ORIENTALISM AND ISLAM: THE LETTERS OF C. SNOUCK HURGRONJE TO TH. NOLDEKE FROM THE TUBINGEN UNIVERSITY LIBRARY Penerbit: P.Sj. van Koningsveld, Leiden, 1985, 373 halaman SURAT-SURAT pribadi yang ditulis seorang sarjana masyhur kepada keluarganya, teman-teman, dan rekan-rekannya tidak dapat diabaikan sebagai sumber mengukur peranannya dalam dunia ilmu pengetahuan, dan memahami pribadinya. Lebih-lebih bila sarjana itu adalah Prof. C. Snouck Hurgronje, Orientalis dan penasihat pemerintah Hindia Belanda abad lalu, yang namanya tidak asing di Indonesia. Snouck Hurgronje, sebagai diketahui pada usia 27 tahun berangkat ke Mekkah, bermukim di sana mempelajari berbagai segi Islam, yang kemudian dituliskannya dalam dua jilid buku Mekka. Pada 1889, ia pergi ke Hindia Belanda, dan menjadi penasihat pemerintah untuk bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam. Ia pernah berdiam di Aceh, yang waktu itu sedang ditaklukkan Belanda, dan dari situ keluar buku-bukunya De Atjehers dan Het Gajoland en zijne bewoners. Tahun 1898, ia diangkat sebagai penasihat untuk Urusan Bumiputra dan Arab. Tahun 1906 ia kembali ke Negeri Belanda, dan menjadi guru besar pada Universitas Leiden hingga 1927. Ia meninggal dunia pada 1936, dalam usia 79 tahun. Theodor Noldeke (1836-1930) adalah Orientalis paling besar di Jerman pada abad ke-19. Dari tahun 1872 hingga 1918 ia menjabat sebagai guru besar Bahasa-Bahasa Timur di Straatsburg, dan publikasinya banyak bergerak dalam bidang linguistik dan filologi Semit, serta sejarah bangsa-bangsa di Timur Tengah. Meskipun Noldeke 21 tahun lebih tua daripada Snouck, hubungan mereka sangat akrab, karena mereka berkecimpung dalam bidang ilmu yang sama. Mereka berkorespondensi selama masa yang lama, sejak Snouck berada di Jeddah pada 1884, kemudian pindah ke Batavia, Kota Radja, sampai kembali ke Leiden. Sebanyak 220 surat, yang ditulis dengan tangan, dikirim Snouck kepada Noldeke dari 1884 hingga 1929. Banyak surat itu mengandung kalimat dan kata-kata bahasa Arab, yang ditulisnya dengan huruf Arab gundul, bahkan tambahan bagi sebuah surat seluruhnya ditulis Snouck dalam bahasa Arab. Pada umumnya isi surat itu dimulai dengan pembahasan dan komentar Snouck tentang karya seorang rekan Orientalis yang baru dibacanya, atau uraiannya tentang etimologi Arab yang ditanyakan Noldeke. Snouck juga menerangkan apa yang sedang dikerjakan atau dialaminya, kemudian catatan-catatan mengenai keadaan keluarga. Bagi mereka yang kenal karya kaum Orientalis tenar pada masa itu seperti Goldzieher, Brockelmann, Wensinck, Becker, Arnold, Torrey, Massignon, niscaya akan menarik membaca pendapat Snouck tentang karya-karya tersebut. Terutama karena ia tidak segan menunjukkan kebodohan seorang rekan dalam menafsirkan sesuatu. Pengkajian tentang soal-soal ilmiah ini terlalu teknis dan rumit untuk dikemukakan di sini. Barangkali lebih menarik membaca bagian-bagian yang bersifat informatif dari surat-surat Snouck, dan pendapatnya tentang apa yang dilihat dan dialaminya di Hindia Belanda. Batavia (Jakarta) barulah dikenalnya sebagian kecil pada Juni 1889. Luasnya kota ini luar biasa dan jarak begitu besar, sehingga tiap kunjungan harus dilakukan dengan kereta (rijtuig). Kata Belanda koetsier menjadi koesir dalam bahasa Melayu, dan orang Arab di Betawi juga mengambil alih perkataan tersebut, tetapi dalam bentuk jamak dijadikannya kesasirah. Kata Belanda onkosten menjadi ongkos dalam bahasa Melayu, tetapi dalam bahasa Arab-Betawi dia menjadi onkos (mufrad) dan anakis (jamak). Sampai-sampai hal begini ditulis oleh Snouck kepada Noldeke di Jerman. Setelah mengunjungi Vorstenlanden (Yogya-Solo), ia menulis pada akhir 1890 dan awal 1891 sebagai berikut: "Putra-Putra Sultan Yogya seluruhnya dididik secara Belanda, dan berbicara bahasa Belanda hampir tanpa aksen. Kira-kira tiga minggu saya berada di Kota Solo. Juga di sini Islam qua dogma menguasai perasaan, tetapi hidup mereka kebanyakan dilaksanakan separuh Jawa-kuno, setengah Eropa dan takhyul rakyat. Adat istiadat keraton adalah separuh Hindu. Penduduk Gouvernements landen yang dapat berkembang lebih bebas adalah Muslim yang lebih baik dibandingkan dengan penduduk Vorstenlanden, karena di sini prosesnya agak dilambankan oleh kekolotan-keraton (hof-conservatisme)." Dari Kota Radja, 15 Agustus 1891, Snouck menulis kepada Noldeke: "Atjeh adalah suatu negeri kaya yang penduduknya tidak "godsdienstig", tetapi sangat fanatik yang melanggar hukum agama tiap hari, tetapi takut terhadap mereka yang tahu berperan sebagai orang keramat (heiligen). Selama berabad-abad secara anarkistis kacau dan terpecah belah, biasa hidup dari pembajakan di darat dan di laut (land- en zeeroof), bergabung pada kepala (pemimpin) yang memberikan kepada mereka hadiah paling banyak dan meninggalkan pemimpin itu begitu ada yang lain yang menawarkan lebih besar, tidak begitu mengindahkan hidup mereka dan sama sekali tidak menghitung nyawa orang lain, selalu menemukan tempat melarikan diri yang aman di pegunungan dengan hutan yang tidak tertembus oleh orang asing, mereka memberikan banyak gawe kepada "pembawa peradaban" (beschavers - maksudnya pihak Belanda) yang makin bertambah lantaran pandangan politik yang berubah-ubah dari 'beschavers itu sendiri". Snouck ikut dalam ekspedisi militer di Pidie, bersama kira-kira 6.000 serdadu Belanda menyerang kubu pertahanan rakyat Aceh pada 1898. Ia mengakui "orang-orang Aceh adalah piawai dalam gerilya dan berusaha dengan pengetahuan menghindari pasukan-pasukan Belanda, dan meletihkan mereka". Di antara suku yang paling disenangi Snouck rupa-rupanya adalah Sunda. Tentang ini, ia menulis pada 1895: "Perasaan saya sering mendambakan ketenangan kehidupan di luar kota, bebas dari kesibukan pejabat dan kedongkolan, di tengah-tengah orang Sunda, yang buat saya merupakan bangsa paling manis di dunia (het liefste volk der aarde)". Apakah karena ini Snouck pernah beristrikan wanita Sunda, wallahualam. Pada pertengahan 1909, dalam suratnya dari Leiden, Snouck berbicara tentang "Indonesiers" dan bukan "Inlanders". Ia barcerita, di Negeri Belanda, waktu itu, terdapat kira-kira 25 orang Indonesia sebagai mahasiswa. Mereka mulai berbicara tentang masa depan intelektual bangsa mereka, apalagi karena mereka sangat cerdas. Apakah Snouck Hurgronje benar-benar memeluk agama Islam, sehingga bisa memasuki Mekkah? Ataukah itu hanya muslihat untuk keperluan penelitiannya, dan tetap sebagai seorang Kristen? Surat yang ditulisnya dari Den Haag, 24 September 1906, bercerita tentang jabatan guru besar di Leiden yang telah diterimanya, dan mengenai betapa kadang-kadang timbul rasa penyesalannya meninggalkan Hindia Belanda, karena ikatan-ikatan kuat menghubungkannya dengan negeri tersebut. Tetapi, kata Snouck, "sebagai Muslim yang baik saya melawan rasa penyesalan itu dan saya berharap tanpa gerutu menerima apa yang dibawa selanjutnya oleh qadar, bahkan kegersangan dan kedinginan Belanda". Kemudian, pada 1915, ketika dalam Perang Dunia I (1914-1918) Jerman mengobarkan semangat bangsa Turki (yang jadi sekutunya) untuk melancarkan politik jihad, Snouck menulis kepada Noldeke, betapa ia sebagai "Islam mensch" atau "manusia Islam" harus memberikan pendapatnya tentang peristiwa itu. Mengenai perang sabil orang-orang Islam di bawah patronat (perlindungan) Eropa (baca:Jerman), ia menulis: "Saya akan berbicara, sekerap kali hal itu tampaknya perlu bagi lingkungan saya sendiri, seperti yang telah saya lakukan, dan saya tidak menyangkal masa silam saya" (en ik verloochen daarbij mijn verleden niet). H. Rosihan Anwar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini