Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lindu itu bermula ketika anak negeri baru bergegas memulai hari di tanah Sumatera. Gempa pertama melanda pada pukul 10.23 WIB. Tanah berguncang. Orang-orang terhenyak. Panik merayap, lalu meledak tatkala 25 menit kemudian guncangan lebih besar menderu, membuat seisi nagari berderak. Batusangkar, Padang Panjang, dan Solok, kota di Sumatera Barat, runtuh ke bumi.
Getaran menjalar hingga Semenanjung Melayu. Di Singapura, warga kota menghambur turun dari pencakar langit. Di Solok dan sekitarnya, tempat titik gempa berawal, ribuan rumah hancur, ratusan warga terluka. Sedikitnya 72 nyawa melayang.
Trauma akibat tsunami, ratusan ribu manusia bersicepat meninggalkan kota, khawatir pada maut yang mengintip di balik bahu mereka. ”Saya pikir dunia sudah kiamat,” kata Hasbullah, seorang warga di Pekanbaru, Riau.
Sepanjang siang doa serupa tak putus dipanjatkan oleh keluarga yang tercerai-berai, anak yang kehilangan ibu, dan orang tua yang ditinggalkan buah hatinya. Yang selamat memandangi puing rumahnya dengan nanar dari tenda-tenda yang ditegakkan seadanya di pinggir jalan.
Setelah angin puting beliung di Yogyakarta serta tanah longsor di Manggarai, gempa di Ranah Minang melengkapi kesusahan negeri kita sepanjang pekan-pekan terakhir. Ibu Pertiwi menitikkan air mata, lalu berdoa: ”Semoga ini yang terakhir.”
Naskah: Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo