KALAU NASA ~Boeing, dan angkat~an udara Amerika bertemu di satu meja, apa lagi yang diomongkan kalau bukan soal pesawat terbang. Tiga sekawan ini belakangan bersama-sama punya gawai: merancang pesawat terbang dengan lubang-lubang angin di sayapnya. Pesawat jenis ini menjanjikan kecepatan yang lebih tingg~i dan irit bahan bakar. Demi proyek itu, Boeing rela menyerahkan sebuah pesawat B 757 untuk "diobrak-abrik" oleh para peneliti. Hasil riset selama tiga tahun itu muncul di New York Times pertengahan September silam. "Kami telah memperlihatkan bahwa apa yang dulu cuma ada di angan-angan kini bisa terwujud," kata A.L. Nagel, Manajer Program Boeing. Teori luban~g di sayap ini telah dikenal orang sejak tahun 1930-an. Tapi tak kunjung ada bukti yang bisa mengangkatnya menjadi teknologi siap pakai. Maka, penemuan tiga sekawan -- NASA, Boeing, dan USAF -- itu boleh dikatakan menjadi tonggak penting dalam penerbangan. Lubang-lubang kecil di sayap (dekat tepi depan batang sayap) itu secara nyata mampu memberikan ekstragaya untuk menahan beban pesawat terbang (drag). Tubuh pesawat terasa lebih ringan. Pada percobaan yang dilakukan terbukti, lubang-lubang di sayap itu sanggup mengurangi drag sampai 10% -- sebuah angka yan~g sa~ngat berarti. Betap~a tidak. Pengurangan drag tadi memungkinkan sebuah pesawat, dengan mesin yang sama, terbang lebih cepat atau memanggul beban lebih banyak. Hasilnya: bahan bakar yang diperlukan per satuan berat barang, untuk mencapai jarak tertentu, lebih irit. Jika pengurangan drag 10% itu terjadi pada semua pesawat komersial AS, penghematan bahan bakarnya akan mencapai US$ 1 milyar, sekitar Rp 1,85 trilyun setahun. Lubang-lubang di sayap pesawat itu berukuran kecil, tak tampak oleh mata telanjang. Tapi dengan kehadiran lubang angin itu aliran udara di atas permukaan sayap pesawat terjaga tetap laminer: mengalir beraturan dan berlapis-lapis. Tapi aliran laminer itu umumnya hanya terjadi di bagian depan dan tengah sayap. Di bagian belakang, dekat tepian sayap yang lancip, justru terjadi arus turbulensi (olakan) udara -- gejala yang memperbesar drag. Teori lubang angin itu memang sulit diwujudkan hanya dengan dukungan teknologi 1930-an. Maka, ketika itu upaya memperkecil drag dilakukan dengan membuat desain-desain sayap model baru yang bisa memperluas area laminer. Pada tahun 1940-an, pesawat militer Amerika jenis pengebom B-24 dan buru sergap P-51 Mustang disebut-sebut sebagai pesawat dengan desain sayap paling mulus kendati tak sepenuhnya bebas turbulensi. Membuat lubang angin di sayap, ketika itu, memang sulit dilakukan. Belum ada bor yang bisa membuat lubang-lubang berukuran kecil dalam jumlah besar. "Sekarang ada bor laser. Jadi, soal lubang itu sudah tak lagi jadi masalah," ujar Dr. Ir. Sulaiman Kamil Direktur Teknologi di IPTN Bandung. Kendati demikian, bukan berarti urusan selesai. Sebab, menurut Sulaiman, adanya lubang-lubang kecil itu akan membuat konstruksi sayap lebih lemah. Ahli pesawat terbang dari Bandung itu tak meragukan bahwa ahli-ahli NASA --Boeing -- USAF telah memikirkan soal konstruksi sayap berlubang itu. Tapi dia menduga bahwa para perancangnya tentu menghadapi soal pelik dalam pemilihan bahan. Sebab, kata Sulaiman, sayap berlubang itu harus dikompensasikan dengan ketebalan yang lebih besar. "Itu akan menambah berat tubuh pesawat," ujarnya. Belum lagi soal serangga yang beterbangan di udara. Makhluk-makhluk kecil itu berpotensi kuat mendatangkan gangguan terhadap lubang-lubang itu. Trio NASA -- Boeing USAF sendiri tampak hati-hati mengerjakan B 757, yang dijadikan model uji coba itu. Sayap pesawat itu dilubangi dengan bor sinar laser. Lubang-lubang itu berukuran sangat kecil dalam setial~ 1 kaki (30 cm) terdapat 850 ribu lubang. Kulit sayap pesawat itu dibikin dari lembaran titanium. Kelompok peneliti NASA -- Boeing USAF itu menjatuhkan pilihannya ke titanium, mengalahkan sejumlah material logam lain yang dicalonkan termasuk aluminium. Selain ringan titanium dipilih karena tak mudah merambatkan panas, alias berkonduktivitas rendah. Soal konduktivitas itu, "Penting dalam pembuatan lubang-lubang kecil itu," kata A.L. Nagel, dan Boeing. Jika konduktivitas tinggi, panas dari titik lubang yang sedang dibor gampang merembes ke sebelah-sebelah. Ketika mata bor berpindah, titik itu akan makin panas. "Akibatnya, permukaan logam bisa meleleh," tambah Nagel. Dari pelbagai uji coba penerbangan, terbukti lembaran titanium itu tak mendatangkan kesulitan. Dari segi konstruksi, pelat titanium yang didukung oleh rangka aluminium itu cukup andal. Berkali-kali lepas landas dan pendaratan dilakukan, dan cacat pada sayap tak juga di temukan. Gangguan sal~u dalam pori-pori sayap pun diusir dengan semprotan air panas secara otomatis. Dari sejumlah take-off dan landing yang dilakukan itu, beberapa di antaranya dilakukan di daerah-daerah pertanian -- yang dianggap banyak serangganya. "Ternyata, kami aman-aman saja. Serangga tak menimbulkan gangguan berarti," ujar Richard D. Wagner, manajer proyek Pusat Riset NASA Langlaey di Hampton. Untuk mengusir serangga para ahli NASA -- Boeing -- USAF memasang sebuah sirip di bibir depan sayap, bagian bawah. Sirip ini disebut sebagai Krueger Flap, sesuai dengan nama penemunya. Flap ini mengembang -- menambah tebal tepian depan sayap -- ketika pesawat berada di daerah serangga, yakni di bawah ketinggian 300 meter. Boleh dikatakan sirip ekstra itu tak mengganggu arus laminer yang didambakan perancangnya. Putut Tri Husodo dan Dwiyanto Rudi S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini