PELAJAR berantem, itu bukan berita lagi. Tapi, bila perkelahian itu antarkelas, seperti yang terjadi Jumat dua pekan lalu di SMA 70, Bulungan, Jakarta, ini agaknya berita baru. Kepala sekolah segera meliburkan siswa pria di sekolah yang termasuk favorit itu hingga Rabu pekan ini. SMA 70 berasal dari SMA 9 dan SMA 11 yang, pada 1981, digabung lantaran pelajar dua sekolah yang berdempetan itu sering berantem. Ini menjadikan sekolah itu SMA negeri terbesar se-Indonesia: kini mengasuh 2.200 siswa. Penggabungan itu dinilai efektif. ''Insiden perkelahian menurun drastis,'' kata Iesye L. Sampurnaatmadja, koordinator Bimbingan dan Penyuluhan SMA itu. Prestasi siswa pun lumayan. Tahun lalu, 200 lebih lulusannya lolos ke perguruan tinggi negeri. Dan menurut catatan Biro Psikologi Trisula Utama, yang kliennya hampir semua SLTA negeri di 16 provinsi, siswa SMA 70 menduduki peringkat tertinggi dalam tes IQ. Namun, penggabungan dua SMA itu menimbulkan masalah: kegiatan siswa di sekolah sepertinya kurang terkontrol karena begitu banyaknya siswa. Buktinya adalah kebiasaan para murid SMA 70, sebagai kebanggaan angkatan, memberikan atribut pada angkatan masing-masing. Sekarang ini, kelas dua punya julukan Ekstrimis, yang sering juga ditulis X-3-Mist, dan kelas tiga menamai kelompoknya Rezim. Ekstrimis dan Rezim inilah yang berseteru, konon, untuk menanamkan pengaruh pada angkatan baru (kelas satu) yang sudah ''diwisuda'' dengan nama Agresor. Ada yang bilang, kerusuhan bermula ketika beredar kabar ada siswa kelas satu ditusuk pelajar sekolah lain, seusai jam sekolah, Kamis dua pekan lalu. Beberapa siswa kelas dua kontan menghambur ke halte bus Gelanggang Renang Bulungan, 100 meter dari sekolah, mencari pelaku penusukan. Tak lama, rombongan siswa kelas tiga menyusul. Entah bagaimana asal-usulnya, justru kelompok Ekstrimis dan Rezim ini saling siaga. Sebuah batu sempat melayang ke kepala siswa kelas tiga. Kabarnya, itu karena anak kelas dua tak ingin ''kakaknya'' ikut mencari ''sang penusuk''. Kontan, anak-anak Rezim marah. Mereka melakukan pembalasan pada esok harinya. Ketika anak-anak X-3-Mist berkongko di kantin sekolah, mereka pun melabraknya. Adu mulut segera meletup jadi adu jotos. Perkelahian lantas berlanjut saat jeda pelajaran. Sejumlah siswa kelas tiga, dari lantai satu, menyerbu ke ruang kelas dua di lantai dua. Tawuran meruyak. Batu, sapu, dan tempat sampah jadi senjata. Jendela-jendela kaca pun berantakan. Tawuran berlangsung sekitar 15 menit dan baru berhenti sesudah para guru turun tangan. Tapi esoknya, sebelum lonceng tanda masuk berbunyi, tawuran antarangkatan itu berlangsung di muka pintu gerbang sekolah. Asrul Chatib, Kepala SMA 70, selain meliburkan siswa pria, mewajibkan siswa pria kelas dua dan tiga mendaftar ulang didampingi orang tua masing-masing. Setiap murid harus menandatangani ikrar yang antara lain berisi penghapusan nama angkatan itu. Tapi, hingga akhir pekan lalu, baru separuhnya yang memenuhi kewajiban itu. Belum diputuskan, apa sanksi bagi siswa yang tak mendaftar ulang. Asrul mengaku, sekolah asuhannya yang memiliki 52 kelas dan 106 tenaga pendidik itu rawan perkelahian. ''Idealnya, sekolah ini hanya 36 kelas sehingga mutunya baik dan disiplinnya tinggi,'' katanya. Dengan jumlah siswa yang begitu besar, sering guru sulit menghafal mana saja murid SMA 70 apalagi belakangan ini tanda lokasi dicopot. Pemuda dari luar, entah itu lulusan SMA 70 atau jebolan yang dikeluarkan, acap masuk lingkungan sekolah. Mereka ini kemudian menghasut. Berbagai upaya mengurangi perkelahian bukannya tak dilakukan. Misalnya, di antara 32 ekstrakurikuler, ada kegiatan program latihan tinju. Siswa yang acap membikin onar diawasi tim khusus keamanan, yang terdiri dari tujuh guru. Bila dari catatan yang ada diketahui seorang siswa tetap saja membuat perkara setelah peringatan pertama, kedua, dan terakhir, dia harus dikeluarkan. Menurut Iesye, yang jadi guru BP sejak 1965, setiap tahunnya ada 3-4 siswa yang ''dikembalikan kepada orang tuanya''. Soal munculnya geng-geng di sekolah ini, Iesye menganggapnya normal-normal saja. ''Dalam perkembangan remaja, ada masa-masa di mana mereka mempunyai kebutuhan berkelompok,'' katanya. Yang jadi masalah adalah jebolan SMA 70 yang ikut-ikutan di geng itu. ''Mereka sulit diatasi karena sudah tak ada keterikatannya dengan kami,'' ujar Iesye. Menurut ahli psikologi sosial Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, perkelahian pelajar SMA 70 harus dilihat sebagai kasus khusus. Sebab, kasus tawuran antarangkatan ini hanya terjadi di SMA 70. ''Mesti dilihat dulu, apa karena sekolahnya terlalu besar atau manajemennya yang kurang betul,'' katanya. Untuk memecahkan soal ini, Sarlito cenderung memakai pendekatan behavioristik. ''Tak usah dicari dulu akar penyebabnya, tapi perilaku berantemnya dulu yang digencet,'' ujarnya. Biang kerok perkelahian, ujar Sarlito, biasanya hanya beberapa orang. Mereka mesti diisolasi dan ditangani khusus. Pelajar lainnya kebanyakan hanya larut dalam massa segera dikembalikan ke pribadi masing-masing. Langkah selanjutnya adalah membubarkan geng-geng dan memberangus simbol-simbol. Untuk ini, guru harus kuat dan berani. Ardian T. Gesuri dan G. Sugrahetty D.K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini