Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Tambahan Berita Dari Teluk

Laboratorium Batan, Kobe & Oregon sudah menganalisa sampel rambut penduduk teluk Jakarta. Ternyata nilai kadar merkuri masih dalam batas normal.

15 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MISTERI pencemaran Teluk Jakarta oleh zat merkuri masih berlanjut. Namun penduduk sekitar teluk itu belum terpengaruh. Itu diketahui dari hasil penelitian suatu tim Departemen Kesehatan. Belum terdapat penderita keracunan merkuri antara penduduk itu, menurut laporan terakhir tim itu (awal Juli). Juga kadar merkuri pada rambut penduduk sampel dinyatakan masih dalam batas normal, tidak menunjukkan adanya keracunan merkuri. Zat merkuri ini cenderung berkumpul pada rambut bila memasuki tubuh manusia. Karena itu kadar merkuri pada rambut diteliti. Namun cukup jelimet menganalisanya. Di Indonesia hanya laboratorium BATAN bisa mengerjakannya, dengan menggunakan metode analia pengaktifan neutron. Tapi analisa pokok dilakukan di Jepang, pada laboratorium Universitas. Kobe, yang menggunakan metode kromatografi gas. Analisa di BATAN digunakan sebagai data pengontrol hasil Kobe. Sampel rambut yang sama juga dikirim ke laboratorium Oregon State University di Amerika Serikat, supaya mendapat data pembanding. Tapi hasil laboratorium ini tak dapat diterima tim Depkes karena tidak jelas metode yang digunakan, sedang hasilnya jauh di bawah batas deteksi. Analisa di Kobe dan BATAN ternyata sama. Sampel rambut itu diperoleh dari 77 orang yang -- berdasarkan pemeriksaan klinis -- menunjukkan kelainan saraf di antara 3.178 penduduk yang diteliti tim itu di sekitar Teluk Jakarta. Sebanyak 0,5 gram rambut dipotong pada jarak 1 cm di atas kulit kepala. Setiap sampel rambut dibagi tiga dan dikirim ke laboratorium masing-masing. Hasilnya: 70 sampel menunjukkan kadar merkuri di bawah 10 ppm, 3 antara 10 dan 19 ppm, tiga lagi antara 20 dan 29 ppm dan hanya satu melebihi 50 ppm. Menurut laporan WHO (World Health Organization) tahun 1972, kadar merkuri yang terendah yang ada hubungannya dengan gejala klinis keracunan ialah 50 ppm bagi penduduk di daerah Niigata, Jepang. Di situ terjadi malapetaka yang dikenal kemudian dengan penyakit Minamata. Semua 3.178 penduduk, yang diperiksa, ditentukan dengan cara sampelacak tahap ganda. Semula dipilih sejumlah RW dari 3 kelurahan -- Pejagalan, Kalibaru dan Muara Angke. Dari RW ini dipilih dengan cara acak sejumlah RT dan selanjutnya 560 KK yang meliputi 3.178 orang tadi. Mereka diwawancarai untuk mengumpulkan keterangan seperti kebiasaan konsumsi ikan, asal sumber air minum tersebut. Ini dilanjutkan dengan pemeriksaan klinis pendahuluan, seperti tes penglihatan, pendengaran, keseimbangan gerak waktu berjalan. Berdasarkan pemeriksaan ini dipilih 77 orang yang disampel rambytnya. Mereka semua mendapat pemeriksaan tahap kedua yang lebih teliti oleh tenaga paramedis, tapi 51 orang yang diduga ada kelainan diperiksa langsung oleh dokter ahli saraf. Dan ditemukan satu orang yang menunjukkan gejala positif kelainan saraf. Agaknya dia memiliki kadar merkuri yang tinggi pada rambutnya. Anehnya, setelah hasil Kobe datang, justru sampel rambut orang ini menunjukkan kadar yang sangat rendah: 3,2 ppm. Sebaliknya sampel rambut dengan kadar 52 ppm -- yang tertinggi di antara semua sampel -- dimiliki orang yang sama sekali tidak menunjukkan gejala kelainan saraf. Dari analisa sampel rambut penderita penyakit Minamata di Jepang, ternyata kadar paling rendah adalah 50 ppm yang menunjukkan gejala klinis kelainan saraf. Analisa ulang menunjukkan nilai kadar terendah itu bahkan 100 ppm. Meski masih banyak perbedaan pendapat, dalam hal penduduk Teluk Jakarta keterangan tim Depkes sederhana. Kalau dianggap 50 ppm kadar terendah yang menunjukkan gejala klinis keracunan, kelainan saraf yang ditentukan pada seorang penduduk dengan kadar merkuri di bawah 5 ppm jelas punya sebab lain. Tidak akibat keracunan merkuri. Tidak ditemukan kelainan saraf pada penduduk dengan kadar merkuri 52 ppm dalam rambutnya lebih lagi menegaskan kesimpulan itu. Andaikata diambil 100 ppm sebagai batas kadar terendah, paling tidak kadar 52 ppm mestinya sudah menunjukkan gejala kelainan. Inilah yang mendasari kesimpulan keseluruhan hasil penelitian tim Depkes itu. Dan mengapa disimpulkan nilai kadar merkuri dalam sampel rambut penduduk Teluk Jakarta masih dalam batas normal? Tim Depkes membandingkannya dengan hasil laporan Biro Higiene di Tokyo tahun 1976 dan 1978. Laporan itu mengemukakan sejumlah angka nilai tengah pada beberapa kelompok penduduk ibukota Jepang itu. Diteliti para nelayan, penduduk kepulauan, pria dan wanita di daerah Tokyo itu. Ternyata nilai tengah kadar total merkuri pada rambut penduduk Teluk Jakarta hampir sama dengan nilai di Tokyo itu pada kelompok wanita, lebih rendah dari kelompok pria dan jauh lebih rendah dari para nelayan. Kenormalan ini juga ditemukan pada nilai kadar metil-merkuri -- senyawa merkuri organis yang terutama berbahaya. Kadar senyawa merkuri organis itu dianalisa pada 11 dari 77 sampel rambut penduduk Teluk Jakarta. Kesebelas sampel ini memiliki kadar total merkuri melebihi 7 ppm. Ternyata kadar metil-merkuri berkisar antara 0,04 dan 3,60 ppm atau 0,4-46,1%. Ini jauh di bawah 60% kadar metil-merkuri yang ditemukan pada penduduk normal di Jepang. Data Sekunder KSPL (Kelompok Studi Pencemaran Lingkungan) tahun lalu juga mengadakan pengamatan terhadap gejala klinis pada sejumlah penduduk sekitar Teluk Jakarta dan menduga penduduk itu sudah terpengaruh racun merkuri. Ini tidak ditemukan buktinya oleh penelitian tim Depkes. Meski begitu, Dr. M. Suryani, Kepala Pusat Studi Lingkungan UI (PSL-UI) yang turut dalam tim Depkes itu, mengatakan pada TEMPO bahwa KSPL jelas telah menggugah Litbang (Depkes) mengadakan penelitian ulang. Bahkan, menurut Suryani, data penelitian KSPL juga dijadikan "data sekunder" oleh tim Depkes. Juga turut dalam tim Depkes itu, dr. Iwan Darmansyah, Bagian Farmakologi FKUI, dr. A.S. Santoso, Bagian Neurologi FKUI, dr. Umbas dari Dinas Kesehatan Kota DKI dan dr. A. Karyadi dari Direktorat Jenderal P3M, Depkes. Dari pihak Pusat Lingkungan Ekologi Kesehatan turut dr. I.F. Setiady, Sumengen, S.K.M., dan Ir. Sri Soewasti Soesanto. Dalam kesimpulannya tim itu juga menyarankan perlu ditingkatkan pengawasan dan pengaturan air limbah industri secara umum dan khusus yang mengandung merkuri. Ini untuk mencegah keracunan pada penduduk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus