MALAM itu pendapa gedung Taman Budaya di Jalan Gentengkali,
Surabaya, penuh pengunjung. Ada pertunjukan wayang kulit, dengan
lakon Wahyu Makutarama. Sang dalang mengenakan pakaian gaya
Sala: berkain sidomukti dan jas hitam krowokan, dengan blangkon
yang pas betul di kepalanya.
Ketika Ki Dalang mulai suluk -- suara tinggi berlagu yang
melukiskan suatu suasana adegan - dengan bahasa Jawa yang jelas,
penonton keplok keras. Kok begitu? Ya, karena Ki Dalang ternyata
orang Amerika tulen. Maka terdengarlah suaranya menerangkan
lakon yang sedang dimainkannya:"Wahyu is blessing, makuta is a
crown and rama is the name of King Rama from the Kingdom of
Ngayodya .... "
Para punakawan pun ngomong dalam bahasa Inggris. Juga peran
lain. Dan meskipun berbicara dalam bahasa Ingngris, suara Raden
Janaka misalnya tetap lemah gemulai. Dan para penonton pun tak
henti-hentinya tertawa. Bukan semata karena tingkah para
punakawan yang memang lucu, juga dialog mereka dalam bahasa
Inggris terdengar aneh, tapi memancing ketawa.
Pasar Klewer
Itulah Ki Dalang Marc Hoffman, 33 tahun, yang karena
perawakannya yang jangkung dan langsing, ditambah dengan hidung
mancung, bagaikan Petruk kelahiran Pennsylvania, Amerika
Serikat. Tapi segala gerak-geriknya telah sehalus wong Sala.
Kalau berbicara, ibu jarinya selalu siap untuk menunjukkan
sesuatu.
"Tapi saya ini bukan dalang," kata Hoffman. Katanya, dia hanya
sekedar orang asing yang telah jatuh cinta kepada wayang. Sebab,
tambahnya, "Wayang mempunyai keindahan yang tidak dimiliki oleh
kesenian di tanah air saya." Juga, wayang itu lucu, tetapi
formal. Wayang tua, sebab sudah ada beberapa abad yang silam.
Ietapi juga muda, karena selalu re]evan. Artinya, begitu
pendapat Hoffman, enak dinikmati dan bisa membawakan persoalan
mutakhir. "Jadi dunia wayang itu sangat luas," tambahnya lagi,
"mungkin, sampai mati pun, saya tak akan pernah mengerti
semuanya." Karena semua itulah ia jatuh cinta.
Tahun 1970, Hoffman masuk California Institute of Arts di
Valencia, California, jurusan Seni dan Musik. Di situ dia
bertemu dengan Oemartopo, seorang dalang dari Wonogiri, yang
sedang mengajar di sana. Hoffman langsung tertarik pada seni
mendalang ini. Kebetulan, Oemartopo selalu memberi kesempatan
kepadanya untuk mencoba beberapa adegan. Belum "kenyang" dia
mengguru kepada Oemartopo, guru SPG Wonogiri ini harus kembali
ke Indonesia. Hoffman yang sudah ketagihan, kecewa.
Dia berusaha keras pergi ke Indonesia. Untuk mendapat sangu,
segala macam pekerjaan (bekerja di kantor pos, jadi pesuruh,
pelayan toko, penyiar dan teknisi radio) dirangkumnya. "Saya
bekerja sampai 80 jam seminggu," ujarnya -- agar uang cepat
terkumpul.
Pada 1976 dia sempat ditanggap oleh Kedubes RI di Washington.
Penontonnya sekitar 400-an. "Tapi waktu itu penampilan saya
jelek sekali," ujarnya.
Baru pada 1978, Hoffman bisa ke Indonesia, langsung ke Sala.
Tinggal di Kampung Kemlayan, Hoffman masuk ASKI (Akademi Seni
Karawitan Indonesia) dan Pasinaon Dalang ing Mangkunegaran.
Meskipun berkulit putih dan bermata biru, Hoffman mencoba hidup
seperti wong Sala. Tidak ada lemari es, tidak ada roti dan
mentega di rumah tempat tinggalnya. Juga tidak ada mobil.
Kendaraannya becak atau jalan kaki. Kegemarannya makan nasi
opor di warung dekat Pasar Klewer. "Pokoknya apa yang saya
makan, mulai dari teh sampai buah, selalu tarifnya Rp 500," kata
Hoffman. Dengan nongkrong di warung itulah Hoffman belajar
bahasa Jawa. Bahasa Indonesianya kini juga sudah bagus.
Hoffman juga sering berkeliling untuk berguru kepada beberapa
dalang. "Antara lain dengan Pak Soetrisno di Klaten," ujarnya.
Akhirnya dia menetap di Jakarta dengan mengontrak sebuah ruangan
di daerah Menteng. Pada 22 Juli lalu ia mendalang di kediaman
Duta Besar AS, Edward Masters. Sebelum itu, Juni, Hoffman
mendalang di Jakarta Hilton. "Menakjubkan," kata seorang staf
hotel tersebut "sampai dia selesai, tak seorang pun yang
beranjak pergi." Agaknya karena penonton asing, ingin tahu lebih
banyak tentang wayang dan Hoffman membawakannya dalam bahasa
Inggris, meskipun suluk dan beberapa tembang tetap dalam bahasa
Jawa. Sedangkan penonton Indonesia datang dengan rasa ingin tahu
dicampur kagum.
Hoffman telah menguasai beberapa lakon. Antara lain Wahyu
Makutarama, Gatutkaca Lahir, Gatutkaca Krama. "Saya tidak
menyingkat lakon semalam jadi dua jam," kata Hoffman. Yang
dilakukannya adalah memainkan lakon bagian demi bagian yang
dianggapnya paling menarik. "Meskipun saya berminat bisa
memainkan wayang semalam suntuk," tambahnya.
Seasli Mungkin
Beberapa dialog yang tetap, "tentu saya ucapkan seasli mungkin,"
katanya lagi. Sedangkan dialog yang bisa diubah, disesuaikannya
dengan penontonnya waktu itu.
Sebelum main, biasanya Hoffman pergi ke Sala, minta restu kepada
guru-gurunya. Restu berarti juga latihan di depan gurunya.
"Nyuwun restu itu perlu," katanya, "apalagi kalau saya akan
memainkan lakon baru."
Hoffman menghadapi satu tantangan. "Banyak yang keberatan kalau
cerita wayang itu diterjemahkan," ujar Hoffman "dianggap
nilai-nilainya akan hilang." Tetapi tidak semua yang bisa
diterjemahkan, dialihbahasakan hegitu saja. "Saya tidak berani
menerjemahkan suluk "katanya, "karena, suluk adalah bagian yang
berat." Tapi biarpun "berat", waktu mengalunkan suluk suara
Hoffman hampir tak ada beda dengan dalang Jawa.
Dengan para niyaga (pemain gamelan), dalang bule ini, seperti
juga dalang yang lain, mempunyai sasmita (pertanda) khusus.
Untuk meminta gending tertentu, lebih dulu ia mengucapkan
sesuatu, di tengah dialog bahasa Inggris, yang kemudian
dijelaskannya sedikit dalam bahasa Jawa.
Hoffman mendalang sekitar 2,5 jam. Berapa honornya sekali main?
"Itu tidak penting," kata Hoffman. Rupanya yang penting baginya,
"kalau saya sudah pandai mendalang kelak, entah kapan, saya
ingin mengadakan tour ke negara-negara berbahasa Inggris."
Sementara ini, selain sekali-sekali mendalang, bujangan ini
menjadi konsultan di sebuah radio swasta di Jakarta. "Syukur
kalau dari dalang saya sudah bisa hidup," ujarnya. Di radio
tempatnya bekerja itu, Hoffman juga mempunyai acara "Action!
Jakarta".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini