Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suami-istri penghuni rumah berpagar biru di Perumahan Griya Candra Mas, Desa Pepe, Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, itu sangat tertutup. Tak pernah menyapa, mereka selalu menundukkan kepala saat bersua tetangga. Kala beradu pandang, mereka pun ha-nya menyunggingkan senyum tipis.
Pasangan Yudi Dariansyah dan Pika muncul sejak tiga bulan lalu. Rumah tipe 45 yang dihuninya adalah milik Suparno, warga Ketintang, Surabaya, yang dikontrak untuk setahun. Sejak mereka mukim di Pepe, warga hanya melihat pria berkulit bersih ini saat mengendarai sedan Timor biru. Dia menuju Bandara Juanda, Surabaya.
Para sopir taksi gelap di lapangan ter--bang mengenal Yudi sebagai pria per-lente yang suka jaga wibawa. N-amun, pembawaannya sama saja seperti di pe-rumahan: tak suka menyapa. Kebiasaan-nya yang mereka ingat, lelaki itu suka keluar masuk bandara untuk menjemput penumpang.
Kebiasaan Yudi berubah seratus delapan puluh derajat saat berbicara dengan penumpang pesawat. Apalagi dengan te-naga kerja wanita yang baru pulang dari luar negeri. ”Sangat ramah,” kata Esther Baniwine yang bersua Yudi di Bandara Juanda pada 27 Juli lalu. Waktu itu, Esther baru pulang dari Malaysia. Di negara tetangga, dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jalan Murni, Bandar Malaka, Malaysia.
Begitu mendarat, Esther mengaku memang bingung memikirkan bagaimana caranya pulang ke kampung halam-annya di Ringurara, Lam-boya, Sumba Barat, Nusa Tengga-ra Timur. Saat keluar dari pintu kedatang-an khusus tenaga kerja Indonesia, Esther didekati empat pria dan satu wa-ni--ta. Nah, salah seorang di antaranya ada-lah Yudi.
Yudi mengaku bisa mengurus ke-pu-langan Esther ke Sumba. Yudi juga me-nawarkan tempat penampungan di rumahnya. Tak lupa, Yudi mengatakan telah berulang kali mengurus kepulang-an tenaga kerja wanita asal Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. ”Dia bicara menggunakan logat NTT,” kata Esther.
Esther pun terpengaruh. Dengan dua mobil Timor, mereka menuju rumah Yu-di yang berjarak 3 kilometer ke arah se-latan dari Bandara Juanda. Di sin-ilah Esther bersua dengan beberapa pekerja wanita dari NTT seperti Margaretha, Sumiati, Oelita Sobani, Sitriani, dan Rika Sanah. Selain mereka, ada 11 pekerja lain di situ. ”Mereka dikatakan juga sedang menunggu dipulangkan,” kata Esther.
Tak ada yang keanehan selama di pe-nampungan. Hubungan mereka dengan Yudi dan Pika juga akrab. ”Kami memanggilnya Papi dan Mami,” kata Esther. Hanya saja, Yudi selalu berkelit saat ditanya kapan mereka dipulangkan ke kampung halaman. Dia beralas-an sedang mengurus dokumen. Bahkan untuk urusan kepulangan itu pula, Yudi meminta paspor Esther berikut cek senilai Rp 16 juta dan uang tunai Rp 600 ribu hasil jerih payahnya di Malaysia. ”Semua teman-teman juga dimintai hal yang sama,” katanya.
Esther ingat, ada 11 temannya sesa-ma pekerja wanita di penampungan yang sudah diantar. Setiap ada pekerja yang diantar pulang kampung, mereka melepasnya dengan penuh haru, termasuk ketika giliran Esther tiba pada 11 September lalu. Yudi menyuruh Esther segera berkemas. ”Dia bilang saya diantarkan melalui Bali,” katanya. Lalu Yudi dan Pika mengantarnya.
Mereka singgah di sebuah ru-mah makan di Waru. Di sana telah ada tiga lelaki. Yudi memperkenalkan tiga pria ini kepada Esther, yaitu Husainul Hamdi alias Andik, Sulianton alias Boy, dan Ab-dul Rouf. Ketiganya disebut peng-antar.
Kemudian mereka membawa Esther dengan mobil Panther warna merah. Esther ”diberi kehormatan” duduk di jok depan. Boy dan Andi di jok belakang. Esther dibawa keli-ling kota Surabaya dan Sidoarjo. Menjelang pukul 01.00 WIB, 12 September, perjalanan mulai melewati daerah-daerah sepi di pinggiran Sidoarjo.
Saat itulah mereka menjerat leher Esther dengan tali plastik. Esther meronta berupaya melepas jeratan. Tangan ki-rinya ikut terjerat bersama lehernya. Dia semaput, dikira telah tewas. Tiga pria itu mencampakkan tubuh Esther ke bekas kebun tebu di Desa Wonoplintahan.
Paginya, warga menemukan tubuh Esther. Saat ditemukan Esther dalam kondisi koma. Leher-nya menghitam bekas jeratan tali plastik. Lalu temuan ini dila-por-kan ke polisi setempat yang kemudian membawa Esther ke rumah sakit di Sidoarjo. Selama sepekan dirawat di situ, Esther didampingi LSM Lembaga Perlindung-an Perempuan dan Anak Sidoarjo.
Setelah kesehatannya membaik, Esther dibawa ke Markas Ke-polisian Wilayah Kota Besar Surabaya. Sayangnya, Esther belum bisa dimintai keterangan. ”Saat itu dia sa-ngat trauma,” kata seorang polisi.
Sementara itu, Yu-di dan Pika te-rus beraksi. Korban berikutnya adalah Masri, 33 tahun, warga Desa Praya, Lombok Te-ngah, yang dibantai pada 18 September dini hari. Masri juga dijemput di Bandara Juanda sehari setelah Esther dihabisi. Proses eksekusi Masri juga sama dengan Esther.
Ketika mengekse-kusi Masri, ada satu tersangka lagi, ya-itu Mat Gondrong. Bersama Andik dia membunuh si korban. Jenazah Masri lalu dibuang ke parit di Desa Tambaksumur, Waru, Si-doarjo. Korban selanjutnya Sisilia, yang dieksekusi 21 September tengah malam. Jenazahnya dibuang di Bangil, Pasuruan. Korban berikutnya adalah Debi, yang jasadnya dibuang di Ngoro, Mojokerto. Satu lagi korban tanpa identitas yang dibuang di Pasuruan.
Aksi kelompok ini baru berhe-nti se-telah Esther pulih dan sudah bisa bersaksi. Polisi segera menangkap Boy dan Andik di Perumahan Griya Candra Mas pada 25 September. Saat penangkapan, Yudi dan Pika sudah tak ada di rumahnya lagi. Di sana hanya ada lima pekerja wanita yang masih disekap. Kelimanya adalah teman Esther saat ber-ada di rumah itu.
Margaretha dan Sumiati sangat terkejut ketika polisi datang, apalagi ketika mengetahui latar belakang pe-nang-kapan tersangka. ”Ngeri kalau saya ingat kenangan bersama teman-teman saya itu,” kata Margaretha. Lima pekerja wanita yang ditampung di rumah Yudi sudah dipulangkan ke NTB sejak 1 Oktober lalu.
Dalam upaya pelacakan tersangka be-rikutnya, polisi mengandalkan ke-te-rangan tersangka yang sudah ditangkap. Tak sulit polisi mengorek keterang-an mereka. Sehari kemudian, polisi me-nangkap Rouf di rumahnya di Mataram. Lalu menyusul Mat Gondrong dan dua pelaku lainnya, yang dibekuk di Surabaya pada 1 Oktober. Sementara itu, Yudi dan Pika hingga Kamis pekan lalu belum diketahui keberadaannya.
Tersangka yang sudah ditangkap me-ngaku membunuh karena butuh uang. Andik, 23 tahun, asal Desa Baba-kan Timur, Cakranegara, Lombok Barat, me-ngaku dibayar Rp 600 ribu u-ntuk mem-bunuh. Menurut dia, sebelum mem-bunuh, mereka merencanakan ak-si ter-sebut di Hotel Delta Permai di Bun-dar-an Waru.
Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya, Komisaris Besar Sutarman, mengatakan, komplotan itu telah menyikat uang para korban Rp 120 juta. Menurut Sutarman, tersangka dijerat dengan pasal pembunuhan berencana. ”Kami menjeratnya dengan hukuman pa-ling berat, hukuman penjara seumur hidup dan mati,” katanya.
Warga Pepe tak banyak yang tahu ki-sah tragis ini. Tetangga Yudi ha-nya tahu banyak polisi yang datang ke ru-mah itu. Bahkan Ahmad Ainur Rofiq, tetangga satu blok dengan Yudi, terbengong-longong saat mendengar cerita yang tersembunyi di dalam rumah berpagar biru itu. Rupanya ketertutupannya selama ini untuk menyembunyikan kebusukan.
Nurlis E. Meuko, dan Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo