SYAHRUL, 33 ta~hun, sudah habis kesabarannya. Direktur CV Flora Jaya, Kuala Simpang, Aceh Timur, itu merasa geregetan dengan ulah Muhammad, pegawai Dinas Perikanan Kecamatan Idi Rayeuk, Aceh Timur, yang selalu berkelit jika ditagih utangnya. Muhammad, 49 tahun, menurut Syahrul, belum melunasi sisa pembayaran uang muka pembelian satu unit mesin boat Yanmar. Selain itu, ia juga dituduh telah menunggak lima bulan cicilan. Total utang yang menjerat lelaki itu Rp 3.487.500. "Kalau didiamkan, saya bisa hancur. Saya kan juga pakai uang bank," kata Syahrul. Karena itu, Syahrul mengirim empat orang anak buahnya untuk menjemput Muhammad. Pada 30 Agustus lalu, Muhammad dengan menggigil ketakutan diboyong penjemputnya ke rumah Syahrul. Di situ juragan kapal motor itu mencecar Muhammad. "Penghasilan boat itu kecil sekali," ~alasan Muha~mm~ad, yang juga merangkap jadi nelayan itu. Tapi Syahrul tak peduli. Hari itu juga Muhammad ditahan, tak dibolehkan pulang. Lewat telepon, Muhammad mengabari istrinya, Nilwati, supaya menjual harta benda yang ada untuk melunasi utangnya. Uang itu sebagai tebusan supaya dia bisa pulang. "Usahakan dapat uang sekarang juga," pesan Muhammad kepada istrinya. Permintaan itu membuat Nilwati kalang kabut. "Dari mana saya dapat uang sebanyak itu?" kata wanita itu. Karena Nilwati gagal menebus suaminya, Muhammad disekap dalam kamar gelap berukuran 3 X 3 meter. Pintu kamar, layaknya kamar tahanan, selain terkunci juga dijaga seorang pengawal. Bila Muhammad hendak ke kamar kecil, seorang pengawal selalu mengiringinya. Tiga hari kemudian baru Nilwati menjenguk. Itu pun tanpa membawa uang "tebusan". "Muhammad menangis dan mengadu tentang perlakuannya yang tak enak selama dalam sekapan," cerita Nilwati kepada TEMPO. Melihat Nilwati datang dengan tangan hampa, Syahrul marah besar. "Apa tak ada emas atau barang berharga lainnya yang dapat dijual untuk membayar utang?" tegur Syahrul. "Saat itu saya cuma bingung," kata Nilwati sedih. Nilwati pulang ke rumahnya dan berjanji akan membawa uang pada 7 September. Namun, pada saat dijanjikan, Nilwati kembali dengan tangan kosong. Akhirnya, menurut cerita Nilwati, dia diminta membuat pernyataan bahwa utangnya akan dilunasi esok harinya. Jika mereka ingkar keduanya akan dimasukkan ke dalam "sel" Syahrul. Nilwati mengira, setelah membuat pernyataan itu, mereka berdua diperbolehkan pulang. Ternyata, Nilwati diminta tetap tinggal di rumah Syahrul, sedangkan Muhammad boleh pulang. Praktis, hari itu juga Nilwati menggantikan suaminya menjadi penghuni kamar gelap. Keesokan harinya, sesuai dengan batas waktu yang mereka sepakati, ternyata Muhammad tak muncul. Pada sorenya, entah bagaimana, Nilwati bisa kabur dari kamar "tahanan" itu. Dia menuju ke rumah temannya, masih di Kuala Simpang. Empat hari kemudian Nilwati ditemukan anak buah Syahrul di pasar Kuala Simpang. Langsung anak buah Syahrul menyeretnya. "Wah, saya malu ketika ditarik-tarik seperti anak kecil," cerita ibu 14 anak itu. Nilwati kembali meringkuk dalam "sel". Baru lima hari kemudian, Nilwati keluar setelah dijamin seorang keluarganya yang anggota ABRI. Sementara itu, Muhammad, setelah beberapa hari menghilang, mengadu ke DPRD Aceh Timur. Ia juga melapor ke Polsek Kuala Simpang. Pada Senin pekan lalu polisi menggerebek rumah Syahrul, dan menangkap juragan tersebut. Menurut pengakuan Syahrul, dia tak bermaksud menyandera Muhammad dan istrinya itu. Saya sebetulmya bermaksud membawanya ke Polsek Kuala Simpang. Tapi Muhammad meratap minta menginap di rumahnya. "Saya bingung, kok dibilang menyandera orang. Muhammad dan istrinya itu kan tinggal baik-baik di rumah saya," kata Syahrul, yang mengaku hanya diminta keterangannya di polisi. Polisi memang tak menahan Syahrul. "Masalah itu terlalu dibesar-besarkan," kata Wakapolres Aceh Timur, Mayor Yahya Latief, kepada TEMPO. Sikap polisi itu tentu saja mengecewakan Muhammad dan istrinya. "Biar Tuhan yang menghukumnya nanti. Ketika dipanggil Polres Aceh Timur, saya telah membeberkan kejahatan yang dilakukan Syahrul. Terserah polisi, dia mau diapakan," kata Muhammad ketus. Kasus penyanderaan di atas, agaknya, hanyalah cermin sikap anggota masyarakat yang tak percaya lagi bahwa lembaga hukum bisa menyelesaikan persoalannya. Tapi apakah pantas lembaga sandera seandainya dihidupkan kembali - -diterapkan kepada orang-orang seperti Muhammad dan istrinya. (Lihat Lembaga Sandera untuk si Culas). Gatot Triyanto dan Affan Bey Hutasuhut (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini