Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Pemerintah berupaya mengurangi dampak perubahan iklim, di antaranya lewat implementasi Nationally Determined Contribution atau NDC. NDC adalah rencana aksi yang lahir dari Perjanjian Paris yang diadakan pada 2015. Perjanjian internasional tersebut mengikat secara hukum tentang perubahan iklim. Melalui NDC, setiap negara diminta menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca dan menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius pada 2030.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak penandatanganan Perjanjian Paris pada 2015, Indonesia mempersiapkan dokumen NDC sebagai pernyataan resmi atas komitmen pengurangan emisinya. Indonesia bertujuan mengurangi gas rumah kaca sebesar 29 persen secara mandiri dan 41 persen jika mendapatkan dukungan internasional yang memadai pada 2030. NDC pertama Indonesia diajukan ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada 2016.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2021, Indonesia memperbarui kembali dokumen NDC tersebut. Tak ada perubahan target penurunan emisi. Perbedaannya ada berbagai penyesuaian terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pada 2020-2024 dan Visi Tahun Emas Indonesia pada 2045.
Petugas mengukur kualitas emisi gas buang kendaraan roda empat di Depok, Jawa Barat. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), mengklaim pemerintah menaruh perhatian besar terhadap perubahan iklim karena ancaman yang besar. Dia mengutip data sekitar 98 persen bencana di Indonesia terjadi karena fenomena hidrometeorologi dengan proyeksi kerugian akibat perubahan iklim sebesar Rp 544 triliun dalam lima tahun mendatang.
Ancaman tersebut membuat isu perubahan iklim menjadi satu fokus kerja pemerintah, setelah sebelumnya hanya berorientasi pada sisi ekonomi dan sosial. “Ini isu yang mengancam. Maka, kami masukkan ke isu strategis,” kata Medrilzam dalam diskusi Think Climate Indonesia (TCI) di Jakarta pada Kamis, 25 Agustus 2022. Dialog tersebut membahas strategi pemerintah dalam melaksanakan komitmen NDC terbaru.
Medrilzam mengatakan pemerintah menekankan pada asas keseimbangan. Untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, pertumbuhan ekonomi harus dipastikan berjalan sesuai dengan target lewat pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim. “Jangan sampai sibuk mengurangi emisi, tapi ekonomi kita malah ikut-ikutan turun,” kata dia.
Dengan demikian, dia melanjutkan, perlu mengubah ekonomi secara struktural menjadi ekonomi hijau. “Kami sudah punya gambaran, ekonomi hijau adalah jalan kita untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun untuk mencapai target Indonesia emas pada 2045,” ujarnya.
I Wayan Susi Dharmawan, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyebutkan Indonesia memiliki proyek ambisius untuk mencapai nol emisi karbon atau net zero emission pada 2060. Untuk itu, dia melanjutkan, butuh riset yang kuat. “Sebagai pembuktian ilmiah terhadap fenomena yang terjadi dan mengetahui apa yang perlu dilakukan ke depan,” ujar Susi.
Riset, kata dia, juga membantu untuk mengidentifikasi permasalahan perubahan iklim. Dengan menemukan akar masalah, riset akan menjawab dan memberikan cara penanganannya. Selanjutnya, diharapkan didapati perencanaan skenario dan kebijakan pembangunan ramah lingkungan yang tepat untuk mendukung net zero emission.
Untuk membuahkan hasil, Susi mengatakan, hasil riset mesti berlanjut sampai ke tahap implementasi. “Yang dibutuhkan saat ini adalah riset perubahan iklim yang dapat mendorong aksi dengan tingkat penerapan tinggi, efisien, dan efektif,” ujarnya.
Peran Think Tank untuk Mencapai Target NDC
Pembuatan regulasi oleh pemerintah yang didasari riset tetap tak dapat berjalan tanpa dukungan pemangku kepentingan lain dalam mencapai target NDC. Di antaranya adalah think tank atau wadah pemikir. Wadah pemikir berperan dalam proses advokasi sehingga isu perubahan iklim dapat menyentuh setiap aspek masyarakat secara merata.
Bejo Untung, Direktur Eksekutif Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro), organisasi riset yang berfokus pada tata kelola pemerintahan daerah, mengatakan peran think tank dalam akselerasi pembangunan berkelanjutan adalah sebagai penghubung antara sektor kebijakan, penelitian, dan praktik di masyarakat. Menurut dia, lembaga perlu didorong untuk lebih berperan di tingkat mikro, sehingga isu perubahan iklim bisa mudah dipahami publik.
"Sebab, banyak masyarakat Indonesia yang merasa tidak ada masalah dengan perubahan iklim,” ujar Bejo. Publik menyadari banyak bencana, dari banjir, kekeringan, hingga gagal panen, tapi bukan sebagai dampak perubahan iklim. Dia menilai pemahaman publik tersebut menjadi pekerjaan rumah bersama. “Sehingga isu-isu perubahan iklim bisa lebih inklusif dan aksi-aksinya bisa lebih masif.”
REZA MAULANA | ANGGI ROPININTA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo