MAHASISWA dan protes seperti ikan dan air. Apa pun yang diturunkan ke kampus, hampir semua disambut protes. Yang masih berasap adalah soal bentuk organisasi mahasiswa, Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Ini disodorkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dengan maksud untuk mewadahi perangkat organisasi mahasiswa di kampus. Pemandangan itu tampak di kampus Bulaksumur, Yogyakarta. Para mahasiswa Universitas Gadj~ah Mada (UGM) terpecah menjadi dua kelompok. Forum Komunikasi Mahasiswa (FKM) tampak lebih ramah~, menerima SMPT tanpa syarat. Simentara itu, kelompok tandingan yang menamakan diri Komite Pembelaan Mahasis~a (KPM) secara terang-terangan menolakn~ya. Dua kelompok inilah yang terus berupaya merebut pengaruh teman-temannya. Cara FKM menarik simpati ~sepintas tampak demokratis~. Kelompok ini, Agustus lalu, menyebar angket. Dari~ 800 lembar, hanya 190 yan~g kembali. Hasilnya, Kamis pekan lalu diumumkan di gedung pertemuan UGM~~, disaksikan sekitar 500 mahasiswa. Dari hasil penelitian itu, mereka menyim~pulkan, or~ganisasi kemaha~iswaan yang membedakan fungsi eksekutif dan legislatif di tingkat fakultas belum jalan secara optimal. Sebanyak 74% responden mengatakan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) yang selama ini berperan sebagai legislatif dinilai tak efektif. Sebelumnya, Sabtu dua pekan lalu, KPM yang banyak beranggotakan aktivis mahasiswa UGM itu menggelar aksi menentang ~SMPT. Mereka mengadakan rapat akbar yang dihadiri sekitar 1.000 mahasiswa di buleve UGM. Acara itu dihiasi aksi pos~ter. "Mahasiswa UGM menolak SMPT" b~egitu bunyi salah satu spanduk yang ~digelar. Sampai saat ini, menurut Khoiri Umar, koordinator komite eksekutif FKM, kelompoknya belum tegas-tegas menerima atau menolak SMPT. Alasannya, berdasarkan hasil angket yang telah disebarkan, ternyata mahasiswa menghendaki otonomi lebih be~sar. Yaitu kemandirian organisasi di bi~dang ide, pengembangan program kegiatan, dan pelaksanaan kegiatan. "Kami menghendaki kontrol dari rektor hanya bersifat administratif dan keuangan. Ini sesuai dengan aspirasi mahasiswa yang terjaring ~dari angket," kata Khoiri Umar, mahasiswa tingkat akhir fakultas ekonomi. Model yang disodorkan UGM punya dua badan, yakni legislatif dan eksekutif. SMPT diterima sebagai badan yang menyusun garis-garis besar kegiatan mahasiswa dan bertanggung jawab kepada pimpinan universitas. Untuk pelaksana, mereka akanmembentuk Badan Pelaksana Pengurus (BPP). Lembaga inilah yang diharapkan bisa menjadi ajang mahasiswa untuk lebih leluasa berkiprah. Sementara itu, kelompok garis keras justru memasang call tinggi. Ia mengusulkan bentuk organisasi mahasiswa semacam dewan mahasiswa atau student government. Organisasi yang mereka usulkan benar-benar otonom dan mengatur dirinya sendiri. Hubungan dengan rektor hanya sebatas dana. Lain lagi Universitas Indonesia, yang semula menggebu-gebu menolak SMPT, seminggu kemudian kendur dan menerimanya. "Kami mau bersama-sama Rektor membahas masalah SMPT itu," kata Himawan Satyaputra, Sekjen Senat Mahasiswa Badan Perwakilan Mahasiswa UI. Rumus SMPT model UI akan selesai dibahas sebelum akhir Oktober ini. Penolakan juga terdengar dari Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. Mereka memprotes karena Pemerintah dianggap terlalu ngotot memaksakan SMPT. Menurut Tri Agus Jaya, Ketua BPM-FISIP, organisasi mahasiswa dari pemerintah itu tak berkenan di hati mahasiswa. Konsep SMPT, katanya, membuat mahasiswa hanya seperti robot. "Bergerak bila ada instruksi," katanya. Namun, ternyata, ada pula yang menyambut. Budi Irwansyah, misalnya. Sekretaris BPM Fakultas Kedokteran ini dengan enteng mengatakan bahwa fakultasnya bisa menerima organisasi itu. Sikap ini ramai-ramai didukung Fakultas Teknik, Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum dan FMIPA. Lain lagi gaya arek Suroboyo. Mahasiswa Universitas Airlangga, bersedia menerima SMPT dengan syarat. Yakni harus ada lembaga mahasiswa yang bisa mengontrol sepak terjang SMPT itu. "Kalau syarat itu tak dipenuhi silakan rektor saja yang jadi senat mahasiswa," kata Doddy Fitriadin, Ketua Senat Fakultas Hukum. Bahkan Universitas Brawijaya, yang diberitakan sebagai universitas negeri pertama yang menerima SMPT ternyata masih berkelit. Sejumlah aktivis mahasiswa justru membantahnya. "Kami belum memutuskan menerima atau menolak SMPT," kata Tatok Djoko Sudianto, Ketua BPM Fakultas Ilmu Administrasi. Dengan demikian, baru Universitas Muhammadiyah Surakarta yang Sabtu dua pekan lalu memproklamasikan menerima ~SMPT. Soal pro-kotra SMPT, menurut Enoch Markum, Direktur Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, terutama karena mahasiswa bersikap mendua. Pikirannya, katanya, bisa menerima, tapi hatinya masih mengganjal. Mereka merasa SMPT sekadar perpanjangan tang~an pemerintah. "Namun, dalam tahun ajaran baru nanti, yaitu Agustus 1991, ditargetkan 70% perguruan tinggi negeri sudah membentuk lembaga SMPT itu," katanya. Menanggapi beberapa model organisasi SMPT dari beberapa universitas -- seperti usul UGM -- Enoch sebenarnya tak terlalu keberatan. Asalkan, katanya, tak perlu menambah organisasi atau lembaga baru. Misalnya usul agar ada lembaga legislatif dan eksekutif. "Modifikasi SMPT itu boleh asalkan juga mendapat persetujuan dari rektornya," katanya. Menteri Fuad Hassan sendiri, untuk kesekian kalinya, menilai bahwa mahasiswa belum memahami inti SMPT itu. Fuad tak berniat menjatuhkan ancaman atau sanksi bila ada mahasiswa yang menolaknya. "Perguruan tinggi itu akan jadi ompong tanpa SMPT," katanya. Gatot Triyanto dan Laporan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini