MISTERI pencemaran Teluk Jakarta oleh zat merkuri masih
berlanjut. Namun penduduk sekitar teluk itu belum terpengaruh.
Itu diketahui dari hasil penelitian suatu tim Departemen
Kesehatan. Belum terdapat penderita keracunan merkuri antara
penduduk itu, menurut laporan terakhir tim itu (awal Juli). Juga
kadar merkuri pada rambut penduduk sampel dinyatakan masih dalam
batas normal, tidak menunjukkan adanya keracunan merkuri.
Zat merkuri ini cenderung berkumpul pada rambut bila memasuki
tubuh manusia. Karena itu kadar merkuri pada rambut diteliti.
Namun cukup jelimet menganalisanya. Di Indonesia hanya
laboratorium BATAN bisa mengerjakannya, dengan menggunakan
metode analia pengaktifan neutron.
Tapi analisa pokok dilakukan di Jepang, pada laboratorium
Universitas. Kobe, yang menggunakan metode kromatografi gas.
Analisa di BATAN digunakan sebagai data pengontrol hasil Kobe.
Sampel rambut yang sama juga dikirim ke laboratorium Oregon
State University di Amerika Serikat, supaya mendapat data
pembanding. Tapi hasil laboratorium ini tak dapat diterima tim
Depkes karena tidak jelas metode yang digunakan, sedang hasilnya
jauh di bawah batas deteksi. Analisa di Kobe dan BATAN ternyata
sama.
Sampel rambut itu diperoleh dari 77 orang yang -- berdasarkan
pemeriksaan klinis -- menunjukkan kelainan saraf di antara 3.178
penduduk yang diteliti tim itu di sekitar Teluk Jakarta.
Sebanyak 0,5 gram rambut dipotong pada jarak 1 cm di atas kulit
kepala. Setiap sampel rambut dibagi tiga dan dikirim ke
laboratorium masing-masing. Hasilnya: 70 sampel menunjukkan
kadar merkuri di bawah 10 ppm, 3 antara 10 dan 19 ppm, tiga lagi
antara 20 dan 29 ppm dan hanya satu melebihi 50 ppm.
Menurut laporan WHO (World Health Organization) tahun 1972,
kadar merkuri yang terendah yang ada hubungannya dengan gejala
klinis keracunan ialah 50 ppm bagi penduduk di daerah Niigata,
Jepang. Di situ terjadi malapetaka yang dikenal kemudian dengan
penyakit Minamata.
Semua 3.178 penduduk, yang diperiksa, ditentukan dengan cara
sampelacak tahap ganda. Semula dipilih sejumlah RW dari 3
kelurahan -- Pejagalan, Kalibaru dan Muara Angke. Dari RW ini
dipilih dengan cara acak sejumlah RT dan selanjutnya 560 KK yang
meliputi 3.178 orang tadi. Mereka diwawancarai untuk
mengumpulkan keterangan seperti kebiasaan konsumsi ikan, asal
sumber air minum tersebut.
Ini dilanjutkan dengan pemeriksaan klinis pendahuluan, seperti
tes penglihatan, pendengaran, keseimbangan gerak waktu berjalan.
Berdasarkan pemeriksaan ini dipilih 77 orang yang disampel
rambytnya. Mereka semua mendapat pemeriksaan tahap kedua yang
lebih teliti oleh tenaga paramedis, tapi 51 orang yang diduga
ada kelainan diperiksa langsung oleh dokter ahli saraf. Dan
ditemukan satu orang yang menunjukkan gejala positif kelainan
saraf. Agaknya dia memiliki kadar merkuri yang tinggi pada
rambutnya. Anehnya, setelah hasil Kobe datang, justru sampel
rambut orang ini menunjukkan kadar yang sangat rendah: 3,2 ppm.
Sebaliknya sampel rambut dengan kadar 52 ppm -- yang tertinggi
di antara semua sampel -- dimiliki orang yang sama sekali tidak
menunjukkan gejala kelainan saraf.
Dari analisa sampel rambut penderita penyakit Minamata di
Jepang, ternyata kadar paling rendah adalah 50 ppm yang
menunjukkan gejala klinis kelainan saraf. Analisa ulang
menunjukkan nilai kadar terendah itu bahkan 100 ppm.
Meski masih banyak perbedaan pendapat, dalam hal penduduk Teluk
Jakarta keterangan tim Depkes sederhana. Kalau dianggap 50 ppm
kadar terendah yang menunjukkan gejala klinis keracunan,
kelainan saraf yang ditentukan pada seorang penduduk dengan
kadar merkuri di bawah 5 ppm jelas punya sebab lain. Tidak
akibat keracunan merkuri. Tidak ditemukan kelainan saraf pada
penduduk dengan kadar merkuri 52 ppm dalam rambutnya lebih lagi
menegaskan kesimpulan itu. Andaikata diambil 100 ppm sebagai
batas kadar terendah, paling tidak kadar 52 ppm mestinya sudah
menunjukkan gejala kelainan. Inilah yang mendasari kesimpulan
keseluruhan hasil penelitian tim Depkes itu.
Dan mengapa disimpulkan nilai kadar merkuri dalam sampel rambut
penduduk Teluk Jakarta masih dalam batas normal? Tim Depkes
membandingkannya dengan hasil laporan Biro Higiene di Tokyo
tahun 1976 dan 1978. Laporan itu mengemukakan sejumlah angka
nilai tengah pada beberapa kelompok penduduk ibukota Jepang itu.
Diteliti para nelayan, penduduk kepulauan, pria dan wanita di
daerah Tokyo itu. Ternyata nilai tengah kadar total merkuri pada
rambut penduduk Teluk Jakarta hampir sama dengan nilai di Tokyo
itu pada kelompok wanita, lebih rendah dari kelompok pria dan
jauh lebih rendah dari para nelayan.
Kenormalan ini juga ditemukan pada nilai kadar metil-merkuri --
senyawa merkuri organis yang terutama berbahaya. Kadar senyawa
merkuri organis itu dianalisa pada 11 dari 77 sampel rambut
penduduk Teluk Jakarta. Kesebelas sampel ini memiliki kadar
total merkuri melebihi 7 ppm. Ternyata kadar metil-merkuri
berkisar antara 0,04 dan 3,60 ppm atau 0,4-46,1%. Ini jauh di
bawah 60% kadar metil-merkuri yang ditemukan pada penduduk
normal di Jepang.
Data Sekunder
KSPL (Kelompok Studi Pencemaran Lingkungan) tahun lalu juga
mengadakan pengamatan terhadap gejala klinis pada sejumlah
penduduk sekitar Teluk Jakarta dan menduga penduduk itu sudah
terpengaruh racun merkuri. Ini tidak ditemukan buktinya oleh
penelitian tim Depkes. Meski begitu, Dr. M. Suryani, Kepala
Pusat Studi Lingkungan UI (PSL-UI) yang turut dalam tim Depkes
itu, mengatakan pada TEMPO bahwa KSPL jelas telah menggugah
Litbang (Depkes) mengadakan penelitian ulang. Bahkan, menurut
Suryani, data penelitian KSPL juga dijadikan "data sekunder"
oleh tim Depkes.
Juga turut dalam tim Depkes itu, dr. Iwan Darmansyah, Bagian
Farmakologi FKUI, dr. A.S. Santoso, Bagian Neurologi FKUI, dr.
Umbas dari Dinas Kesehatan Kota DKI dan dr. A. Karyadi dari
Direktorat Jenderal P3M, Depkes. Dari pihak Pusat Lingkungan
Ekologi Kesehatan turut dr. I.F. Setiady, Sumengen, S.K.M., dan
Ir. Sri Soewasti Soesanto.
Dalam kesimpulannya tim itu juga menyarankan perlu ditingkatkan
pengawasan dan pengaturan air limbah industri secara umum dan
khusus yang mengandung merkuri. Ini untuk mencegah keracunan
pada penduduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini