Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Satu Jam Menjelang Yogya

Pesawat Garuda GA-200 terbakar di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Pilot berhasil menghindarkan kemungkinan jatuh korban yang lebih besar.

12 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hendro Sangkoyo, 51 tahun, merasa banyak yang tak beres ketika berangkat menuju Yogyakarta. Di taksi, dalam perjalanan menuju Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, adik bungsu budayawan almarhum Umar Kayam ini baru sadar tak membawa uang sepeser pun. ”Saya akhirnya pinjam uang Rp 150 ribu dari sopir taksi,” ujarnya. ”Utang itu dibayar istri saya di rumah.”

Ketika ia masuk pesawat Garuda Indonesia GA-200 yang akan membawanya ke Yogyakarta, ”Saya merasa pesawatnya kok lecek betul,” ujarnya. Hendro—biasa dipanggil Yoyok—adalah salah satu korban selamat dalam kecelakaan pesawat ini di Bandara Adisutjipto, Rabu pekan lalu. Dari 140 penumpang dan awak pesawat, 117 penumpang selamat, sedangkan yang lain tewas.

Sejumlah tokoh menjadi korban dalam pesawat ini, di antaranya mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Profesor Koesnadi Hardjasoemantri dan Pembantu Dekan Fakultas Ekonomi UGM Masykur Wiratmo. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dan kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, lolos dari maut.

Pilot Boeing 737-400 nahas itu, Marwoto Komar, 45 tahun, dan kopilot Gagam Rohmana juga selamat. Sayangnya, keduanya belum dapat ditemui wartawan. Menurut sejawatnya, Stefanus Gerardus, Marwoto mengalami depresi berat. ”Ia terpukul dan terus-menerus merasa bersalah,” kata Ketua Asosiasi Pilot Garuda itu.

Saat dirawat di Rumah Sakit TNI Angkatan Udara Hardjolukito, Yogyakarta, Marwoto kerap menyakiti diri sendiri. Rabu sore pekan lalu, misalnya, Stefanus menemukan Marwoto membentur-benturkan kepalanya ke tembok. Walhasil, belum ada keterangan yang bisa dipungut dari sang kapten yang selama 13 ribu jam terbang selalu mulus membawa pesawat.

Toh, ia pernah bercerita tentang saat nahasnya ini kepada Stefanus. ”Kok bisa begini, ya? Jika saja waktu bisa diputar ulang...,” ujar Stefanus, mengutip Marwoto.

l l l

Pesawat GA-200 lepas landas dari Soekarno-Hatta dengan mulus. Cuaca juga bersahabat. ”Pokoknya good morning-lah. Nggak ada masalah,” kata Kristanto, petugas pemandu lalu lintas udara (air traffic controller) Soekarno-Hatta dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemandu Lalu Lintas Udara Indonesia. Demikian pula menurut para penumpang di kabin GA-200.

Yoyok, misalnya, sudah lupa bahwa pesawat itu terasa kumal. Ia—duduk di kursi 11D—sempat menyiapkan materi seminar di Universitas Gadjah Mada. Di depan, berjarak beberapa kursi, Din Syamsuddin sempat menikmati kopi, menulis, dan terlelap beberapa menit.

Mendekati Adisutjipto, tensi mulai naik. Ketika pesawat bersiap mendarat, pilot mengumumkan cuaca memburuk. ”Saya mendengar ada pengumuman cuaca buruk. Penumpang diminta mengenakan sabuk pengaman,” ujar Adrianus.

Yoyok tidak mendengar pengumuman ini. Ia sedang di toilet ketika itu. Namun ia melihat lampu tanda harus kembali ke kursinya menyala. ”Setelah mencuci tangan, saya kembali,” ujarnya. ”Mungkin tiga sampai lima menit setelah saya mengenakan sabuk pengaman, tiba-tiba pesawat oleng ke kiri.”

Yoyok menengok ke jendela kanan. Pucuk-pucuk pohon sudah terlihat. Ia menaksir ketinggian pesawat tinggal 10 meter. Ia mulai cemas. ”Saya merasa pesawat terlalu cepat untuk mendarat.”

Penumpang selamat lainnya, Yunadi Srimulyo, merasakan kekhawatiran yang sama. ”Pucuk pohon sudah terlihat, tapi kenapa justru pesawat semakin kencang,” katanya.

Di kokpit, pilot Marwoto dan kopilot Gagam juga disergap khawatir. Stefanus menceritakan, keduanya terkejut karena pesawat mendadak berlari liar. ”Marwoto bilang, saat itu, pesawat terasa terdorong sangat cepat, di luar kendali,” ujarnya.

Penyebab dorongan itu tak jelas. Namun bisa jadi ini akibat downdraft atau tekanan angin dari atas yang rutin terjadi di atas Adisutjipto. Pesawat menaikkan kecepatan sebagai respons agar tidak terbanting ke tanah (lihat infografis).

Bagian lain yang masih misterius adalah penyebab olengnya pesawat. R. Tata Lanang Galih, Ketua Tim Operasi pada Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), mengatakan beberapa penumpang memang menyebutkan pesawat oleng. ”Tim investigasi masih mengklarifikasi semua kesaksian itu,” ujarnya.

Beberapa pakar penerbangan menduga, 737-400 itu oleng karena gangguan pada sirip sayap. Fenomenanya dikenal sebagai sirip asimetris. Kalau ini yang terjadi, bisa dimaklumi jika pesawat menjadi liar.

Sirip sayap merupakan modal pesawat untuk mendarat. Ketika sirip dikembangkan, ia menjadi semacam rem. Pada saat yang sama, sirip ini akan meningkatkan daya angkat, sehingga pesawat bisa mendarat pada kecepatan lambat tanpa terempas.

Marwoto dan Gagam sudah dibekali jurus untuk berkelit dari bencana jika sirip mendadak asimetris. Inilah mata pelajaran yang telah diasah di simulator Garuda Indonesia, yang biayanya per jam per pilot US $1.200 (Rp 11 juta).

Tapi, menurut Stefanus, adanya malfungsi sirip dan aneka gangguan itu sekadar asumsi. ”Harus diuji silang dengan data dalam kotak hitam,” ujarnya.

Apa pun yang terjadi, pengamat penerbangan Dudi Sudibyo menilai pilot sudah memainkan jurus untuk menghindarkan petaka lebih dahsyat. ”Melihat kondisi pesawat saat mendarat dan berhasilnya penumpang keluar sebelum pesawat terbakar, ada upaya pilot untuk meminimalisasi jumlah korban,” ujarnya.

Sayangnya, belum tamat pilot mengoreksi kesalahan pesawat, batas pendaratan aman 737-400 sudah terlampaui. Ketika pesawat ini didaratkan, kecepatannya masih tinggi. Pesawat pun mendarat dengan melompat-lompat. Pada lompatan kedua, roda depan hancur. Saat menghantam tanggul di seberang Jalan Raya Angkatan Udara, mesin copot. Sayap kanan patah. Bahan bakar berhamburan.

Di kabin pesawat, penumpang panik. ”Api, api...,” mereka berteriak. Dari jendela kanan asap terlihat mengepul dan api berkobar.

Dari delapan pintu darurat di pesawat itu, tujuh di antaranya bisa dibuka. Namun, karena api berkobar di sisi kanan pesawat, penumpang berebut keluar melalui pintu kiri. Tapi Adrianus memilih keluar dari pintu kanan dengan menembus api. ”Waktu itu, pilihannya segera keluar atau antre tapi mati,” ujarnya. Ia benar. Setelah api padam, tim penolong menemukan korban meninggal menumpuk di pintu kiri.

l l l

Petaka GA-200 merupakan kecelakaan terbesar kedua tahun ini. Tragedi sebelumnya menimpa 737-400 milik Adam Air, yang jatuh di Selat Makassar bersama seluruh isinya. Seperti Adam Air, sejauh ini penyebab kecelakaan GA-200 belum dapat dipastikan. Namun KNKT mengaku telah mengantongi hampir seluruh informasi untuk membongkar biang petaka GA-200.

Menurut Ketua Tim Penyelidikan KNKT Mardjono Siswo Suwarno, komitenya telah mengetahui kecelakaan berawal dari patahnya roda. Pertanyaan yang belum terjawab: ”Mengapa roda itu patah. Apakah ini karena pendaratan yang keras?”

Komite menyatakan, pekan ini, hasil penyelidikan kasus GA-200 sudah bisa disetor kepada Presiden. Ini di luar hasil analisis kotak hitam pesawat yang sedang diperiksa di Australia, yang konon memakan waktu 1-3 bulan.

Widiarsi Agustina, L.N. Idayanie, Syaiful Amin (Yogyakarta),Joniansyah (Tangerang), Suryani Ika Sari, BHM

Sirip Tak Terkembang

Nahas itu datang di ujung jalan, saat pesawat Garuda GA-200 rute Jakarta-Yogyakarta sedang mendarat di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Berikut ini kronologi kecelakaan tersebut serta gangguan yang mungkin mengantarkan pesawat ini ke kuburannya di ujung landasan.

  1. Pukul 06.00. Garuda Indonesia GA-200 lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, menuju Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Dalam perjalanan, lampu indikator kelaikan mesin pesawat di kokpit sempat menyala merah, tanda ada masalah. Namun gangguan ini bisa diatasi dan dinilai tidak membahayakan penerbangan.
  2. Pukul 06.54. GA-200 mengontak menara pengawas (ATC) Adisutjipto. Pilot menyatakan siap mendarat. ATC mempersilakan GA-200 memakai landas pacu 09. Ketinggian: 4.000 kaki (1,2 km) Cuaca: cerah Kecepatan angin: 5 knot (9,25 km/jam).
  3. GA-200 mendadak oleng saat mendekati landasan. Kecepatannya bertambah. Para analis memiliki dua dugaan soal ini: ada angin dari atas (downdraft) atau sirip sayap asimetris. ANGIN DARI ATAS. Terpaan angin dari atas biasa terjadi di Adisutjipto. Ini karena bukit di sekitarnya membelokkan angin ke bawah dan menekan pesawat. Untuk mencegah pesawat terbanting ke tanah, pesawat secara otomatis menaikkan kecepatan. SIRIP ASIMETRIS. Peristiwa ini terjadi jika salah satu atau kedua sirip sayap tak berfungsi dengan baik. Untuk mencegah pesawat terguling dan menghujam bumi, pilot harus menggunakan rudder sebagai pengimbang dan menambah kecepatan. Sirip sayap. Pada pendaratan, sirip ini berperan untuk mengerem pesawat sekaligus meningkatkan gaya angkat, sehingga pesawat dapat mendarat mulus. Rudder. Pada kondisi normal berfungsi sebagai kemudi pesawat. Pada kasus sirip asimetris dipakai untuk mempertahankan pesawat agar tidak berguling.
  4. GA-200 mendarat keras pada kecepatan tinggi. Roda pendaratan depan menyentuh landasan bersamaan dengan dua roda pendarat belakang, sementara seharusnya dua roda belakang lebih dulu mendarat.
  5. Pesawat melenting ke udara. Roda depan rusak akibat benturan keras dan kelebihan beban.
  6. GA-200 kembali menyentuh bumi. Roda depan hancur. Pesawat meluncur di landasan tanpa roda depan dengan kecepatan yang belum banyak berkurang. Logam pesawat beradu dengan landasan sehingga mengeluarkan percikan api.
  7. Pesawat menabrak tanggul, selokan, pagar bandara, dan jalan raya. Mesin dan sayap kanan lepas. Terjadi kebocoran bahan bakar yang memicu kebakaran dan ledakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus