Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Surga Burung di Ujung Jakarta

Klub pengamat burung bermunculan di negeri ini. Mereka menanamkan rasa cinta lingkungan, tanpa banyak khotbah.

12 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJUTAN itu terjadi di sebuah pulau tak berpenghuni. Sisa gerimis masih menyisakan sedikit kelam di ujung langit ketika belasan orang menyuruk ke hutan sunyi di Pulau Rambut. Tiba-tiba potongan kepala tikus sawah terjatuh dari langit, persis di dekat pohon kepuh yang berdiri angkuh. Mereka terkesiap.

”Ah, itu cuma ulah burung yang stres,” kata Imanuddin, peneliti yang telah empat tahun mengamati burung-burung di pulau yang ada di Teluk Jakarta itu. Benar, di atas pohon setinggi 20 meter, ada burung lain yang memuntahkan kepala ikan. Begitulah sambutan selamat datang dari ribuan burung bangau bluwok untuk para pengamat burung amatir.

Siang itu, di penghujung November 2005, 14 pengelana dari Jakarta tersebut datang ke Pulau Rambut dengan satu hasrat: melihat surga burung yang tersisa di sekitar Jakarta. Pulau Rambut adalah salah satu benteng terakhir dunia burung di wilayah itu. Pada puncak musim berbiak antara Januari dan Agustus, sekitar 20 ribu burung aneka jenis menghuni pulau seluas 45 hektare itu. Dengan koleksi sebanyak itu, BirdLife International, yang berpusat di Inggris, memasukkan pulau tersebut dalam daftar daerah konservasi yang harus diselamatkan.

Sedikitnya ada 61 spesies burung yang menjadi penghuni utama pulau ini. Dan pada Oktober sampai November, pulau tersebut juga kedatangan burung-burung yang bermigrasi dari daerah dingin seperti Cina, Jepang. Burung seperti sikatan emas, alap-alap walet, dan bubut-pacar jambul datang untuk mencari kehangatan negeri tropis. Saat itulah pemandangan elok bagi para pengamat burung: ada ribuan burung—yang jarang dijumpai di Indonesia—bercengkerama, beterbangan di depan mata.

”Lihat itu di sana, bangau bluwok,” ujar Imanuddin, peneliti dari Fauna & Flora International yang sudah bertahun-tahun berupaya melakukan konservasi di daerah itu. Kalimat itu seperti memberi komando ke belasan pasang mata untuk melongok lewat teropong. Bluwok (Mycteria cinerea) adalah penghuni terbanyak di Pulau Rambut. Di dunia, jumlahnya cuma sekitar 7.000 ekor dan tergolong jenis bangau yang nyaris punah dan cuma berbiak di Pulau Rambut, Muara Angke (Jakarta), Jambi, dan Kuala Gula (Malaysia).

Bulu burung ini putih di seluruh tubuhnya, kecuali pada bagian sayap primer dan ekor yang hitam. Ketika mencapai usia dewasa, burung ini panjangnya bisa hampir satu meter, setinggi pinggang orang dewasa! Di musim berbiak, ribuan burung bangau, kuntul, cangak, pecuk, pecuk ular, kowak malam, dan ibis akan berebut membangun sarang. Dari menara yang terletak di tengah-tengah pulau, pengunjung bisa menyaksikan ribuan burung berserakan di dahan-dahan pohon.

”Pemandangan yang menarik,” kata Kesuma, yang datang siang itu ikut acara mengamati burung bersama anaknya. Kesuma seorang pengelana alam sejati. Naik gunung, bersepeda di bukit-bukit, melancong ke pantai perawan adalah kegiatan rutinnya saban tahun. Tapi, ia masih saja terpesona oleh kegiatan memantau burung. ”Kegiatan ini sangat baik dan membuat kita semakin sayang pada alam,” ujarnya.

Kegiatan mengamati burung beberapa tahun belakangan ini memang mulai merebak di Indonesia. Di Jakarta, misalnya, bermunculan klub pencinta burung, seperti Suara Burung Indonesia (SBI), Raptor Indonesia (Rain), Indonesia Ornithologists Union, BirdLife Indonesia, dan Jakarta Birdwatching Club. Klub-klub itu memiliki jumlah anggota yang lumayan berjibun. Misalnya, Suara Burung Indonesia beranggotakan 900 orang di wilayah Jabotabek dan 1.500 orang di seluruh Indonesia. Klub serupa juga ada di Bandung, Semarang, Yogyakarta, Medan, dan Surabaya.

Klub pencinta burung sering mengadakan kegiatan mengamati burung di sekitar Jakarta. Jakarta Birdwatching Club, misalnya, pernah menggelar acara meneropong burung di kompleks Senayan. Raptor Indonesia, pertengahan November lalu, juga mengajak anggotanya melancong ke Puncak, Gunung Mas, Bogor, untuk melihat migrasi raptor (burung pemangsa). Mereka mengamati burung selama berjam-jam.

”Saya pernah dalam sehari menyaksikan sekitar 500 burung alap-alap,” kata Maman Sueb, pemilik warung di Paralayang, Puncak, Bogor, kepada Deffan Purnama dari Tempo beberapa waktu lalu.

Untung Widyanto (Pulau Rambut)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus