HAKIM Agung Bismar Siregar, mungkin, satu-satunya hakim yang pernah menggali kembali lembaga sandera atau gijzeling dari kuburnya. Ia menghidupkan lembaga yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk menyandera orang yang berutang atas permintaan si berpiutang itu, pada 1974, ketika menjabat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur. Padahal, lembaga itu resmi dikubur Mahkamah Agung, 1964. Alasannya, lembaga sandera bertentangan dengan Pancasila dan dianggap tak manusiawi. Namun, Bismar punya alasan kuat untuk menghidupkan lembaga itu. Kamis pekan lalu, lelaki kelahiran Sipirok, Sumatera Utara, itu mengutarakan pendapatnya kepada Bambang Sujatmoko dari TEMPO. Bagaimana pendapat Anda tentang penyanderaan keluarga Muhammad, di Aceh itu? Saya tak tahu, kasus utang-piutang pada keluarga Muhammad itu sifatnya komersial atau bersifat menolong orang lain. Bila yang berutang tak mampu melunasi, selesaikanlah melalui pengadilan. Jangan bertindak sendiri, apalagi sampai melakukan penyanderaan. Ini bertentangan dengan hukum. Tak bisa dibenarkan si berpiutang main hakim sendiri merampas hak orang lain. Banyak orang enggan menyelesaikan perkara utang-piutang melalui pengadilan karena prosesnya begitu lama. Ini menguntungkan pihak ~yang berubng. Anda betul. Hal demikian sering terjadi. Sebetulnya, pengalaman saya menjadi ketua pengadilan dulu tak ada proses yang lama. Paling lama sekitar tiga bulan. Tapi sekarang orang lebih senan~g menyewa tukang pukul atau tukang tagih daripada lewat pengadilan. Betul, karena mereka tak puas terhadap pengadilan. Kalau proses pengadilan cepat, misalnya hanya tiga bulan putus, saya kira tak ada masalah. Anda pernah menghidupkan lembaga sandera. Apakah itu penting untuk menyelesaikan masalah utang-piutang. Saya bukan menghidupkan. Saya hanya menyatakan surat edaran Mahkamah Agung yang melarang lembaga sandera itu tak berlaku untuk semua kasus. Kalau si Badu, atau si Polan, sudah benar-benar tak mampu membayar utangnya, ia tak boleh disandera. Karena tak sesuai dengan Pancasila. Tapi kalau si Culas yang mendapat kredit dari bank, lalu kreditnya dialihkan pada saudaranya, kemudian dia bilang tak sanggup bayar, nah yang seperti ini harus disandera. Pancasila bukan dibuat untuk si culas semacam itu. Permalukan dia, faktor ini penting dalam lembaga sandera. Jadi, dalam menetapkan disandera atau tidak, hakim harus mampu memilih-milih. Tapi kenapa sekarang tak lagi orang yang berpiutang meminta lawannya disandera? Barangkali, bukannya tak ada. Tapi mungkin takut permohonan itu tak dikabulkan hakim. Mengapa mereka tak mulai mencoba? Mungkin Mahkamah Agung (MA) suatu waktu beranggapan sudah waktunya lembaga sandera itu dihidupkan kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini