Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Taman Firdaus di Gang Tikus

Semakin banyak warga kota berinisiatif menghijaukan lingkungan. Peran ibu-ibu dan pensiunan amat besar.

26 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jamu dan segala jenis minuman penambah energi kini jadi cerita lama bagi Muhammad Saifullah. Sebagai gantinya, dia selalu mengunyah tiga lembar daun binahong setelah kerja lembur semalaman. ”Rasa pegal hilang, badan jadi segar lagi,” ujarnya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Tanaman binahong itu dia gantung di dalam pot di depan rumahnya. Sederet tanaman berkhasiat lain berjejer rapi di halaman Pak Saifullah, dari daun jinten, ginseng, handelen, hingga sirih merah. Ibu-ibu dan remaja di lingkungan itu bahkan memasukkan daun binahong dan ginseng ketika merebus mi instan.

Saifullah adalah Ketua RT 05 RW 05 di Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat. Soal kegemaran pada tanaman obat, dia ”berguru” pada Sahari Priadi, warganya yang merintis pembibitan tanaman obat. Di rumah Sastro, panggilan Sahari, hampir seratus pot tanaman berjejer di depan rumah dan di sepanjang gang sempit.

Kreativitas Sastro, seorang pekerja film, segera diikuti para tetangganya. Jika kita memasuki gang itu, yang cuma bisa dilalui kendaraan roda dua, tampak ratusan pot berbaris di atas selokan yang ditutup semen. Bahkan, di beberapa sudut, pot-pot digantung dengan bambu di atas gang.

Untuk menuju lokasi tersebut, yang terletak persis di belakang sekolah Regina Pacis, mobil harus diparkir sejauh 150 meter. Tempat pembuangan sampah dari tong plastik dan batu bata terselip di antara barisan pot. Di seantero wilayah Rukun Warga 05, kita tidak bakal menemukan sampah berserakan.

Rupanya, sejak tahun lalu, sebagian warga di sana memanfaatkan sampah untuk kompos. Alhasil, sampah yang dilempar ke tempat pembuangan kian berkurang. ”Dalam sehari kini cuma dua gerobak sampah yang dibuang. Sebelumnya sampai empat gerobak,” kata Mujiono, Ketua RW 05.

Kerja keras warga memperoleh ganjaran. Tahun lalu, Rukun Tetangga 05 menjadi juara pertama Penghijauan Tingkat Provinsi DKI Jakarta. Wilayah RT 02 menyabet gelar juara kedua Lomba Rumah Sehat Tingkat Jakarta. Wilayah RW 05 juga memenangi hadiah pertama Lomba Dasawisma. Lomba ini menampilkan aktivitas kaum perempuan di bidang keterampilan, kesehatan, dan pendidikan.

Program penghijauan di RW 05 sudah dimulai lima tahun lalu. Awalnya hanya dua RT, sejak 2005 meluas ke RT lain. ”Lingkungan di sini kan padat dan rumahnya berdempetan,” kata Mujiono memberikan alasan.

Menurut Mujiono, inisiatif pengurus didukung 400 kepala keluarga. Mereka ramai-ramai menyumbang guna membeli pot dan tanaman. Untuk kebersihan dan keamanan, setiap rumah ditarik iuran Rp 3.000-5.000 per bulan.

Ketua RW 05 ini menjelaskan, tak ada bantuan dari pemerintah untuk membeli peralatan. Bahkan hadiah sebagai juara pertama yang diterima dari Provinsi Jakarta cuma uang Rp 500 ribu. ”Padahal saya menerima piala dari Gubernur Sutiyoso,” kata Saifullah, yang heran pada kepelitan pemerintah daerah dalam mengucurkan bantuan.

Memang, baru sebagian warga yang peduli terhadap program itu. Umumnya pensiunan dan ibu rumah tangga. Sebut contoh, Mujiono atau Slamet Riyadi yang rambutnya memutih dan aktivis film seangkatan Sophan Sophian. Juga Joko Supraptono, pensiunan pegawai badan usaha milik negara.

Di kawasan lain, peran ibu rumah tangga justru lebih menonjol. Di Rukun Tetangga 09, Kelurahan Gandaria Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, misalnya, para ibu memelopori penghijauan dengan menanam tumbuhan obat. Tanaman itu membawa kesejukan di sepanjang gang sempit yang mengitari sekitar 40 rumah. ”Kami ingin mendapatkan udara bersih dari tanaman yang ada,” kata Istikhoroh Taslim, mantan Ketua Tanaman Obat Keluarga (Toga) Wijayakusuma.

Kaum perempuan berinisiatif menjalankan penghijauan itu sejak 10 tahun lalu. Mereka membujuk suaminya ikut bergerak menanam pohon dalam pot. Upaya itu membuahkan penghargaan. Pada 2005, wilayah ini menggondol gelar juara pertama Lomba Toga Tingkat Jakarta.

Di Jalan Banjarsari, Kecamatan Cilandak, sosok Harini Bambang Wahono menjadi terkenal setelah menggerakkan warga untuk menghijaukan lingkungan. Banjarsari merupakan permukiman menengah yang jalannya bisa dilalui kendaraan roda empat. Halaman setiap rumah dipenuhi pot tanaman hias dan obat.

Harini menetap di kampung Banjarsari pada 1980. Ia kemudian mengajak ibu-ibu menanam tanaman obat, melakukan pengomposan, dan mendaur ulang sampah rumah. Kegiatan ini mendapat bantuan UNESCO, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Keasrian kampung Banjarsari tersiar keluar. Pada 2000, wilayah ini mendapat penghargaan sebagai juara nasional Konservasi Alam dan Penghijauan dari Departemen Pertanian dan Kehutanan. Setahun kemudian, Presiden Megawati Soekarnoputri menganugerahkan penghargaan Kalpataru bagi Harini, kini 76 tahun.

Pemerintah Kota Madya Jakarta Selatan juga menjadikan Banjarsari sebagai salah satu tujuan wisata di Jakarta Selatan. Banyak warga dari Jakarta dan kota lain melakukan studi banding pengelolaan lingkungan yang sehat dan bersih. Harini menyediakan kursus singkat daur ulang sampah bagi para tamu.

Kursus serupa diselenggarakan Djamaludin Suryohadikusumo dan istrinya, yang tinggal di perumahan Bumi Karang Indah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Djamaludin adalah mantan Menteri Kehutanan. Dia mengelola Kebun Karinda di tempat tinggalnya. Lahan seluas 300 meter persegi itu merupakan kebun percontohan, penyuluhan, dan pelatihan untuk pembibitan dan pengomposan.

Menurut sosiolog perkotaan Gumilar Rusliwa Somantri, contoh-contoh di atas memperlihatkan kian pentingnya peran warga kota mengatasi problem mikro di lingkungannya, dari sampah hingga pencemaran udara. ”Aktivitas itu amat baik jika diiringi peningkatan capacity building masyarakat yang hancur oleh rezim Orde Baru,” kata Gumilar, yang mengajar dan menjadi Dekan FISIP Universitas Indonesia.

Gumilar menambahkan, kemampuan negara kian terbatas. Sedangkan swasta hanya melihat dari sisi keuntungan ekonomi semata. Padahal warga kota setiap hari menghadapi lingkungan yang terus memburuk.

Ruang partisipasi yang tersedia, dalam pandangan Gumilar, merupakan kesempatan baik bagi warga untuk mengatasi masalahnya. Dia melihat majelis taklim serta aktivitas ibu-ibu di PKK dan arisan mampu menyelesaikan persoalan itu. Di antara hampir 12 juta penduduk Jakarta, Mujiono, Istikhoroh, dan Harini telah menunjukkan kalibernya sebagai warga yang bertanggung jawab.

Untung Widyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus