Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MOBIL Innova hitam itu perlahan menyusuri Jalan Cimahi, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat siang dua pekan lalu. Tepat di depan mes Kutai Kartanegara, mobil itu berhenti. Lima pria turun, dan masuk ke pekarangan. Mereka dihadang dua satpam. ”Kami mencari Syaukani,” satu di antara lima pria itu menyampaikan alasan kedatangan mereka.
”Tidak ada Pak Syaukani di sini,” sang satpam menukas. ”Anda dari mana?” Ia mendapat jawaban, ”Kami dari Komisi Pemberantasan Korupsi.” Kedua satpam buru-buru masuk mes. Tak lama kemudian, di depan pintu muncul seorang pegawai mes. ”Bapak tidak ada,” katanya, seraya meminta identitas kelima pria itu.
Seraya menyodorkan kartu tanda pengenal, satu di antara rombongan ”tamu” itu ganti mendesak, ”Jangan berbohong! Kami penyidik KPK.” Mereka langsung masuk ke dalam mes. Di sebuah kamar tampaklah orang yang dicari, Syaukani Hasan Rais, Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Dalam posisi berbaring, pria 59 tahun itu didampingi dua perempuan. ”Istrinya (Dayang Kartini) duduk dekat kepala, anaknya (Rita Widyasari) di kaki,” kata seorang saksi mata. ”Saya masih sakit,” Syaukani membuka percakapan. ”Mana surat tugas Anda?”
Penyidik KPK menyodorkan selembar kertas. ”Jangan ditandatangani, Pak,” terdengar suara perempuan. Untuk sejenak, pria yang akrab disapa Pak Kaning itu tertegun. ”Tidak. Saya teken saja,” kata ayah tiga anak itu.
Ditunggui para penyidik, Syaukani menunaikan salat asar, berlanjut dengan magrib hingga isya. Para penyidik kemudian membawanya ke kantor KPK di Jalan Veteran, Jakarta Pusat. Di sana, puluhan pendukung Pak Kaning sudah menunggu. Di antaranya seorang kolonel dengan nama Mulyono di atas kantong kiri bajunya.
Sekitar pukul 23.00 WIB, dengan diapit beberapa petugas, Syaukani tertatih-tatih masuk lift, menuju ruangan pemeriksaan di lantai tiga. Ketua Golkar Kalimantan Timur itu didampingi kuasa hukumnya, Herman Umar.
KPK menduga Syaukani terlibat korupsi dalam pembangunan Bandara Sultan Kutai Berjaya, Loa Kulu, Kalimantan Timur. Proyek senilai Rp 2,5 triliun itu dicanangkan pada periode pertama masa jabatannya, 1999–2004. Syaukani mengharapkan dana dari investor.
Pemerintah pusat menolak memberi izin pada 2004. Kendati demikian, Syaukani, yang terpilih lagi untuk periode 2005–2010, berpantang mundur. Bahkan dia menyiapkan dana Rp 119,7 miliar, yang disebut penyertaan modal. Dana itu sudah digunakan Rp 15,3 miliar untuk membebaskan lahan 256 hektare dari 1.300 hektare yang dibutuhkan.
Ternyata, uang itu masuk ke kantong tiga anaknya: Silvi Agustina, Rita Widyasari, dan Windra Sudarta, sebagai pemilik lahan. Itulah sebabnya Badan Pengawas Daerah Provinsi Kalimantan Timur, bersama Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan, mengusut proses pembebasan tanah itu pada Januari 2006.
Badan Pengawas menemukan fakta Syaukani mengeluarkan persetujuan lokasi pada Juni 2003. Tanah di lokasi itu pula yang dibeli anak Syaukani pada April 2003 sampai Februari 2004. Harganya Rp 1.500 per meter persegi. Setahun kemudian, panitia pengadaan tanah bandara membelinya Rp 6.000 per meter persegi. Padahal, nilai obyek pajak tanah Rp 910 per meter persegi.
Dari temuan itu Badan Pengawas menemukan indikasi kerugian negara Rp 11,52 miliar. Karena itu, Syaukani dilaporkan ke Kepolisian Daerah Kalimantan Timur. Pada pertengahan tahun lalu, reserse Polda Kalimantan Timur datang ke KPK memaparkan perkara ini.
Sejak itu KPK mengambil alih penanganannya. Puluhan saksi silih berganti dipanggil ke Jakarta dimintai keterangan, termasuk Syaukani. Akhirnya, KPK menetapkan Syaukani sebagai tersangka pada Desember tahun lalu. ”Bukti dan saksi untuk itu sudah cukup,” kata Johan Budi S.P., juru bicara KPK.
Sejak itu Syaukani menjadi pasien di Rumah Sakit Gading, Pluit, Jakarta Utara. ”Ada kelainan di tulang belakangnya,” kata kuasa hukumnya, Amir Syamsuddin. ”Jadi, dia dioperasi.”
Setelah Syaukani ditetapkan sebagai tersangka, panitia pembebasan tanah bandara menarik lagi duitnya dari pemilik lahan. ”Itu atas kemauan panitia, bukan inisiatif klien saya,” kata Amir. ”Mereka menunggu klarifikasi yang jelas karena muncul kasus ini.”
Apakah penarikan uang itu bisa menghapus tuduhan untuk Syaukani? ”Menurut saya begitu,” kata Amir Syamsuddin. ”Tapi, tentulah KPK bisa berbeda pendapat dengan saya,” ia cepat menambahkan. Namun, ”Secara umum, pengembalian uang hasil korupsi itu tidak menghapus tindak pidananya,” Johan Budi S.P. menukas.
Kasus ini pun terus bergulir. Di tengah penyidikan terhadap kasus ini, KPK menerima laporan beberapa kasus lagi menyangkut Syaukani—di antaranya pengadaan sistem pembangkit listrik tenaga diesel untuk kantor Bupati Kutai. Nilai proyek 2002 ini Rp 29 miliar untuk tiga unit genset, tapi yang datang cuma satu unit.
Ada pula pengadaan 9.000 sepeda motor untuk para guru di Kutai Kartanegara dengan nilai proyek Rp 153 miliar pada 2003. Di dalam kontrak, harga sa-tuan sepeda motor buatan Cina itu Rp 17 juta. Padahal, menurut sumber Tempo di Kutai Kartanegara, tiga perusahaan yang memperoleh proyek itu menawarkan harga Rp 10 juta per unit.
Wakil Ketua KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, tidak membantah data ini. Cuma, ”Masih dalam penyelidikan,” katanya. ”Jadi, belum bisa disampaikan.” Adapun Amir Syamsuddin mengaku belum mengetahui kasus ini. ”Yang saya tahu, klien saya diperiksa menyangkut pengadaan tanah,” katanya.
Dua pekan lalu, penyidik KPK mendapat kabar Syaukani sudah keluar dari Rumah Sakit Gading. ”Berarti dia sudah sembuh,” kata Ade Rahardja, Direktur Penyidikan KPK. Karena itulah dia kemudian ditangkap.
Di ruang pemeriksaan, Syaukani terduduk lesu dan lebih banyak diam ketika ditanyai. Ketika menerima pertanyaan tahap pembukaan, ”Anda dalam keadaan sehat?” Syaukani menjawab, dia sedang sakit. Pertanyaan tak dilanjutkan ke materi perkara.
Pada sekitar 01.00, Sabtu dini hari, penyidik KPK mengantar Syaukani ke rumah tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Di situ ia diperiksa dokter, yang kemudian memberi rujukan ke Rumah Sakit Polri di Kramat Jati, Jakarta Timur.
Dari rumah sakit, melalui kuasa hukumnya, Amir Syamsuddin, Syaukani mengirim pesan. ”Saya bersedia diperiksa,” katanya. ”Jangan dianggap saya berpura-pura sakit.” Menurut Amir, kliennya cukup kuat jika hanya bicara. ”Sambil tidur kan bisa diperiksa,” kata Amir.
Nurlis E. Meuko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo