Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERSAN Jaror C. Puello-Coronado tengah berjaga bersama dua anggota polisi militer di pintu utama markas tentara Amerika Serikat di Ad-Dawaniyah, kawasan Irak bagian selatan. Tiba-tiba, Sabtu pagi, 17 Januari lalu, sebuah truk melesat ke arah mereka. Puello mendorong seorang rekannya dan memperingatkan yang lain. Tapi truk bermuatan bom itu justru menabrak Puello hingga tewas. Celakanya, saat itu banyak warga Irak menunggu masuk ke markas untuk berkunjung atau bekerja. Tak ayal, 16 warga Irak, yang sedang antre di antara gulungan kawat berduri di sekeliling tempat pemeriksaan, lumat oleh bom, 20 mobil hangus terbakar, dan dua prajurit AS tewas.
Sejak invasi secara sepihak ke Irak, sudah 500 prajurit AS tewas—jumlah korban terbesar sejak AS terlibat agresi di Vietnam tiga dasawarsa silam. Perang Vietnam selama 10 tahun telah mengubur 58 ribu prajurit dan warga sipil AS. Sedangkan di Irak, tentara AS terus berjatuhan justru setelah perang dinyatakan berakhir oleh Presiden George W. Bush, 1 Mei tahun silam. "Tapi 500 prajurit tewas itu sudah terlalu banyak," kata Sersan Melanie Torres asal California.
Korban tentara AS yang semakin bertambah tak ayal menepis dugaan tertangkapnya Saddam Hussein Desember silam akan mengurangi semangat gerilyawan Irak. Yang terjadi justru sebaliknya: muncul indikasi jatuhnya moral pasukan AS. "Tingkat moralitas sebagian besar tentara sudah benar-benar ambruk," ujar seorang perwira Divisi Infanteri III AS di Irak. Ada beberapa tentara AS yang frustrasi diam-diam menulis surat kepada anggota Kongres atau Palang Merah Internasional minta dipulangkan. "Mereka juga menguras tabungan untuk membeli tiket pulang," tulis seorang prajurit.
Merosotnya moral pasukan AS itu bukan hanya karena waktu penempatan yang tak terbatas, tapi juga akibat perubahan jadwal pemulangan yang selalu terjadi. Banyak prajurit yang tidak lagi percaya kepada komandan mereka. "Perlakuan yang buruk terhadap kami, dan kebohongan mengenai jadwal kepulangan, benar-benar telah menghancurkan harapan kami semua," tulis seorang prajurit muda kepada seorang anggota Kongres.
Pentagon bukannya berpangku tangan. Empat hingga enam bulan mendatang, markas besar serdadu AS itu memang berencana memulangkan sebagian besar dari 130 ribu prajurit yang sudah letih itu, diganti dengan 105 ribu serdadu yang dilengkapi Strykers, kendaraan perang berteknologi canggih. Namun, sementara pergantian itu masih ditunggu-tunggu hingga bikin jengkel, semangat perang tentara AS mulai digerogoti oleh ancaman gerilyawan, bom bunuh diri, suhu padang pasir yang terik, kondisi hidup yang keras, dan rasa jemu. Sudah beberapa pekan ini, 9.000 anggota Divisi Infanteri III AS, yang bertugas selama enam bulan hingga setahun, menunggu kesempatan pulang kampung.
Mereka benar-benar frustrasi dan putus asa. "Ada yang mengomel, ada yang mencoba curhat, ada pula yang menulis surat, menangis, dan berteriak-teriak. Banyak yang lelah dan tertekan. Ada yang jalan-jalan tak tentu arah seperti pion yang tak punya peran dalam suatu permainan," tulis seorang perwira dalam sepucuk surat. Bahkan ada 21 tentara AS yang bunuh diri. Dari 100 ribu prajurit, persentase yang bunuh diri naik dari 10,5 persen menjadi 13,5 persen. Sementara itu, sejak November lalu, 4.400 tentara AS menunggu giliran perawatan psikis dan 400 orang di antaranya dipulangkan karena gangguan kejiwaan. "Ini tak pernah terjadi sebelumnya," ujar William Winkenwerder, asisten Menteri Pertahanan AS bidang kesehatan mental.
Tapi, seperti biasa, meningkatnya angka kematian tentara AS yang mengakibatkan merosotnya moral pasukan itu dibantah. "Saya kira pasukan tak melihat hubungan antara jumlah korban dan moral tentara. Mereka tahu punya bangsa dan korps militer yang berdiri teguh mem-back-up," kata Brigadir Jenderal Mark Kimmitt, juru bicara militer AS, dengan nada klise. Tapi nyatanya ratusan janda dan calon janda di AS menangisi perang Irak yang alasannya dicari-cari oleh Presiden Bush itu.
"Kami kehilangan nyawa, lalu semua itu untuk apa? Mereka membawa pulang kantong mayat, dan apa yang kami peroleh dari pemerintah? I'm so sorry, semua itu tak akan mengembalikan suami-suami kami," kata Nyonya Sandra Puello, janda sang Sersan, kesal. Ia memang menyebut suaminya sebagai pahlawan, tapi tak mudah menerima kematiannya. Suatu hari ia mengamuk, ke luar rumah, lalu seperti orang gila mencabut semua tanaman di halaman rumahnya di Long Pond, Pennsylvania.
Hari-hari ini, Sandra masih hafal betul kalimat-kalimat yang ditulis suaminya dalam sepucuk surat terakhir, tak lama sebelum insiden truk bermuatan bom itu: "Ketika kamu duduk hening di bawah temaram sinar bulan, pandanglah Bintang Utara. Aku juga akan memandang bintang itu di langit biru, dan membayangkan aku duduk bahagia di sampingmu, meski kita jauh terpisah. Di Bintang Utara, engkau selalu dapat menemuiku...."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo