Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tagar All Eyes on Papua atau #AllEyesOnPapua menjadi sorotan belakangan ini. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyoroti konflik tanah adat yang dihadapi Suku Awyu di Boven Digoel,Papua Selatan, dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya. Kedua suku tersebut tengah menggugat pemerintah dan perusahaan sawit di Mahkamah Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, menilai kasus ini menunjukkan sikap pemerintah yang tidak menghormati hak-hak masyarakat adat. Hal ini diperparah dengan tidak adanya Free and Prior Informed Consent (FPIC) atau padiatapa dari perusahaan terkait dalam proses perizinan lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Konflik lahan warga adat Awyu dan Moi itu membuktikan bagaimana sebenarnya cara kerja negara itu tidak pernah menghormati keberadaan, berikut dengan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal secara umum,” kata Uli ketika dihubungi, Selasa, 4 Juni 2024.
Uli menegaskan bahwa gugatan ini bukan hanya untuk kepentingan kedua suku tersebut, tetapi juga untuk kepentingan seluruh masyarakat Indonesia dan bahkan global. Pasalnya, peralihan hutan menjadi perkebunan sawit dikhawatirkan akan meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memperburuk perubahan iklim.
“Mereka (Awyu dan Moi) menggugat izin lingkungan itu atas nama perubahan iklim. Jadi ketika hutan mereka itu diubah menjadi perkebunan sawit akan banyak sekali emisi yang dilepas,” kata dia.
Ekosida di Papua
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menerbitkan rilis pers bertajuk “Perampasan Hutan Adat Papua Termasuk Ecocide = Pembunuhan Alam dan Kejahatan HAM” pada 5 Juni 2024.
Dalam rilis pers tersbebut, INFID menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat Papua, khususnya suku Awyu di Boven Digul dan suku Moi di Sorong, tengah berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari perampasan oleh korporasi yang memanfaatkan izin negara. Hal ini dikhawatirkan memicu ekosida, yaitu pemusnahan alam dan pelanggaran HAM.
INFID juga menyatakan bahwa kasus perampasan hutan adat Papua oleh korporasi dengan memanfaatkan izin negara bisa dikategorikan sebagai ‘ecocide’ atau ekosida yang merupakan tindakan pembunuhan alam dan juga kejahatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Menurut INFID, kasus ini menunjukkan lemahnya penegakan HAM di Indonesia. Meskipun Indonesia telah mengadopsi UNGPs on BHR dan Perpres 60/2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM, faktanya korporasi dan pemerintah pusat masih sering menjadi pelanggar HAM.
INFID, dalam rilis persnya, mendesak Presiden, Komnas HAM, KSP, dan Kementerian/Lembaga Negara untuk segera menyelesaikan masalah ini dan melindungi hak-hak masyarakat adat Papua. Masyarakat adat memiliki hak konstitusional atas hutan mereka dan negara wajib mengakui dan menghormatinya.
Apa itu Ekosida
Mengutip dari buku Ecocide: Memutus Impunitas Korporasi (Walhi, 2019), istilah ekosida muncul pada 1970 dan awalnya berkaitan dengan dampak peperangan terhadap kerusakan lingkungan.
Istilah ini pertama kali digunakan saat Perang Vietnam, ketika pasukan AS menggunakan senywa kimia untuk menggunduli hutan secara luas, membuka hutan, dan menghancurkan produksi pertanian.
Dalam konteks perubahan iklim saat ini, ekosida setidaknya mencakup tiga kegiatan. Pertama, eksploitasi lingkungan yang mengarah pada pemusnahan sumber-sumber kehidupan manusia. Kedua, pemusnahan ini erat kaitannya dengan praktik yang menghilangkan hak hidup manusia dan menyebabkan hilangnya kelayakan hidup ekosistem di dalamnya. Ketiga, merupakan bagian dari eksploitasi sumber daya alam yang mengancam keamanan hidup manusia saat ini dan generasi mendatang.
MICHELLE GABRIELA | DEFARA DHANYA