belur dihajar lumpur.
Pipa Pertamina meledak karena terus-terusan dibikin melepuh oleh lumpur panas Lapindo. Jalan tol berantakan, Perusahaan Listrik Negara dan Telkom babak-belur hingga memikul rugi. Lingkungan sudah rusak parah. Singkat cerita, kawasan itu lumpuh.
Tak mengherankan, biaya menyembuhkan Lapindo jadi menjulang. Untuk relokasi infrastruktur saja diperlukan uang Rp 7,6 triliun. Jumlah itu sama dengan enam kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sidoarjo. Itu baru biaya memperbaiki infrastruktur. Belum lagi biaya ganti rugi tanah warga dan ongkos mengakhiri muntahan lumpur yang jumlahnya sekitar Rp 3,8 triliun.
Siapa menanggung biaya yang selangit ini? Menurut Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006, Lapindo harus menanggung sekitar Rp 3,8 triliun. Dana itu dibagi dua: Rp 1,3 triliun untuk penanganan lumpur dan Rp 2,5 triliun untuk membayar ganti rugi lahan warga.
Hingga akhir pekan lalu, dari total dana yang ditanggung Lapindo ini, baru sekitar satu triliun yang dicairkan untuk penanganan lumpur. Selebihnya belum dibayar. General Manager Lapindo Brantas Imam Agustino berjanji akan menyerahkan tunggakan itu pada Maret ini.
Warga di sana sudah menuntut dengan rupa-rupa cara, dari menghadang mesin berat milik Lapindo, menutup ruas jalan tol, menduduki pendapa Kabupaten Sidoarjo, hingga duduk melongo di depan Istana Presiden. Ada yang sudah dibayar, tapi banyak pula yang masih menunggu.
Tidak semua warga juga bisa mendapat ganti rugi tanah. Ada pula yang cuma direlokasi. Ini dialami warga Desa Tanggulangin. Berkali-kali mereka memprotes, menuntut ganti rugi tanah dibayar tunai.
Sejak Senin pekan lalu, misalnya, sekitar 500 warga Desa Tanggulangin berkemah di alun-alun Kota Sidoarjo. Kaum ibu, anak-anak, dan kakek-nenek tumpah di sana. Mereka berseru dalam satu tuntutan: Lapindo harus membayar tunai.
Merasa cuma meninju angin, warga lalu berbondong-bondong ke pendapa kabupaten. Mereka terlihat lelah. Tak ada poster, apalagi spanduk. Belasan orang mengenakan baju bertulisan ”Awas lumpur Lapindo. Sekarang desa kami, esok desa Anda.” Tak ada orasi, cuma duduk termangu, mereka seperti sudah mati akal untuk bicara.
Aksi maraton warga Tanggulangin itu sengaja digelar menyambut berakhirnya masa tugas Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo yang dibentuk lewat keputusan presiden itu. Tamat pada Kamis pekan lalu, Tim Nasional masih meninggalkan setumpuk silang selisih, termasuk nasib warga Tanggulangin itu.
Selain menduduki pendapa kabupaten, puluhan warga desa itu juga meluncur ke Jakarta. Datang jauh-jauh ke Ibu Kota, mereka bertekad menemui Aburizal Bakrie, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, kakak Nirwan. Tekad itu kandas.
Gagal bertemu Aburizal, mereka meluncur ke kantor Purnomo Yusgiantoro. Menteri Pertambangan dan Energi itu adalah Ketua Pengarah Tim Nasional. Bersama Purnomo, warga Tanggulangin itu meluncur ke Senayan. Di sana mereka ikut rapat dengan komisi tujuh.
Rapat itu alot. Dibuka pada pukul delapan malam, Rabu pekan lalu, rapat baru pungkas setengah tiga pagi alias Kamis dini hari. Peserta rapat bubar dengan gundah. ”Kami benar-benar kecewa. Tim Pengarah dan anggota Dewan ternyata tak mau mengubah relokasi menjadi bayar tunai,” ujar Mudjiono, seorang wakil warga yang hadir di situ.
Rasa kecewa itu menjalar jauh hingga pendapa Kabupaten Sidoarjo. Warga yang berdebar-debar menunggu hasil rapat tak kuasa lagi membendung amarah. ”Kami maunya dibayar tunai, bukan dipindahkan,” begitu protes warga.
Soal ganti rugi tanah warga memang tak beres-beres. Sejumlah penduduk malah tak punya bukti kepemilikan tanah. Mereka mengaku sertifikat tanah sudah terbenam bersama lumpur.
Gagal di Senayan, warga berharap kabar baik akan datang dari sidang kabinet yang digelar Presiden Yudhoyono pada Kamis pekan lalu itu. Nirwan Bakrie datang ke Istana menjelang pukul delapan malam. Sebelum masuk sidang kabinet, Presiden menggelar rapat khusus. Yang hadir, antara lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Purnomo Yusgiantoro, Imam Utomo, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, dan Nirwan. Pertemuan itu berlangsung satu jam. Hasilnya dibawa ke rapat kabinet yang dibuka pada pukul sembilan malam.
Rapat kabinet memutuskan umur Tim Nasional diperpanjang satu bulan. Sesudah itu akan dibentuk badan permanen yang menangani bencana lumpur. Tugas badan itu, kata Purnomo, ”Melanjutkan kerja Tim Nasional.”
Ada dua pilihan bentuk badan khusus itu: Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) atau semacam badan otorita yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Keputusan pembentukan badan permanen itu baru keluar April nanti.
Presiden juga memerintahkan Lapindo membayar sisa kewajibannya, di samping mewajibkan Lapindo menabung Rp 500 miliar di Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur. Dana simpanan itu merupakan 20 persen dari total dana ganti rugi lahan warga yang jumlahnya Rp 2,5 triliun.
Lalu siapa yang memikul biaya perbaikan infrastruktur yang jumlahnya diperkirakan Rp 7,6 triliun itu? Ini juga masalah pelik. Sejumlah kalangan menuntut dana relokasi itu menjadi tanggung jawab Lapindo. Toh, petaka itu ”hasil karya” perusahaan ini. Tapi Lapindo sudah ”lempar handuk”. Perusahaan gas dan minyak itu mengaku brankasnya sudah kering.
Percaya pada pengakuan itu, pemerintah lantas turun tangan. Soal relokasi infrastruktur, kata Menteri Purnomo, ”Pemerintah yang akan memikirkan pembiayaannya.” Betulkah jumlahnya hingga Rp 7,6 triliun? Hingga kini, kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, ”Jumlahnya masih dihitung.”
Duit relokasi itu akan dikeduk dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara Perubahan yang akan dibahas di Senayan pada Juli 2007 nanti. Lha, kok negara yang ketiban beban? Djoko menyebut dana itu sifatnya cuma talangan. ”Hitung-hitungan dengan Lapindo nanti belakangan.”
Sejumlah wakil rakyat di Senayan setuju saja pemerintah membantu operasi ”penyembuhan” Sidoarjo, tapi dana talangan pemerintah itu digunakan untuk ganti rugi tanah warga. ”Warga dan usaha kecil diutamakan, sebab sudah berbulan-bulan nasib mereka tak menentu,” kata Dradjad Wibowo, anggota Komisi Keuangan dan Anggaran.
Pemegang saham Lapindo, kata Dradjad, harus membayar lunas duit itu seperti kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia. Intinya, ”Dana talangan harus seratus persen dipikul oleh Lapindo.”
Bagaimana dengan nasib warga Desa Tanggulangin? Rapat kabinet memberi solusi khusus untuk mereka, yakni ”relokasi plus”. Warga yang berdemo di alun-alun Sidoarjo mencibiri tawaran itu. ”Kami dikibuli pakai plus,” kata seorang warga. Jumat pekan lalu, mereka berbondong-bondong keliling kota menyerukan protes. Warga juga mendirikan tenda besar persis di pintu masuk desa.
Alhasil, truk-truk yang mengangkut tanah untuk memperkukuh tanggul di Tanggulangin tak bisa masuk. Truk-truk itu dipaksa balik arah. Sutari, seorang ibu yang ikut unjuk rasa, berkata dengan gagah, ”Kami akan meneruskan aksi ini sampai Lapindo membeli rumah kami.”
Wenseslaus Manggut, Rohman Taufiq (Sidoarjo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo