Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi masih bening ketika sebuah perahu kayu meraung-raung membelah Sungai Musi. Saat perahu tengah melaju kencang, tiba-tiba mesin berkedut-kedut. Husin, 28 tahun, menengok baling-baling perahunya. Rupanya, belitan eceng gondok menghentikan laju kapalnya. Sambil bersungut-sungut, Husin mengangkat baling-baling dari air dan melepas eceng gondok. Sekali, dua kali, tapi baling-baling kembali terbelit.
"Baling-baling memang tidak rusak, tapi sebal juga kalau tiap jalan tersangkut sampah," kata Husin. Keluhan Husin dan pengemudi perahu lainnya bisa dimaklumi. Setiap kali mesin ngadat karena eceng gondok, mereka harus sabar menerima omelan para penumpang. Mereka juga harus pulang dengan uang lebih sedikit karena gangguan itu membuat mesin menjadi boros bahan bakar.
Sungai sepanjang 460 kilometer dengan lebar rata-rata 300 meter itu memang penuh dengan sampah. Eceng gondok, plastik, potongan kayu dan lainnya membuat para pengemudi ketek harus lihai menghindari ranjau sampah tersebut. "Kalau bersih, kami tak perlu melakukan zig-zag," kata Husin.
Sungai yang memiliki 100 anak sungai ini memang sudah lama berubah menjadi keranjang sampah raksasa. "Hitung saja, penduduk Kota Palembang lebih-kurang 1,5 juta, mereka punya andil mengeluarkan sampah organik ke Sungai Musi," kata Hilda Zulkifli, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kota Palembang.
Industri rumah tangga seperti pencelupan kain jumputan, pembuatan kemplang, kecap, dan tahu di sepanjang Sungai Musi semakin menasbihkan satu hal: sungai itu adalah tong sampah. Sedikitnya ada 300 industri rumahan yang membuang limbahnya ke dalam sungai kebanggaan wong kito itu, juga ke anak Sungai Musi seperti Sungai Ogan, Komering, Kramasan, Lakitan, Enim, Lematang, Batanghari Leko, dan Sungai Beliti.
Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, organisasi yang bergiat di penyelamatan lingkungan, melihat pencemar utama Sungai Musi adalah industri raksasa yang bergerak di bidang pengolahan kelapa sawit, karet, perkebunan, pertambangan, tambak, industri minuman, industri pupuk, pengolahan kayu, serta industri obat-obatan yang ada di sepanjang sungai.
Aidil Fitri, Direktur Walhi Sumatera Selatan, menganggap pemerintah belum benar-benar punya keinginan yang kuat untuk menyelamatkan Sungai Musi dari kehancurannya. Ia merujuk pada Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2002 tentang Pembinaan, Retribusi, Izin Pembuangan Limbah Cair. "Mereka (pengusaha) berpikir `saya sudah bayar maka saya bebas membuang limbah usaha di tong sampah besar ini' (Sungai Musi?Red)," katanya.
Cerita yang sama juga mendera dua sungai yang melintasi ibu kota Sumatera Utara, Medan, yaitu Sungai Belawan dan Deli. Diperkirakan pencemaran terjadi sejak awal 1980-an, seiring bermunculannya pabrik di sekitar sungai. Pencemaran kian parah dengan munculnya rumah-rumah di bantaran sungai. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Sumatera Utara, Syamsul Arifin, mengatakan kadar biological oxygen demand (BOD) di Deli sudah mencapai angka 11,2-21,1. Padahal standar yang ditetapkan pemerintah (untuk sungai) hanya tiga. Semakin tinggi angka BOD ini, artinya air sungai semakin buruk karena kekurangan oksigen lebih banyak. Begitu juga kadar chemical oxygen demand (COD), sudah mencapai kisaran 25,1-30,5 dari standar yang ditentukan pemerintah (untuk air sungai) sebesar 25.
Bahkan beberapa tahun lalu terjadi kehebohan setelah aliran Sungai Deli dipindahkan oleh perusahaan baja Gunung Gahapi Sakti. Kini aliran sungai itu sudah berpindah dan bekasnya menjadi bagian dari perusahaan tersebut.
Buruknya kondisi sungai di Sumatera membuat Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rahmat Witoelar, meminta semua pihak berdisiplin menjaga daerah aliran sungai. "Terutama (harus dicegah) penebangan liar hutan," kata Rahmat kepada Agriceli H.W. dari Tempo melalui pesan singkat di telepon selulernya.
Tentu saja kita membutuhkan lebih dari sebuah pesan singkat untuk membersihkan sungai-sungai itu kembali.
Raju Febrian, Arif Ardiansyah (Palembang), Bambang Soedjiartono, dan Hambali Batubara (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo