Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KECERIAAN membungkus Jerman pada hari-hari ini. Pertama, oleh ma-raknya perayaan 15 ta-hun reunifikasi nege-ri yang pernah terpisah oleh sepotong dinding tebal itu. Kedua, suk-sesnya ”reunifikasi” dua partai terbesar, Uni Demokratik Kris-ten (CDU) dan Partai Sosial Demokrat (SPD), dalam me-nentukan kanselir baru se-telah pemilu 18 September.
Gerhard Schröder dari SPD, yang mengemudikan pe--merintahan selama tujuh ta-hun terakhir, akhirnya mem--berikan tempat kepada pe--saingnya, Angela- Merkel dari CDU, untuk menduduki- kursi kanselir. ”Saya senang,” ujar Merkel sembari me-ma-merkan senyumnya yang jarang dilihat para jurnalis. ”Tapi saya tahu ba-nyak sekali pekerjaan di depan kita.”
Merkel adalah pemenang pemilu. Namun doktor fisika kuantum ini tak mudah melenggang menjadi kanselir. Partai yang dipimpinnya dan disokong oleh Uni Sosialis Kristen (CSU), yang me-ngua-sai Bavaria, hanya mendapatkan 226 kursi—termasuk 1 kursi dari pemilu tun-da di Dresden pada 2 Oktober—di parlemen (Bundestag). Itu artinya, ha-nya 37,9 persen suara. Jumlah ini di atas perolehan SPD yang meraih 222 kursi (36,2 persen). Namun, karena tak ada pe-menang mayoritas, kedua kubu sama-sama mengklaim sebagai juara pemilu. Berbagai skenario untuk melibatkan par-tai politik lain dalam koalisi masing-ma-sing tetap tidak menghasilkan batas mi-nimal 308 kursi agar bisa berkuasa.
Alternatif terakhir menjadi pilih-an: Koalisi Besar. Tarik-ulur antara SPD-CDU/CSU soal koalisi berlangsung alot dalam tiga babak perundingan. Kedua pihak merasa pemimpin mereka pa-ling berhak menjadi kanselir. Schröder ak-hirnya legawa melapangkan jalan ba-gi Merkel. Namun tak ada yang gratis dalam politik. Merkel, calon kanse-lir perempuan pertama da-lam sejarah Jerman, harus membayar mahal: da-lam penentuan kabinet, Schröder meminta ja-tah delapan kursi menteri ba-gi partai-nya dan menyi-sa-kan hanya enam kursi bagi tim Mer-kel. Satu dari enam kursi di ta-ngan Merkel sudah pasti akan diisi oleh Edmund Stoiber, Ketua CSU, yang akan menjadi Menteri Eko-nomi.
Ini barter politik yang fenomenal. Se-bagai mitra junior dalam sebuah Koa-li-si- Besar, SPD justru mendapat tem-pat uta-ma di kabinet dibanding peme-nang pe-milu. Apalagi SPD mendapat po--si-si-posisi strategis seperti Menteri Luar Negeri, yang akan menjadi wajah Jer--man di luar negeri. Di dalam nege-ri, SPD bisa memainkan peran sebagai ”pen---jaga kesadaran sosial” lewat posisi Men---teri Kesehatan dan Menteri Buruh/Te---naga Kerja, yang berkaitan langsung de--ngan kesejahteraan masyarakat dan pekerja.
Harian Berliner Zeitung memprediksi bahwa CDU akan terus mengajukan penawaran agar setidaknya kedua partai itu memiliki jumlah kursi yang sama di kabinet. ”Akan ada kompromi lagi,” ujar Uwe Andersen. Profesor ilmu politik di Universitas Ruhr itu membenarkan adanya sinyalemen ini.
Kesediaan Schröder untuk lengser keprabon sejatinya barulah pucuk gunung es. Problem sebenarnya yang harus dihadapi Merkel dimulai pada Senin pekan ini hingga empat pekan ke depan sampai ia betul-betul dilantik sebagai kanselir. Koalisi Besar SPD-CDU/CSU akan menjadi medan perebutan pengaruh yang sesungguhnya dari petinggi kedua partai. Karisma Merkel yang tak sekuat Schröder membuat para petinggi CDU/CSU mengharuskan setiap keputusan Kanselir dikonsultasikan dulu kepada para petinggi partai.
Sebaliknya, posisi tawar SPD yang mendominasi kabinet akan lebih kuat. Juga di parlemen, terutama dalam meloloskan sebuah legislasi yang biasanya harus disetujui oleh dua pertiga anggota. Menanggapi kondisi ini, pendapat berbeda dikemukakan oleh harian Süddeutsche Zeitung. Jika skenario Koalisi- Besar disetujui parlemen dan dira-ti-fikasi, bandul kekuasaan seluruhnya dipegang oleh kubu konservatif. Mulai dari Presiden, Kanselir, Ketua Bundes-tag, dan Ketua Mahkamah Konstitusi. Dengan konfigurasi kekuasaan seperti itu, ”Keuntungan portofolio yang dimi-liki partai pendukung Schröder di kabinet tak akan mencerminkan kekuasaan sesung-guhnya,” tulis harian berpengaruh di Jerman selatan itu.
Berkumpulnya bandul kekuasaan di kubu konservatif kanan tengah, menjadi kekhawatiran Günther Grass—penerima Nobel Sastra 1999—sejak awal. Dalam kolomnya yang dimuat ha-r-i-an--- -Ing-gris The Guardian, dua hari men-jelang pemilu 18 September, Grass me-nulis pemerintahan Schröder punya- ke-lemahan dan kesalahan sendiri. Ta-pi Schröder dan Menteri Luar Negeri Joschka Fischer, Ketua Partai Hijau yang menjadi koalisi SPD, tidak membebek pada keinginan Presiden Bush yang ingin menyeret Jerman ke dalam medan pertempuran seperti melawan Irak.
Grass mengkhawatirkan keberanian mengatakan ”Nein (tidak)” kepada keinginan Abang Sam akan hilang jika Merkel menjadi kanselir. Apalagi mitra koalisi utama CDU/CSU adalah Partai Liberal Demokrat (FDP) yang mendukung terciptanya poros TransAtlantik yang kuat dengan Amerika Serikat, dan amat pro-pasar bebas. Dalam kolom berjudul Supaya Kita Tak Diperas Kelompok Neoliberal Merkel, Grass de-ngan keras mengimbau masyarakat Jerman agar memberikan kesempatan lagi ke-pada Schröder untuk terus meme-rin-tah.
Entah apa yang akan dilakukan sang sas-trawan kelak setelah Merkel benar-be-nar dinobatkan sebagai kanselir. Apalagi pada Rabu lalu, dalam sebuah per-temuan serikat pekerja, Schröder meng-umumkan ia tak akan ikut dalam ka-binet yang dipimpin Merkel. ”Ia meng-umumkan itu dengan air mata mengalir di pipinya,” tulis harian Die Welt.
Kabinet Merkel akan menata sebuah kancah yang berduri; angka pengangguran Jerman saat ini tertinggi sejak Perang Dunia; berbagai fasilitas dan tunjangan sosial akan dikempiskan; sembari pajak pendapatan dioptimalkan untuk memperkuat postur Jerman di kancah global. Banyak yang bertanya, mampukah putri terbaik dari eks Jerman Timur ini menaklukkan hati rakyat Jerman kelak. Jacqueline Boysen, penulis biografi Merkel, menjawab, ”Saya kira dia tak akan mampu memikat hati rakyat.” Namun Boysen mencatat, ”Secara politis dia mampu melakukan hal-hal yang dianggap perlu.”
Merkel sudah membuktikannya se-lama ini. Dari seseorang yang hanya berkutat di laboratorium, wanita ini memimpin negeri semaju Jerman. Rak-yat Jerman tak bisa lagi menyebutnya -se-kadar Frau (Nyonya) atau Angie, nama panggilannya selama ini. Dia adalah Kanselir Angela Merkel. Bitte….
Akmal Nasery Basral (BBC, CS Monitor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo