Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hajira Begum tengah mendaras ayat-ayat surat Ar-Rahman tatkala petaka itu datang dengan- gemuruh. ”Fabi ayyi ala-i rabbikuma tukazziban (nikmat Allah yang mana lagi yang hendak kalian dus-ta-kan?)….” Ayat itu tak sampai tuntas dia lafazkan. Gempa berkekuat-an 7,6 pa-da skala Richter menghumbalangkan tu-buh perempuan renta itu ke sudut ru-mahnya yang merata tanah dalam hitung-an detik.
Lanjut sudah umur Hajira, 95 tahun, sekali pun belum pernah dia saksikan ke-kuatan alam sedemikian membinasa-kan. Gempa itu meremukkan negerinya, Pa-kistan, dan merontokkan sebagian Kash-mir, India, Afganistan. Lebih dari 40 ribu jiwa tewas seketika.
Hajira Begum tidak paham hitung-hi-tungan pada skala Tuan Richter. Dia ha-nya tahu, desanya hancur lebur. Dia menyak-sikan tetangganya berhambur-an ke luar, menguarkan lolong duka-cita, ber-lutut di jalanan, menyeru-nyeru perto-longan Allah.
Nenek tua itu boleh jadi tak pernah ta-hu bahwa di Jammu-Kashmir—dataran tinggi Himalaya, India Utara, Afganis-tan—korban rontok bagai lalat kena te-puk. Berporos di Kashmir, getaran gem-pa itu menjangkau 1.000 kilometer. Mu-lai dari Quetta, dusun kecil di gurun pa-sir Pakistan yang kering, hingga Desa Kun-duz di Afganistan Utara yang di-ngin, tiada yang luput dari siksa alam.
Jauh di tahun 1803, 1833, 1897, 1905, 1934, 1950, dan 1985, gempa lebih besar—8 lebih pada skala Richter—pernah me-luluhlantakkan kawasan Gujarat di India, Kashmir, dan beberapa desa lain di Uttarakhand dan Nagaland. Terletak di antara lempengan Eurasia dan lempengan tektonik India, wilayah-wilayah ini memang rawan gempa. Lima puluh juta tahun silam, kedua lempengan itu membentuk Pegunungan Himalaya dan mengkiamatkan sebagian besar kawasan Asia Selatan kala itu.
Kini, ribuan mayat masih tertimbun longsoran tanah. Puluhan ribu peng-ungsi berdempet-dempet seperti sarden di tenda-tenda darurat beratap langit, tanpa selimut, air bersih, dan makanan. Kolera mengancam. Di Muzaffarabad, orang menjarah makanan dari toko-toko dan rumah-rumah karena kelaparan.
Untuk sesaat, India dan Pakistan melupakan perseteruan panjang mereka. Bergandeng tangan, kedua negeri membantu para korban. Helikopter dari Jerman, Amerika Serikat, serta nege-ri-negeri Uni Eropa meraung di langit, mengantarkan makanan, selimut, dan tenda. Indonesia mengirimkan lebih dari 10 ton bahan makanan dan obat-obatan. Presiden Pakistan Pervez Mu-sharraf berkata: ”Inilah cobaan terberat yang harus dipikul Pakistan.”
Masjid-masjid pun menggelar doa yang sarat oleh ratap tangis, memohon ampunan kepada Tuhan. Fabi ayyi ala-i rabbikuma tukazziban—nikmat Allah yang mana lagi yang hendak kalian dus-takan?
Budiman S. Hartoyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo