Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Tailing di Taliwang

Pipa tailing bawah laut PT Newmont kembali bocor. Warga menuntut ganti rugi Rp 5 miliar. Kerja tim independen terganjal surat keputusan Bupati Sumbawa Barat.

17 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELASAN spanduk menambah semarak jalan yang meng-hubungkan Kota Taliwang de-ngan lokasi tambang PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Macam-macam saja isi spanduk yang ber-nada memprotes. Di dekat tugu tapal batas Desa Labuan Lalar, misal-nya-, tampak terbaca: ”Kami tidak ingin- seper-ti warga- Teluk Buyat.” Dua spanduk- lain le-bih menohok PT Newmont-, yang mengeksploitasi tembaga dan emas di wilayah itu: ”10 tahun lagi nelayan akan divonis mati oleh limbah Newmont,” dan juga, ”Adanya PT NNT se-perti bom waktu bagi nelayan.”

Tidak hanya berhenti pada spanduk, warga Desa Labuan Lalar, Kecamatan Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, rencananya juga menggelar unjuk rasa di Pelabuhan Benete. Pelabuhan ini merupakan pintu masuk kapal-kapal milik PT Newmont. ”Kami sudah mengantongi izin berdemo dari kepolisian,” kata Abdul Aziz, ke-pala desa di kampung nelayan ini, ke-pada Tempo, Rabu pekan lalu.

Beberapa warga desa yang mewakili 628 kepala keluarga itu akan mengajukan lima tuntutan terhadap PT Newmont: (1.) pemberian ganti rugi sebesar- Rp 5 miliar lebih, (2.) memasukkan Desa Labuan Lalar sebagai daerah lingkar tambang, (3.) memeriksa kesehatan- warga- secara rutin tiap bulan, (4.) pening-katan sumber daya manusia, dan (5.) penyaluran bantuan pemberdayaan langsung ke masyarakat nelayan.

Kegusaran warga sebenarnya meram-bat sejak bulan lalu. Arifin, nelayan di kampung itu, yang pada mulanya melihat air laut berubah warna menjadi keruh kecokelatan. Dia menduga hal itu disebabkan adanya pipa tailing milik Newmont yang bocor. Kabar dan dugaan ini langsung mereka sampaikan ke aktivis lembaga swadaya masyarakat- se-perti Jaringan Tambang (Jatam) region NTB, Lembaga Advokasi Rakyat untuk Demokrasi (LARD), hingga ke DPRD.

Dalam pertemuan komunitas nelayan Labuan Lalar dengan pemerintah kabupaten, DPRD, dan PT Newmont, akhir September lalu, disepakati pembentuk-an tim independen. Tim yang melibatkan Dinas Pertambangan, Perikanan, dan Ke-lautan dan Bapedalda NTB ini yang kemudian akan melakukan uji laboratorium terhadap sampel air yang meng-alami perubahan warna. ”Kami minta agar pemerintah turun tangan melakukan pengecekan atas perubahan warna air laut,” ujar Jakfar, Ketua Kerukunan Nelayan Labuan Lalar.

Namun, hingga pekan lalu, rupanya tim tersebut belum juga turun ke la-pa-ng-a-n. Kabarnya, mereka menunggu surat keputusan Bupati Sumbawa Barat, Zulkifli Muhadli. Kenyataan itu membuat warga menaruh syak. ”Jangan-ja-ngan mereka turun ke lapangan setelah warna air laut sudah tidak keruh. Ini jelas sia-sia,” kata Jakfar. Suara senada juga diungkapkan Sekretaris Komisi B DPRD Sumbawa Barat, Abdul Hamid. Dia berharap PT Newmont tak perlu berbantahan terus-menerus pasca-kebocoran tailing. Yang mesti dilakukan per-usahaan ini, menurut Hamid, adalah men-jelaskan ke masyarakat, misalnya bagaimana proses penanganan, apa -dam-pak lingkungannya, hingga perlindungan ke masyarakat.

PT Newmont sendiri mengakui ada kebocoran kecil pada pipa STP (sub-marine tailing placement) yang berada 2,7 kilometer dari tepi pantai dengan kedalaman 75 meter di bawah permukaan laut. Kebocoran yang terjadi pada 11 September 2005, pukul 10.00 WITA, terdeteksi oleh ROV (remotely operated vehicle) atau peralatan bawah air yang selalu digunakan Newmont.

Menurut Presiden Direktur PT Newmont Nusa Tenggara, Robert Galla--gher--, pihaknya langsung menghentikan ope-rasi dan memindahkan kegiatan penem-patan tailing ke pipa bawah laut cadangan. ”Kami juga langsung mela-por-kannya kepada pemerintah pusat dan daerah serta menginformasikan kepada karyawan dan penduduk setempat,” katanya dalam keterangan pers.

Newmont juga mengundang ahli lingkungan dari ITB, Enesar Pty. Ltd. (Australia), dan Pemerintah Provinsi NTB. Selain itu, tim pengawas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mine-ral telah datang ke lokasi pertambang-an Newmont di Batu Hijau. Tim peng-awas yang datang pada 13-15 September 2005, kata Robert Gallagher, tidak menemukan dampak yang signifikan dari kebocoran itu. Tailing, ujarnya, adalah sisa batuan yang kandungan mineral ekono-misnya telah dikeluarkan secara mekanis dan bukan zat berbahaya.

LSM Jatam membantah penjelasan Newmont. Menurut mereka, manajemen Newmont baru menghentikan ope-rasi setelah 110 menit kebocoran dike-tahui sehingga 9.000 ton tailing yang mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3) terlepas ke perairan Teluk Senunu. ”Dalam sejarah beroperasinya pertambangan PT NNT, kebocoran pipa tailing telah terjadi berulang kali,” kata Siti Maimunah, Koordinator Nasional Jatam. Lembaga ini mencatatnya pada Oktober dan November 2000, lalu Januari 2001.

Rangkaian kebocoran itu, kata Jatam, memperkuat bukti bahwa sistem pembuangan tailing ke laut (submarine tai-ling disposal atau STD) tidak aman dan berbahaya. Maimunah merujuk pada tercemarnya Teluk Buyat di Sulawesi Utara akibat pembuangan tailing melalui metode STD oleh PT Newmont Minahasa Raya. Dia mempertanyakan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup yang memberikan perpanjangan pembuangan tailing ke laut oleh PT Newmont Nusa Tenggara hingga tahun 2007.

Tim pengawas dari Kementerian Lingkungan Hidup mengakui kesulitan mengambil sampel karena luasnya area Teluk Senunu dan ombak yang mengombang-ambingkan kapal. ”Namun, tim masih menemukan jejaknya,” kata Yanuardi Rasudin, Deputi Pengelolaan B3 dan Limbah B3 Menteri Lingkungan Hidup. Tim menyarankan kepada Newmont untuk memperbaiki teknologi pipa. Kantor ini juga terus memantau kasus Newmont, salah satunya melalui tim independen di NTB.

Kepada pemerintah daerah, Newmont memang berjanji mengganti pipa tailing utama sepanjang 3,2 kilometer mulai Februari tahun depan. Menurut Kasan Mulyono, Manajer Humas PT Newmont, selama ini pemeriksaan rutin pipa dilakukan tiga bulan sekali. Dia mempertanyakan mengapa di Teluk Senunu yang dekat dengan pipa tailing tidak ada dampak kebocoran, sementara di Teluk Labuan Lalar yang relatif jauh malah sebaliknya. Namun, Kasan mempersilakan warga Desa Labuan Lalar melakukan unjuk rasa. ”Tapi, soal ganti rugi, ya, harus rasional,” ujarnya.

Untung Widyanto dan Sujatmiko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus