NAMANYA malu-malu, tapi wajahnya~ sungguh tidak memalukan. Tubuhnya sebesar monyet dengan bulu warna cokelat. Di bagian mukanya, warna putih kecokelatan menggapit matanya ya# besar melotot. Lucu. Namun, justru karena keelokan wajah dan tubuhnya, binatang itu kini men~derit~a. Anda bisa melihat para pedagang menjajakan binatang yang dilindungi itu, hampir di setiap pelosok. Di Jakarta, mereka bahkan didagangkan di depan pertokoan Melawai Plaza di Blok M atau di pertokoan Pasar Baru, dengan harga per ekor Rp 25 ribu sampai Rp 40 ribu. Untuk menarik pembeli, binatang itu disuruh meran~gkak ke atas-ke bawah pada sebuah ranting kayu yang sengaja dibolak-balikkan. Primata yang berjalan perlahan ini -- sehingga mudah ditangkap -- dicabut giginya agar tidak menggigit. Dan para pedagang itu memaksa binatang malam itu "ngamen" menjual diri di siang hari, saat yang biasa mereka pergunakan untuk tidur. Ulrike Freifrau von Mengden adalah salah seorang yang tidak tahan menyaksikan penyiksaan ini. Wanita berumur 70 itu menulis surat pembaca di majalah TEMPO, pekan lalu, meminta agar pihak yang berwenang mengakhiri penderitaan binatang itu. Ini memang bukan surat pembaca Mengden yang pertama. Orang Jerman yang mencintai semua jenis binatang dan sudah 37 tahun tinggal di Indonesia ini selain pernah melayangkan surat serupa, pada 1974 pernah men~hadap Gubernur Ali Sadikin, untuk meminta agar malu-malu diperlakukan dengan baik. Surat pembaca Mengden ini bisa dipahami. Selain secara peri kebinatangan, penyiksaan satwa bukanlah perbuatan yang baik, secara hukum pun tindakan ini tidaklah dibenarkan. Malu-malu -- demikian binatang itu sering disebut, karena sering meyembunyikan mukanya di balik tubuhnya -- alias Nycticebus coucang alias slow loris alias kukang ini ditamengi oleh hukum karena termasuk salah satu jenis binatang yang dilindungi. Sebenarnya, bukan hanya malu-malu yang perlu mendapat perhatian. Dua ratus jenis lebih satwa di Indonesia mempunyai persamaan status di depan hukum, sebagai satwa yang dilindungi, tapi nasibnya pun setali tiga uang dengan malu-malu. Pembeli dengan mudah bisa mendapatkan mawas di pasar burung Medan, atau burung garuda di Pasar Ngasem Yogya. Bahkan jalak Bali, yang di habitat aslinya diperkirakan hanya tinggal 75 ekor, bisa didapat di pasar burung Palembang. Mau yang lebih hebat? Silakan pesan bisik-bisik pada para penjual, binatang apa yang Anda minati. "Kasih saya waktu seminggu," kata Wira, penjual binatang di pasar burung Pramuka, Jakarta, ketika ditanya apa ia menjual harimau hidup. Ia juga menyediakan beruang madu, orang utan, dan burung cenderawasih. Bagaimana cenderawasih dari Irian Jaya bisa lolos dari mata petugas? Caranya ternyata macam-macam, dan tiap pedagang sudah mempunyai jalur sendiri. Budi, pedagang pasar Ngasem Yogya, biasa memesan dari saudaranya yang menjadi tentara di Irian. "Lebih gampang karena terbebas dari patroli petugas," begitu alasannya. Dengan jalur ini, ia bisa menjual seekor cenderawasih sampai Rp 1,25 juta. Pola yang sama ditempuh beberapa pedagang di pasar burung Pramuka Jakarta. "Kita pakai orang angkatan (maksudnya oknum TNI-AU)," kata seorang pedagang. Burung bisa diangkut dengan pesawat yang bolak-balik ke sana. Ada lagi cara unik lainnya. Sarengat, peda~ng burung di Pasar Ngasem Yogya, punya cara khusus untuk mengangkut nuri kepala hitam, binatang yang termasuk dilindungi dari Irian Jaya. Ia menggunakan pepaya setengah matang yang sudah dipotong pangkalnya dan dibersihkan bijinya. Burung lalu dimasukkan ke dalam pepaya yang sudah diberi lubang kecil untuk sirkulasi udara, dan lubang pun ditutup kembali. Dengan cara ini, si nuri mampu bertahan hidup sampai tiga hari. Bila sudah lolos dari petugas di bandara atau pelabuhan, bukan berarti sudah bebas. Bisa saja, satwa akhirnya terampas dalam penggerebekan di pasar burung. Penggerebekan petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam dengan polisi di pasar burung Pramuka Jakarta, minggu lalu, misalnya, diperkirakan mendatan~gkan kerug~ian sampai Rp 30 juta bagi lebih dari 10 pedagang. Walau risiko besar, umumnya pedagang enggan melepaskan profesi ini. Memang tidak ada pelanggan yang tetap untuk satwa yang datangnya pun tidak rutin ini. Tapi selalu saja ada pembeli. Umumnya pembelinya adalah para pengusaha, artis, atau orang yang ingin menyogok pejabat. Motivasinya macam-macam. Tulang malu-malu, misalnya, ternyata di Jawa Timur dipercaya untuk menolak sihir. Motif kecintaan pada binatang bukannya tidak ada. Menurut Gunawan Setiani, mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB yang mengambil skripsi mengenai perdagangan burung di pasar burung Pramuka, 50 persen pembeli di sana mengetahui bahwa satwa yang dibelinya termasuk binatang yang dilindungi. Beberapa pasien Linus Simanjuntak, Kepala Kebun Binatang Ragunan, mengaku membeli kukang karena bentuknya yang lucu dan tidak tahu satwa ini dilindungi. Ada yang merasa bersalah, dan ingin menyerahkan peliharaannya pada kebun binatang. Tapi ada juga yang cuek saja. Rendahnya sanksi untuk para penjual ini diakui oleh Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Sutisna Wartaputra. Dengan ordonansi perlindungan binatang liar tahun 1931, beberapa waktu lalu, seorang pedagang hanya diganjar Rp 12.500 subsider 3 bulan kurungan. Tapi kini ia optimistis, dengan UU Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem, tahun 1990, seorang penjual bisa dikenai hukuman pidana sampai 10 tahun dan denda Rp 200 juta. Para pembeli pun harus hati-hati, karena instansinya sedang menyusun peraturan, agar mereka yang memiliki satwa langka dibebani pajak yang tinggi. Laporan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini