Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Giliran Lelaki dan Daerah

Sejumlah novel memenangi sayembara Dewan Kesenian Jakarta. Karya-karya dengan tema yang kaya, meski miskin penggarapan bahasanya.

26 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA yang semalam melihat pertunjukan wayang?”

Aku tak menyangka ustad yang biasa kupanggil Pak Ali akan bertanya demikian. Ah, sialnya aku ini. Pasti ada apa-apanya, pasti ada sesuatu yang bakal terjadi. Apalagi kilat mata ustad ini menunjukkan amarah. Tak biasanya ia demikian, karena ia dikenal sebagai seorang ustad penyabar…. Aku mengacungkan telunjuk, karena aku memang menyaksikan pertunjukan wayang semalam. Ternyata Somad, Juned, dan Sadzali juga mengacungkan tangan. Ditambah lagi Sanusi, anak Pak Ali sendiri.

”Semua yang menonton wayang keluar. Buka baju!” tegas Pak Ali.

Tak ada kata yang keluar dari bibir kami, baik itu sanggahan atau apa pun namanya. Apalagi Pak Ali dengan tegas mengatakan wayang itu haram! Karena kami telah melakukan serangkaian tindakan haram, maka kami telah melanggar aturan dan kami harus dihukum. Begitulah anggapannya kira-kira.

l l l

JAWA versus Islam. Wayang versus fikih. Di kepala Mashuri, 31 tahun, tema itu sudah bergerilya di rongga kepalanya sejak kecil. ”Saya meragukan sinkretisme yang konon dianggap berjalan mulus,” ujar wartawan harian Memorandum yang terbit di Surabaya ini. ”Di berbagai daerah yang saya lihat justru kebalikan dari Gatoloco atau Serat Darmogandul,” kata jebolan pondok pesantren Salafiyah Raudlatul Mutaallimin dan pondok pesantren Ta’sisut Taqwa Galang, Lamongan, itu.

Keraguan tersebut ia tuangkan dalam Hubbu, sebuah roman semibiografis yang dua pekan lalu dinyatakan sebagai pemenang pertama sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2006, dari 249 naskah yang dinilai. ”Ini jumlah yang luar biasa, mengingat pada sayembara sebelumnya, tahun 2003, hanya masuk sekitar 100 naskah,” ungkap Nur Zen Hae, Ketua Komite Sastra DKJ.

Kelima pemenang—juara pertama sampai harapan kedua—ternyata laki-laki semua, seakan-akan ingin mematahkan prediksi Sapardi Djoko Damono beberapa tahun silam tentang masa depan sastra Indonesia yang berada di tangan penulis perempuan. Sedangkan dari domisili pemenang, hanya pemenang terakhir yang berasal dari Jakarta. Empat lainnya berasal dari berbagai daerah (lihat ”Para Pemenang”).

Hubbu (”cinta” dalam bahasa Arab) berkisah tentang Abdullah Sattar, lelaki kelahiran Desa Alas Abang, yang menolak melanjutkan tradisi keluarga untuk mengelola pesantren. Sejak balita, ia biasa bermain api, baik secara harfiah maupun perlambang. Abdullah pernah nyaris membakar pesantren keluarga. Kalau saja sang Mbah yang berilmu tinggi tidak memadamkan api yang mulai menjilat-jilat itu hanya dengan kibasan tangannya, pesantren tersebut tentu sudah terbakar. Sejak itu, Abdullah dipanggil Jarot oleh si Mbah, nama yang kelak lebih populer dibanding nama lahirnya.

Bosan dengan kehidupan pesantren, Jarot belajar mistik dan ”Sastra Gendra”, sebelum memilih menempuh pendidikan umum di Universitas Airlangga dan ikut dalam gerakan mahasiswa menjelang tumbangnya Soeharto, Mei 1998. Pemberontakannya dari norma-norma pesantren terus berlanjut. Gelas alkohol pertama ia cicipi beberapa bulan setelah kuliah (sejak itu, Jarot kerap minum, meski tak pernah mabuk), dan ia terlibat pengalaman seksual dengan Agnes, gadis berbeda keyakinan yang kemudian dinikahinya.

Di titik inilah Jarot merasa dirinya bak Begawan Wisrawa, seorang resi yang tergelincir dalam nafsu badani saat hendak mengajarkan pengetahuan suci kepada muridnya yang berlainan jenis. Untuk menebus dosa, Jarot mengajak istrinya pindah ke Ambon, mengasingkan diri demi sebuah kehidupan yang baru. Di pulau rempah-rempah itu, Agnes meninggal tak lama setelah melahirkan seorang putri. Jarot menikah lagi dengan Zulaikha, yang memberinya seorang putri bernama Aida (”Karena aku terkenang dan terobsesi oleh opera Verdi,” tulis Jarot dalam surat yang kelak dibaca Aida dalam perjalanan napak tilas ke Alas Abang untuk mengetahui jejak sang ayah pada 2040).

Sebentar, eh, 2040?

”Ya, cukup banyak karya peserta yang mempermainkan dimensi waktu. Salah satunya adalah Hubbu ini,” ujar sastrawan Ahmad Tohari, anggota dewan juri, kepada Tempo. Meski bagus, Tohari menilai, Hubbu tak luar biasa. Yang mengesankan dari sayembara kali ini bagi penulis Ronggeng Dukuh Paruk itu justru bermunculannya penulis berlatar belakang pesantren seperti Mashuri.

”Seruan Gus Dur sejak 1980-an agar keprihatinan para santri jangan hanya dengan membatasi makan-minum, tapi juga menuangkannya dalam bentuk sastra, rupanya menjadi faktor pendorong yang efektif,” ujar Tohari. Di sisi lain, kesuksesan para sastrawan berbasis pesantren, seperti KH Mustofa Bisri, Zawawi Imron, atau Jamal D. Rahman, dilihat Tohari ikut berperan terhadap minat santri untuk menekuni dunia penulisan.

Tak adanya karya yang luar biasa juga diakui Apsanti Djoko Sujatno, ketua dewan juri. Dari tiga unsur penilaian yang dijadikan patokan juri, hanya aspek narasi dan inovasi tema yang menyedot perhatian peserta. Aspek ketiga, berupa penguasaan bahasa, nyaris tak diolah lebih serius. ”Secara umum, ketelitian para peserta sayembara ini masih kurang, termasuk kelima pemenang,” ujar guru besar sastra Prancis di Universitas Indonesia itu.

Mashuri sendiri mengakui banyaknya lubang pada karya yang digarapnya selama 18 bulan tersebut, meski ia mencoba menambalnya dengan bereksperimen lewat penggunaan sudut pandang yang beragam. Sang ”aku” tak mesti Jarot, melainkan bisa tokoh-tokoh lain (baik yang setuju maupun yang kontra dengan kelakuan Jarot), bahkan narator orang ketiga.

Dengan teknik yang disebut motor strukturalis-semiotis Mikhail Bakhtin (1895-1975) sebagai polifoni itu, sayangnya alumnus Sastra Indonesia Universitas Airlangga ini masih belum mampu membuat pembaca Hubbu menikmati (apalagi larut dalam ketegangan dan sensitivitas) dunia Jarot seperti dalam, ambillah sebagai contoh, Karamazov Bersaudara, kisah polifonik karya Fyodor Dostoevsky (1821-1881). Itu terutama karena anyaman bahasa Mashuri yang masih terlalu kendur, terlalu menghambur-hamburkan kata, terkadang dalam repetisi yang tak efektif.

Cara ungkap yang lebih tertata justru terlihat pada Mutiara Karam karya Tusiran Suseno, 49 tahun, yang menjadi juara kedua. Karyawan RRI Tanjung Pinang yang sudah menulis lebih dari 1.000 episode drama radio ini menggambarkan kehidupan para lanun (bajak laut) di sebuah selat dekat Pulau Bintan dengan sangat hidup. Sayang sekali, menurut Apsanti, Mutiara Karam adalah satu-satunya karya dengan setting laut yang masuk ke meja juri. ”Ini menunjukkan tema-tema bahari semakin dilupakan. Padahal, jika minat terhadap tema ini subur, akan banyak sekali kisah yang bisa dieksplorasi,” katanya prihatin.

Dalam jajaran lima karya pemenang, tak ada yang lebih eksperimental daripada JukstápôsÍsi: Shäànno, oner twäer ividi oshävaad karya Calvin Michel Sidjaja, 21 tahun. Bahkan, sebelum masuk ke prolog (yang ditulisnya sebagai Áveùnàn), mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan ini menuliskan sepenggal narasi yang mengingatkan pada gaya sastra gotik:

Tahukah kau? Dengarkah kau? Ada cerita bahwa tuhan itu seorang anak perempuan. Pada awalnya ada gelap dengan setitik Chhya. Dan Chhya tidak mau ada hal lain selain dirinya. Jadi dia memakan anak perempuan itu dan tertidur selamanya. Di sebuah dunia hampa tanpa tuhan, tanpa mimpi, dan tanpa dirimu.

Shäànno, oner twäer ividi oshävaad.

Dengan kisah yang mengarungi lekuk liku dunia mimpi itu, Calvin berhasil membuat ketiga juri—juri terakhir adalah pakar filsafat Bambang Sugiharto—menghadiahinya gelar juara ketiga.

Akmal Nasery Basral

Para Pemenang

I: Hubbu (Mashuri, 31 tahun, Sidoarjo), hadiah Rp 20 juta

II: Mutiara Karam (Tusiran Suseno, 49 tahun, Tanjung Pinang), Rp 15 juta

III: JukstápôsÍsi: Shäànno, oner twäer ividi oshävaad (Calvin Michel Sidjaja, 21 tahun, Bandung), Rp 12,5 juta

Harapan I: Glonggong (Junaedy Setiyono, 41 tahun, Purworejo), Rp 7,5 juta

Harapan II: Lanang (Yonathan Rahardjo, 38 tahun, Jakarta), Rp 5 juta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus