HUJAN tropis yang lebat terus saja mengguyur hutan Sungai Daun, wilayah Tanjung Medan, Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Bengkalis, Riau. Julisman, Rusdi, Maurits Simanjuntak, dan lainnya cepat-cepat berlindung di bivak mereka. Juga David Anthony Parkinson (yang lebih senang dipanggil "Tonny"), si ahli perangkap satwa liar dari Amerika Serikat. Dengan berpelukan kedua dengkulnya, Tonny tak bisa apa-apa. Sebab, jangankan di dalam bivak di luar pun, apalagi kalau hari hujan, siang bagaikan malam di hutan yang lebat itu. Dan terhentilah pembuatan perangkap badak hari itu. Tonny dan kelompoknya adalah anggota tim ekspedisi penangkapan badak Sumatera (Didermocerus sumatrensis). Ada alasan mengapa lokasi itu yang dipilih, yang konon memiliki 20 ekor dari 400 badak di seluruh Sumatera. Hutan konversi seluas 40.000 ha itu kian menyempit. Bukan saja desa atau setengah kota banyak bertumbuhan, tapi PTP IV juga akan membuka ribuan hektar kebun kelapa sawit di kawasan itu. "Areal badak jadi terpenggal," kata Dirjen PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam), Rubini Atmawidjaja. Ide untuk menangkap badak Sumatera ini muncul pada Oktober tahun lalu, dalam seminar IUCN (PHPA Internasional) di Singapura. Dari Sumatra Rhino meeting inilah muncul tim ekspedisi ini. John Aspinal, pemilik kebun binatang Howlette & Ports Lympne Foundation (HPLF) di Kent, Inggris, tertarik akan badak Sumatera. Suatu perjanjian pun dilaksanakan, antara Rubini Atmawidjaja dari Indonesia dan Francesco Nardelli, yang mewakili Aspinal. Tentu saja izin menangkap binatang yang dilindungi itu dengan syarat-syarat. Dalam ekspedisi yang akan mengambil waktu tiga tahun itu, antara lain, Inggris bersedia membantu kegiatan pembinaan populasi badak. Termasuk mengajarkan kepandaian menjinakkan badak. Calon-calon pawang badak Indonesia adalah mereka yang kini sudah terlibat tim ekspedisi yang sudah masuk hutan pada pertengahan Agustus lalu. "Inggris juga bersedia membiayai mereka yang akan belajar di sana," ujar Rubini. Selain itu, semua perlengkapan ekspedisi setelah proyek selesai akan menjadi milik RI. Pihak HPLF akan membayar US$ 50.000 untuk setiap ekor badak yang dapat ditangkap. Badak bercula dua ini tubuhnya tidak sebesar badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) yang kulitnya berlipat-lipat bersisik dan hanya punya satu cula. Apalagi badak Afrika (Diceros bicornis) yang biasa disebut badak hitam karena kulitnya kelabu tua. "Badak Sumatera cuma sebesar kerbau," sambung Rubini. Sebagai binatang mamalia dan pemakan daun muda atau umbi, binatang itu mempunyai penciuman dan pendengaran yang sangat peka. Tapi penglihatannya payah. Hanya dari jarak 10 meter saja, satwa yang sifatnya soliter ini baru bisa melihat jelas. Tugas pertama tim ekspedisi yang dipimpin oleh Ir. A. Chalik M. Deri selaku ketua regional ialah mencari jejak jalur utama lintas badak. Satwa - yang jantan sering mengamuk dan berbahaya - ini mempunyai kebiasaan pergi dan pulang pada lintas yang sama. Demikian pula tempat mereka berkubang, tak senang ganti-ganti tempat. Tak berapa sulit, tim, dalam tempo beberapa hari saja, sudah bisa menemukan telapak kaki dan kotoran badak. Di alur jalan badak itulah, perangkap pun dibuat. Untuk tahap pertama (sekitar enam bulan), dibuat enam perangkap kurung dan dua perangkap lubang. Ketika TEMPO meninjau ke Torgamba, baru jadi dua perangkap lubang. Perangkap yang terakhir adalah ide Chalik Deri yang mengingatkan kebiasaan penduduk setempat untuk memasang jerat. Semula, Raleigh Blouch, ahli satwa liar dari HPLF, kurang setuju dengan perangkap lubang. Sebab, lubang dengan kedalaman 2,5 m akan melukai sang badak yang terperosok. Ternyata, lubang seluas 3,5 x 1,2 m itu di dasarnya ada daun-daun kayu setebal 25 cm untuk "kasur". Hanya, baik dasar maupun keliling lubang harus ditutup dengan papan, agar badak yang berkuku kaki tiga itu tidak menggaruk-garuk tanah. Pada permukaan lubang, pepohonan dibiarkan tumbuh. "Kami harus berbuat sedemikian rupa, untuk tidak menimbulkan kecurigaan badak," kata Tonny. Dia juga berpendapat bahwa menangkap badak di Sumatera lebih sukar ketimbang di India dan Afrika. Pemburu yang pernah menangkap sekitar 250 satwa liar besar di Afrika, Filipina, dan Malaysia ini beranggapan bahwa hutan di Sumatera lebih lebat. "Belum lagi banyak alur air dan rawa," katanya. Di Afrika, demikian Tonny, dengan alamnya yang berhutan sabana, menangkap badak dengan helikopter. Untuk melumpuhkannya, cukup dengan tembakan obat bius. "Di sini, tak mungkin," kata Tonny. Sebab, badak setelah dibius, dalam masa lima menit, masih berlari sejauh 2-4 km. Karena badak kalau panik akan lari lintang pukang. Salah-salah, badak bisa mati. "Padahal, kita mau badak-badak itu dalam keadaan hidup," sahut Tonny pula. Kini, sedang disiapkan pula lokasi ad adaptasi badak yang letaknya tak jauh dari bivak. Tanah seluas 800 m2 dipagari kuat-kuat dengan balok yang cukup besar. Di situlah, untuk beberapa minggu, badak akan dibiasakan memahami lingkungannya yang baru. Misalnya, harus diperdengarkan bunyi mesin mobil. Juga harus dibiasakan untuk jalan-jalan di sekeliling situ. Badak, yang konon mempunyai sifat pemalu itu, harus "berani" berhadapan muka dengan manusia dan hewan lain. "Kalau langsung dinaikkan pesawat terbang, ia akan shock," kata Tonny. Menurut perjanjian, sepasang badak yang dapat ditangkap pertama akan dikirim ke Inggris. Pasangan kedua dikirim ke kebun binatang Ragunan, Jakarta. Pasangan ketiga, juga Ragunan. Baru pasangan keempat - karena dalam perjanjian hanya delapan ekor yang ditangkap - dikirim lagi ke Inggris. Ekspedisi ini sekaligus sebagai usaha pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengembangbiakkan satwa badak. Rencananya areal seluas 20-50 hektar akan dijadikan habitat badak. "Ada 100 macam lebih jenis tanaman hutan menjadi makanan badak," kata Chalik Deri. Karenanya, ia minta agar PTP IV menangguhkan perluasan kebun kelapa sawitnya. "Paling tidak untuk tiga tahun ini," sambungnya. Toeti Kakiailatu Laporan biro Medan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini