Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Setelah Ledakan itu...

Terbakarnya PT Petrowidada di Gresik memicu kekhawatiran pencemaran lanjutan.

1 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATA Sumokitri berkaca-kaca. Menatap rumah tinggalnya di tepian Kali Roomo, Desa Roomo, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, kakek renta berumur 99 tahun ini tak kuasa membendung tangis. Rumah 4x8 meter tempatnya bernaung hanya tinggal puing hitam dan menebarkan aroma hangus menyengat. Semuanya musnah setelah tangki PT Petrowidada meledak.

Ledakan Selasa minggu lalu itu memang dahsyat. Diikuti pijaran api yang membubung ke angkasa, ledakan terlihat hingga 3 kilometer dari lokasi pabrik di kawasan industri Petrokimia Gresik. Potongan besi beterbangan memenuhi udara di atas pabrik, asap hitam pekat membubung tinggi, lalu terseret angin ke selatan. Dari Kota Surabaya yang jaraknya 20 kilometer, asap ledakan terlihat seperti cendawan besar yang menutupi Kota Gresik. Dan hanya dalam hitungan detik, pabrik milik PT Petrokimia Gresik, Daewoo Corporation, PT Justus Corporation, dan PT Eterindo Wahanatama itu musnah dilahap api.

Tapi itu semua baru permulaan. Dua jam kemudian, cairan kimia menjalar ke Dusun Meduran, Desa Roomo, yang jaraknya cuma 150 meter dari pabrik. Seperti lahar gunung berapi, asap hitam pekat itu melaju cepat bersama cairan dan ampas bahan kimia melewati Kali Roomo, yang selama ini menjadi saluran pembuangan limbah pabrik dan membelah dusun. Selain membawa hawa panas, bau kimia bercampur bau plastik terbakar memenuhi rongga paru-paru.

Kali Roomo yang lebarnya hanya enam meter itu pun menjadi sungai api. Lidah api mengalir, menyusuri sungai, menghanguskan apa saja di sekelilingnya. Malanglah Mbah Sumo. Rumahnya di pinggir kali jadi santapan lezat api yang tengah mencari bahan bakar. Bersama miliknya, rumah Zainal Ali dan Haji Munir juga musnah. Maka 200-an orang warga harus mengungsi. Kebakaran ini, hingga minggu lalu, telah menewaskan dua orang karyawan, melukai puluhan lainnya, serta menghanguskan 134 kendaraan roda dua dan 15 mobil.

Kini, Kali Roomo tak lagi pantas disebut sungai. Yang tersisa tinggal ampas kimia hitam kecokelatan. Air yang biasanya mengalir entah lenyap ke mana. Di beberapa tempat tampak genangan cairan keruh berbusa hitam kehijauan. Baunya jangan ditanya, sangat menyengat hidung.

Suhu di kampung itu juga berubah. Menurut Sutrisno, Ketua RT 01/02 Desa Roomo, kini dusun mereka terasa lebih gerah. Gangguan ini masih harus ditambah bau menyengat dari kali yang kerap bikin pusing dan mual. Tak mengherankan, yang meledak dan terbakar adalah tangki pengolah berisi bahan kimia untuk pembuatan phthalic anhydride (PA) dan maleic anhydride (MA). Keduanya dikenal sebagai bahan plasticizer—pelemas plastik.

Sutarto, seorang direktur Petrowidada, mengaku bahwa ledakan itu akan berdampak langsung ke masyarakat lewat alur pembuangan air. Alur inilah, menurut dia, yang membawa bahan kimia yang terbakar dari pabrik hingga ke dusun sekitar. Tapi ia menjamin bahan kimia ini tidak akan berdampak pada lingkungan. Alasannya, "Sifat gas itu begitu terbakar akan terurai sehingga tak begitu berbahaya dan akan lepas ke udara," kata dia.

Pernyataanya ini didukung temuan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Surabaya, yang langsung melakukan uji kualitas udara di sekitar dan di dalam pabrik, malam hari setelah ledakan. Pengujian kualitas udara juga dilakukan dua hari berturut-turut seusai kejadian. Hasilnya, menurut Kepala BTKL Surabaya, Supriyanto Margono, "Semuanya masih memenuhi baku mutu lingkungan." Kendati begitu, BTKL, menurut Supriyanto, terus melakukan penyelidikan dan berkoordinasi dengan Petrowidada. Ini untuk memperoleh gambaran, zat beracun apa saja yang mungkin menjelma dari ledakan.

Sebaliknya Prof. Asis Djajadiningrat dari Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), kepada Rinny Srihartini dari TEMPO, justru menyebut bahwa pencemaran akibat kebakaran Petrowidada amat berbahaya, bahkan perlu waktu lama untuk memulihkannya. "Setidaknya butuh waktu satu sampai dua tahun agar lingkungan kembali normal," kata dia.

Menurut Asis, hidrokarbon yang ditimbulkan kebakaran membubung cukup tinggi dan ini sulit larut. Akibatnya, udara dalam radius setidaknya 5 kilometer dari pusat kebakaran akan sangat beracun. Racun ini timbul akibat terbakarnya bahan kimia aromatik, seperti toluen, yang biasa ada di pabrik penghasil bahan plastik seperti Petrowidada.

Dugaan Asis tak berlebihan. Tim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang mengobservasi kawasan itu menemukan, tiga hari setelah ledakan, dalam radius 2-3 kilometer dari pabrik, terjadi hujan yang airnya menimbulkan gatal di kulit. "Mereka bertanya, ada hujan tapi tak ada mendung, yang menyebabkan gatal pada kulit," ujar Ridho Syaiful dari Divisi Pendidikan dan Hubungan Anggota Walhi Jawa Timur. Ia menduga, rasa gatal itu akibat bahan kimia yang menyembur ke udara saat terjadi ledakan.

Bukan hanya udara tercemar yang berbahaya. Menurut Asis, tumpahan bahan kimia, baik yang terbakar maupun tidak, selain mampu merusak kesuburan tanah, juga bisa mengkontaminasi air tanah. Inilah yang disaksikan Atiek Hariyati, warga Kampung Meduran. Ia terheran-heran melihat air sumur tanah miliknya mendadak berubah. Selain warnanya menjadi kekuningan, sumur Atiek juga mengeluarkan bau menyengat.

Melihat kerusakan yang terjadi, Asis menyarankan agar segera dilakukan penelitian kualitas air dalam radius setidaknya 500 meter, terutama untuk air sumur dangkal dan sungai. Asis juga menyarankan agar penduduk dalam area itu mengungsi. Petrowidada sendiri melalui press release-nya menyebut akan membentuk tim lingkungan untuk mengatasi segala persoalan lingkungan usai ledakan.

Terbakarnya Petrowidada juga mengundang tanya perihal penyebab ledakan dan kesiapan pabrik menghadapi situasi darurat. Menurut Ridho, penelisikan timnya menemukan bahwa kebocoran pada tangki yang meledak sebetulnya sudah diketahui sejak pagi. "Tapi tak ada upaya untuk mengevakuasi karyawan dan memberikan peringatan sejak dini," kata dia. Ridho juga meragukan ketersediaan peralatan darurat di lokasi pabrik untuk mengantisipasi kebakaran. Keserampangan ini, kata Ridho, adalah bentuk nyata "kejahatan perusahaan".

Tentu saja Petrowidada membantah tudingan itu. Menurut Yudianto, salah satu direktur di sana, perusahaannya menerapkan metode pengamanan yang telah memenuhi standar operasi internasional (ISO). Di dalam pabrik juga tersedia hidran pemadam kebakaran dari jenis foam dan air dalam jumlah memadai sesuai dengan kapasitas pabrik. Dan, masih menurut Yudianto, semua fasilitas ini berfungsi dengan baik saat ledakan. Ia memastikan bahwa semua ini—termasuk instalasi pengolah limbahnya—setiap enam bulan sekali diperiksa kelayakannya. "Selalu tidak ada masalah," kata Yudianto.

Sedangkan tentang tudingan kelalaian hingga ledakan terjadi, ia mengaku tengah meneliti peristiwa ini, "Apakah terjadi karena technical error atau human error," katanya. Apa pun itu, kini Mbah Sumo yang terbatuk-batuk telah kehilangan tempatnya kelonan buat menghabiskan masa tua.

Agus Hidayat, Adi Mawardi, Agus Raharjo, dan Sunudyantoro (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus