LEBIH setahun, 1 April 1981, TVRI secara drastis mengubah pola
siarannya. Sambil menghilangkan acara Siaran Niaga
(iklan-iklan), yang bikin banyak uang, sedikitnya 19 acara baru
wakru itu direncanakan mengudara secara nasional. Misalnya,
acara-acara Dari Desa ke Desa, Desa Kita dan Daerab Membangun
akan muncul dua kali sebulan. Juga ada Laporan Luar Negeri
(TEMPO, 18 April 1981).
Acara-acara mulai 1 April itu ditambah dengan Berita Terakhir.
Acara tanpa visualisasi ini biasanya diudarakan pada sekitar
pukul 22.30, sebelum saat-saat berpisah dengan penonton di
Indonesia Timur dan acara terakhir untuk penonton wilayah
Indonesia Barat dan Tengah .
Sebelun ada perubahan pola siaran TVRI sudah punya acara-acara
Berita Nasional (BN, disiaran pukul 17.00), Siaran Berita (SB,
pukul 19.00 WIB) dan Dunia Dalam Berita (DDB, 21.00 WIB). Dan
di hari Minggu pagi pukul 11.00 WIB (sebelum siaran film Si
Unyil), Sari Berita Sepekan.
Ada perubahan pula dalam acara-acara ini. Misalnya SB
diperpanjang waktu penyiarannya jadi 30 menit, tadinya 15 menit.
Berita yang diudarakan terdiri dari 10-12 pokok. Sebelumnya 25
pokok berita. Isinya pun direncanakan tidak lagi "berbagai
upacara dari daerah." Tapi akan lebih banyak "laporan langsung
dari lapangan yang tak bersifat seremonial dan tentang kegiatan
para pejabat saja."
Ternyata semua rencana perubahan itu tak bisa dilupakan Arswendo
Atmowiloto, wartawan kompas dan sehari-hari pemimpin redaksi
majalah Hai, salah satu penerbitan grup Kompas. Orang ini
meragukan kemampuan TVRI melaksanakan program-programnya,
terutama perubahan dalam acara siaran berita. "Saya bertekad
akan membuktikannya setahun kemudian," tuturnya. Dan selama
setahun itu pula secara tekun Arswendo mengamati pelbagai acara
TVRI semaksimal mungkin.
Sesekali keluar tulisannya di Kompas berupa kritik -- misalnya
acara sandiwara. Tapi yang agaknya menarik adalah penelitiannya
atas seluruh acara siaran warta berita. "Saya akhirnya
berkesimpulan acara siaran berita masih terlalu banyak yang
bersifat seremonial. Untuk membuktikannya, saya perlu fakta,"
katanya.
Dengan video merk Sony -- disediakan oleh kantornya -- Arswendo,
33 tahun, merekam seluruh acara warta berita yang disiarkan TVRI
sejak 1 April 1982 selama sebulan penuh. Hasilnya? Itulah yang
keluar di korannya 11 Juni. Disertai tabel jumlah berita selama
30 hari, jumlah berita kegiatan pejabat resmi, yang bersumber
pejabat resmi dan bukan, yang terjadi di luar negeri, jumlah
pejabat yang tampil di TVRI danjumlah organisasi atau lembaga
yang disiarkan TVRI.
"Masih terlalu banyak menampilkan berita pejabat resmi. Itu pun
masih terkumpul pada pejabat resmi tertentu, terutama dalam
acara peresmian. Ini membenarkan hipotesa saya," Arswendo
berbangga. Juga berita TVRI, katanya, kurang menyiarkan
laporan-laporan khusus produksi sendiri. Sedang berita yang
bersumber luar negeri, masih menunjukkan timpangnya
perbandingan. Berita-berita dari Amerika, Israel, Inggris,
Perang Malvinas, misalnya, jauh lebih banyak dibandingkan berita
dari ASEAN.
"Saya sadar kalau mau menunjukkan kesalahan tak cukup dengan
hanya membuat pernyataan," katanya. Lebih-lebih saya
berkeyakinan TVRI bukan cuma milik pejabat," katanya. "Missi
saya ialah jadikan TVRI milik masyarakat. " Sesungguhnya, kata
Arswendo "tujuan saya dengan penelitian itu amat sederhana.
Ibarat pengendara motor melihat semrawutnya lalu-lintas, saya
hanya memberi klakson."
Tapi apakah yang dilakukannya itu sebuah penelitian? "Paling
tidak penelitian kecil-kecilan," katanya. Ia mengaku cara-cara
atau metode yang dipakainya berpedoman pada metode Federal
Children Communication di AS.
Bagaimana komentar pejabat TVRI? Sampai akhir pekan lalu tak ada
pejabat TVRI di Senayan, Jakarta, mau berkomentar. Subrata,
Direktur TVRI sedang berada di Malta, Eropa, menyertai
perjalanan Menpen Ali Moertopo. Sedang Alex Leo, Kepala Studio
TVRI Pusat Jakarta sedang ke Pekalongan, Ja-Teng. Juga gumadi,
Dirjen Radio, Televisi dan Film, Deppen belum bersedia menjawab
pertanyaan. "Pak Sumadi tak boleh diganggu. Sibuk mempersiapkan
pertukaran film Indonesia-Malaysia," kata seorang petugas di
Deppen.
Hanya Willy Karamoy, Kepala Sub Direktorat Pemberitaan sedikit
mau buka suara. "Hasil penelitian Arswendo itu tidak seluruhnya
benar," kata Willy tanpa memperincinya .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini