KEHADIRAN Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria, Jawa Tengah, tampaknya semakin pasti. Penegasan itu diumumkan Dirjen Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), Djali Ahimsa, Selasa pekan lalu. Bahkan, tender PLTN pertama ini akan dibuka tahun 1995. Berarti, paling lambat, Indonesia akan memiliki PLTN pada tahun 2003. ''Ini sudah keputusan final,'' kata Djali Ahimsa. Pembangkit listrik canggih ini, yang diperkirakan menelan investasi US$ 10 miliar (sekitar Rp 20 triliun), akan menghasilkan listrik sebesar 2 x 600 megawatt. Harus diakui, pernyataan Djali Ahimsa itu bukan hanya mengejutkan, tapi juga memancing rasa ingin tahu, terutama di kalangan yang mau peduli. Dipertanyakan, misalnya, mengapa di tengah melimpahnya energi batu bara dan gas alam, Pemerintah masih ngotot mau membangun PLTN. Soalnya, selain mendatangkan manfaat, PLTN dikhawatirkan menimbulkan musibah. Tentu, PLTN dirancang dengan berlapis-lapis sistem pengamanan. Namun, berbagai kasus, seperti kebocoran pada reaktor nuklir di Three Mile Island, Amerika, atau kebocoran di Chernobyl-IV, Ukraina, memperkuat kekhawatiran itu. ''Masih banyak alternatif lain, kok, malah ngotot membangun PLTN,'' kata sebuah sumber di PLN. Memang, PLTN menggunakan bahan beratom, seperti uranium 235, yang kalau dioperasikan akan menghasilkan energi panas. Energi ini dimanfaatkan untuk memanaskan air, dan uapnya digunakan untuk memutar turbin listrik. Sisa bahan bakar reaktor (zat radioaktif hasil fisi) sekitar 99% tersimpan dalam kungkungan kelongsong bahan bakar, sedangkan selebihnya terdapat dalam air pendingin. Karena memancarkan radioaktif, sisa itu tak dibuang sembarangan, tapi disedot oleh sistem ventilasi dan terkumpul dalam filter. Sementara itu, zat radioaktif dalam air pendingin dikurangi jumlahnya oleh pemurnian air yang terdiri dari resi ion. Nah, filter dan resi penukar ion yang terkontaminasi radioaktif ini merupakan limbah radioaktif. Limbah lainnya berasal dari pakaian dan alat-alat keselamatan kerja, yang diolah dan disimpan dalam drum baja antikarat di lokasi PLTN selama 3040 tahun. Namun, ini belum menjamin bahwa kebocoran radioaktif tak mungkin terjadi. Radioaktif yang berbentuk gas mudah menguap dan menyebar ke lingkungan sekitarnya. Tak mengherankan bila masih ada yang meragukan keamanan PLTN Muria. Tapi ada pula yang mulai mencair, seperti Markus Wauran, anggota Komisi X DPR. DPR, menurut Markus, sudah memberikan lampu hijau sejak 1988. ''Dengan pertumbuhan kebutuhan listrik 15% setahun, sudah saatnya kita punya PLTN,'' kata Markus. Khusus yang menyangkut PLTN Muria, DPR minta agar soal lingkungan dan keselamatan diperhatikan. Sementara itu, beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM), seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), hanya mengingatkan agar pembangunan PLTN Muria dilaksanakan dengan memberikan keterangan sejelas-jelasnya kepada masyarakat. April lalu, Walhi telah mengirim 25 ribu pucuk surat kepada masyarakat untuk menghimpun pendapat mereka. ''Mereka menginginkan informasi lebih banyak,'' kata Mohammad Amung, yang mengelola masalah energi di Walhi. Sikap ragu justru datang dari orang yang paham betul seluk- beluk perlistrikan. ''Ngurus WC saja masih belum becus, bagaimana nanti mau mengoperasikan PLTN?'' kata seorang ahli perlistrikan. Ucapan ini mungkin ada benarnya. Di India, kendati menggunakan teknologi dari Perancis, penanganan yang kurang hati-hati mengakibatkan kebocoran. Padahal, di Perancis mengoperasikan 55 PLTN sampai kini segalanya lancar. Kemungkinan bocor tak dimungkiri oleh Djali Ahimsa. Namun, dengan teknologi yang semakin maju, kemungkinan bocor diyakininya kecil sekali. Bahkan, menurut Djali, PLTN paling bersih dan sedikit menimbulkan dampak lingkungan. ''Soal limbah nuklir tak perlu dikhawatirkan, karena ada teknologi pengolah limbah yang bisa diandalkan,'' katanya. ''Dan dengan reaktor yang lebih canggih, kemungkinan bocor juga kecil.'' Dibandingkan dengan PLTU yang menggunakan energi fosil misalnya PLT diesel, yang menggunakan bahan bakar minyak memang PLTN relatif bersih. PLT batu bara, umpamanya, diketahui paling banyak menyumbang gas CO2, SO2, dan NOx. Pencemaran oleh SO2 dan NOx telah menimbulkan dampak hujan asam, sedangkan gas CO2 menimbulkan dampak rumah kaca, yang meningkatkan suhu atmosfer dan mengubah iklim bumi. Di samping itu, hasil studi kelayakan Batan juga menunjukkan bahwa di Semenanjung Muria tak pernah terdeteksi adanya gempa. ''Cuaca di kawasan Muria juga sangat mendukung untuk pendirian PLTN,'' kata sebuah sumber di New Japan Engineering Consultant konsultan yang ditunjuk Batan dalam rencana pembangunan PLTN. Sepintas lalu tampaknya semua akan mulus. Tapi, bukan berarti sudah mendapat dukungan PLN. Dirjen Listrik dan Pengembangan Energi, Artono Munandar, malah menyayangkan sikap Djali yang pagi-pagi sudah berani memastikan PLTN Muria akan ditenderkan tahun 1995. ''Kan hasil studinya baru selesai November depan. Jadi, belum bisa dilihat layak-tidaknya saat ini,'' kata Artono, yang duduk sebagai Ketua Tim Studi Kelayakan PLTN ini. Bambang Aji, Bandelan Amarudin, dan Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini