Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Lingkungan

Sidang Gugatan Kabut Asap di Sumatera Selatan Hadirkan 3 Saksi Ahli dari 3 Kampus

Bencana kabut asap yang dimaksud berasal dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi masif di Sumatera Selatan selama 10 tahun terakhir.

10 April 2025 | 21.09 WIB

Foto udara menunjukkan Jembatan Ampera tertutup kabut asap di Palembang, Sumatera Selatan, Jumat, 5 Oktober 2018. ANTARA
Perbesar
Foto udara menunjukkan Jembatan Ampera tertutup kabut asap di Palembang, Sumatera Selatan, Jumat, 5 Oktober 2018. ANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Palembang - Sidang lanjutan gugatan atas bencana kabut asap di Sumatera Selatan menghadirkan tiga saksi ahli dari kubu penggugat. Ketiganya, yang datang dari tiga universitas berbeda, memberikan keterangan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Kelas I Kota Palembang, Kamis 10 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Belgis Habiba mengatakan, tiga ahli akan menjelaskan berdasarkan kepakarannya terkait bencana kabut asap yang disebabkan oleh perusahaan hutan tanaman industri (HTI) PT Bumi Mekar Hijau, PT Bumi Andalas Permai, dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries. Greenpeace Indonesia menjadi penggugat intervensi dalam perkara gugatan yang diajukan 11 warga Sumatera Selatan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kami menghadirkan pakar hukum lingkungan dari Universitas Indonesia (UI) yaitu Andri Gunawan Wibisana dan Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Iman Prihandono secara fisik di lokasi," kata Belgis saat dihubungi Tempo melalui aplikasi perpesanan Whatsapp. Satu saksi ahli  lagi, yaitu pakar gambut dan ilmu tanah dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Azwar Maas hadir secara virtual melalui aplikasi konferensi video Zoom.

Suasana sidang lanjutan gugatan bencana kabut asap di Pengadilan Negeri Palembang, Sumatera Selatan, Kamis 10 April 2025. Tempo/Yuni Rahmawati

Sebelumnya, 11 penggugat yang adalah warga Palembang dan Ogan Komering Ilir (OKI) telah menghadirkan 13 saksi fakta dalam persidangan pada Kamis, 20 Maret 2025. Para saksi itu menguatkan dampak atas kabut asap yang dihasilkan dari praktik tiga perusahaan HTI yang berdiri di atas lahan kesatuan hidrologis gambut (KHG) Sungai Sugihan-Sungai Lumpur tersebut. Bencana kabut asap yang dimaksud berasal dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi masif selama 10 tahun terakhir.

Ahli dari UGM: Gambut Tak Mungkin Mengering Sendiri

Dalam kesaksiannya, ahli gambut dan ilmu tanah dari UGM Azwar Maas menjelaskan bahwa gambut adalah tanah basah yang terbentuk dari tumbuhan membusuk di rawa yang secara alami menyukai air (hidrofilik). Gambut, mantan Ketua Kelompok Ahli Badan Restorasi Gambut (BRG) ini menegaskan, tidak mungkin terbakar kecuali telah mengering.

Masalahnya, Azwar menambahkan, lahan gambut tidak mungkin mengering sendiri. Biasanya, jika sekitaran areal gambut dibuat kanal tanpa pengaturan tinggi muka air, itulah yang membuat gambut bisa menjadi kering dan berubah menjadi hidrofobik (menolak air). Dalam kondisi inilah gambut menjadi sangat mudah terbakar.

“Kebakaran di lahan gambut bisa menyebar luas dan sulit dipadamkan karena api merambat di bawah permukaan,” katanya daring. Dan, ketika telah terjadi kebakaran selalu diikuti potensi kebakaran yang parah. "Karena berbeda dengan kebakaran di tanah mineral yang hanya cenderung bersifat lokal dan tidak meluas."


Ahli dari UI: Kebakaran Hutan dan Lahan Berlaku Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Dalam pandangan ahli hukum lingkungan dari Universitas Indonesia (UI) Andri Gunawan Wibisana, kebakaran hutan dan lahan bisa dikenai prinsip strict liability atau pertanggungjawaban mutlak. Ketentuannya telah ada dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. “Aturan ini memungkinkan perusahaan tetap bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan,” kata Andri dalam giliran kesaksiannya.

Guru Besar Hukum dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Iman Prihandono (kiri) dan ahli hukum lingkungan dari Universitas Indonesia Andri Gunawan Wibisana dalam sidang gugatan bencana kabut asap di Pengadilan Negeri Kelas I Kota Palembang, Sumatera Selatan, pada Kamis, 10 April 2025. (Abriansyah Liberto/Greenpeace Indonesia)

Menurutnya, kabut asap yang sedang dipersoalkan penggugat perlu dilihat kembali relasi kausalitasnya dengan kebakaran hutan dan lahan. Karenanya pula, Andri menambahkan, pembangunan kanal oleh perusahaan HTI di lahan gambut--yang didalilkan oleh penggugat sebagai dangerous activity--bisa dikenai tanggung jawab hukum.

"Dengan strict liability, tergugat bisa dinyatakan bertanggung jawab apabila kebakaran hutan dan lahan termasuk dalam risiko dari kegiatan usahanya," kata Andri lagi.


Ahli dari Unair: Perusahaan Hasilkan Kabut Asap Melanggar HAM

Iman Prihandono, Guru Besar Hukum dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), menyoroti pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ia merujuk pada Prinsip-Prinsip United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs), yang mewajibkan perusahaan menghormati hak masyarakat atas lingkungan sehat.

“Perusahaan harus menyadari bahwa pembangunan kanal yang akhirnya menyebabkan bencana kabut asap bisa melanggar hak atas udara bersih,” kata Iman dalam ruang sidang.

Ia juga meminta agar setiap korporasi tidak lagi hanya mengandalkan izin analisis dampak lingkungan (Amdal), namun juga hasil audit HAM. "Perusahaan hanya memiliki Hak Berusaha sehingga dalam kasus seperti ini, memang peru adanya audit HAM," kata dia. 

CATATAN:
Artikel ini telah diubah pada Jumat, 11 April 2025, pukul 15.06 WIB, dengan menambahkan isi keterangan yang disampaikan para saksi ahli dalam persidangan. Terima kasih.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus