Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alfitra Salam
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN XI, 12-14 Desember 2005, dilaksanakan di Kuala Lumpur, dan dilanjutkan dengan KTT Pertama Asia Timur. Seperti telah diperkirakan, pertemuan KTT Pertama Asia Timur lebih menarik dibandingkan dengan pertemuan kepala pemerintahan ASEAN. Sebab, di samping sebagai perluasan kerja sama ekonomi ASEAN, pertemuan yang pada awalnya merupakan inisiatif Mahathir ini dianggap sebagai saingan kerja sama APEC. Meskipun demikian, bukan berarti pertemuan ASEAN itu tidak menarik. Seperti biasanya, justru hal-hal yang bukan menjadi agenda pembicaraan ASEAN akan jauh lebih menarik perhatian masyarakat ASEAN.
Adalah (Datuk) Zaid Ibrahim, seorang anggota parlemen Malaysia dari Kota Baharu—juga Presiden ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC)—yang mengatakan perlunya ASEAN ”menyingkirkan” Myanmar, negeri yang sampai sekarang tak membebaskan pemimpin prodemokrasi Aung San Suu Kyi dan tahanan politik lainnya. AIPMC, berdiri pada 2004, beranggotakan Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Myanmar. Mereka dengan lantang mengatakan agar ASEAN tidak membenarkan Myanmar menjadi Ketua ASEAN, yang gilirannya jatuh pada 2006.
Persoalannya, seberapa jauh suara miring itu menjadi pertimbangan bagi ASEAN. Apakah ASEAN akan memindahkan posisi itu ke negara anggota lainnya atau memberikan catatan khusus kepada Myanmar. Dan mungkin, persoalannya adalah bagaimana ”mengelola konflik” ini dengan santun, sehingga yang keluar adalah ”cara ASEAN” (menahan diri untuk tidak melakukan intervensi terhadap persoalan dalam negeri anggotanya).
Perubahan sikap masyarakat ASEAN ini tidak lepas dari gelombang reformasi yang melanda hampir sebagian besar negara Asia. Dan salah satu dampaknya adalah tuntutan agar ASEAN mengkaji kembali ”prinsip tidak campur tangan”. Masih ada pelanggaran hak asasi manusia di beberapa negara ASEAN seperti di Malaysia, Indonesia, dan Myanmar. Inilah keresahan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat secara langsung dalam politik domestik negara anggota ASEAN. Kita masih ingat beberapa pengacara Indonesia beberapa waktu lalu yang mendesak agar Anwar Ibrahim (mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia) diberi kesempatan berobat ke luar negeri, akibat sakit parah selama dalam tahanan.
Apa yang kita lihat sekarang ini adalah ketidakmampuan ASEAN mewujudkan mekanisme peran masyarakat dalam memberikan makna bagi perjalanan organisasi itu. Tekad ASEAN untuk mempercepat kerja sama di antara masyarakatnya masih retorika. Secara tidak langsung ini membuktikan ASEAN tidak memberikan ruang gerak yang jelas bagi masyarakatnya untuk berkiprah dalam organisasi itu. Dikhawatirkan, jika tidak mengalami perubahan, Asean ke depan akan ditinggalkan masyarakatnya sendiri.
Sebenarnya masalah tuntutan Aung San Suu Kyi merupakan entry point untuk melakukan perubahan yang secara jelas melibatkan organisasi profesional masyarakat ASEAN. Memberikan ruang gerak dan payung hukum yang jelas bagi organisasi profesi ini diperkirakan akan mempercepat kemajuan organisasi. Paling tidak, dengan memberikan ruang gerak kepada organisasi profesi masyarakat, kita akan dapat merasakan bahwa ASEAN milik seluruh masyarakatnya.
Sekali lagi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pimpinan pemerintah negara anggota ASEAN memiliki political will untuk menjadikan organisasi sebagai instrumen menyejahterakan dan pengembangan demokratisasi masyarakatnya. Kita yakin, proses demokratisasi negara anggota ASEAN diharapkan mampu secara bertahap mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang adil, demokratis, dan sejahtera.
Karena itu, KTT ASEAN XI yang diselenggarakan di Kuala Lumpur secara politik harus realistis dan tidak menghindari masalah yang dihadapi masyarakatnya. Dalam masalah Myanmar, posisi ASEAN memang sangat dilematis—di satu sisi tidak ingin saling menyakit sesama anggota, tapi di sisi lain citra ASEAN di mata internasional semakin redup. Di samping posisi tawar ASEAN semakin lemah, di hadapan masyarakat anggotanya organisasi itu semakin tak membawa makna.
Memang harus diakui—seperti dikatakan Mahathir baru-baru ini—bahwa ASEAN harus mengambil sikap yang ”lembut” dalam masalah Myanmar. Bahkan Mahathir yang selama ini berbicara keras malah mengatakan, ASEAN tidak perlu memberikan sanksi atau memaksa Myanmar, karena hal seperti itu bukanlah cara ASEAN yang sebenarnya. Posisi ASEAN memang sulit, tetapi memperlambat reformasi berarti ASEAN akan ditinggalkan masyarakatnya. Tidak mengherankan kalau sampai sekarang banyak yang mengatakan bahwa ASEAN tak banyak membawa dampak perubahan yang signifikan di kawasan Asia Tenggara ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo