Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Petruk bule dari pennsylvania

Marc hoffman, asal pennsylvania, as, belajar mendalang di indonesia. untuk pergi ke indonesia ia berusaha mendapat ongkos jalan dengan bekerja keras.

15 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM itu pendapa gedung Taman Budaya di Jalan Gentengkali, Surabaya, penuh pengunjung. Ada pertunjukan wayang kulit, dengan lakon Wahyu Makutarama. Sang dalang mengenakan pakaian gaya Sala: berkain sidomukti dan jas hitam krowokan, dengan blangkon yang pas betul di kepalanya. Ketika Ki Dalang mulai suluk -- suara tinggi berlagu yang melukiskan suatu suasana adegan - dengan bahasa Jawa yang jelas, penonton keplok keras. Kok begitu? Ya, karena Ki Dalang ternyata orang Amerika tulen. Maka terdengarlah suaranya menerangkan lakon yang sedang dimainkannya:"Wahyu is blessing, makuta is a crown and rama is the name of King Rama from the Kingdom of Ngayodya .... " Para punakawan pun ngomong dalam bahasa Inggris. Juga peran lain. Dan meskipun berbicara dalam bahasa Ingngris, suara Raden Janaka misalnya tetap lemah gemulai. Dan para penonton pun tak henti-hentinya tertawa. Bukan semata karena tingkah para punakawan yang memang lucu, juga dialog mereka dalam bahasa Inggris terdengar aneh, tapi memancing ketawa. Pasar Klewer Itulah Ki Dalang Marc Hoffman, 33 tahun, yang karena perawakannya yang jangkung dan langsing, ditambah dengan hidung mancung, bagaikan Petruk kelahiran Pennsylvania, Amerika Serikat. Tapi segala gerak-geriknya telah sehalus wong Sala. Kalau berbicara, ibu jarinya selalu siap untuk menunjukkan sesuatu. "Tapi saya ini bukan dalang," kata Hoffman. Katanya, dia hanya sekedar orang asing yang telah jatuh cinta kepada wayang. Sebab, tambahnya, "Wayang mempunyai keindahan yang tidak dimiliki oleh kesenian di tanah air saya." Juga, wayang itu lucu, tetapi formal. Wayang tua, sebab sudah ada beberapa abad yang silam. Ietapi juga muda, karena selalu re]evan. Artinya, begitu pendapat Hoffman, enak dinikmati dan bisa membawakan persoalan mutakhir. "Jadi dunia wayang itu sangat luas," tambahnya lagi, "mungkin, sampai mati pun, saya tak akan pernah mengerti semuanya." Karena semua itulah ia jatuh cinta. Tahun 1970, Hoffman masuk California Institute of Arts di Valencia, California, jurusan Seni dan Musik. Di situ dia bertemu dengan Oemartopo, seorang dalang dari Wonogiri, yang sedang mengajar di sana. Hoffman langsung tertarik pada seni mendalang ini. Kebetulan, Oemartopo selalu memberi kesempatan kepadanya untuk mencoba beberapa adegan. Belum "kenyang" dia mengguru kepada Oemartopo, guru SPG Wonogiri ini harus kembali ke Indonesia. Hoffman yang sudah ketagihan, kecewa. Dia berusaha keras pergi ke Indonesia. Untuk mendapat sangu, segala macam pekerjaan (bekerja di kantor pos, jadi pesuruh, pelayan toko, penyiar dan teknisi radio) dirangkumnya. "Saya bekerja sampai 80 jam seminggu," ujarnya -- agar uang cepat terkumpul. Pada 1976 dia sempat ditanggap oleh Kedubes RI di Washington. Penontonnya sekitar 400-an. "Tapi waktu itu penampilan saya jelek sekali," ujarnya. Baru pada 1978, Hoffman bisa ke Indonesia, langsung ke Sala. Tinggal di Kampung Kemlayan, Hoffman masuk ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) dan Pasinaon Dalang ing Mangkunegaran. Meskipun berkulit putih dan bermata biru, Hoffman mencoba hidup seperti wong Sala. Tidak ada lemari es, tidak ada roti dan mentega di rumah tempat tinggalnya. Juga tidak ada mobil. Kendaraannya becak atau jalan kaki. Kegemarannya makan nasi opor di warung dekat Pasar Klewer. "Pokoknya apa yang saya makan, mulai dari teh sampai buah, selalu tarifnya Rp 500," kata Hoffman. Dengan nongkrong di warung itulah Hoffman belajar bahasa Jawa. Bahasa Indonesianya kini juga sudah bagus. Hoffman juga sering berkeliling untuk berguru kepada beberapa dalang. "Antara lain dengan Pak Soetrisno di Klaten," ujarnya. Akhirnya dia menetap di Jakarta dengan mengontrak sebuah ruangan di daerah Menteng. Pada 22 Juli lalu ia mendalang di kediaman Duta Besar AS, Edward Masters. Sebelum itu, Juni, Hoffman mendalang di Jakarta Hilton. "Menakjubkan," kata seorang staf hotel tersebut "sampai dia selesai, tak seorang pun yang beranjak pergi." Agaknya karena penonton asing, ingin tahu lebih banyak tentang wayang dan Hoffman membawakannya dalam bahasa Inggris, meskipun suluk dan beberapa tembang tetap dalam bahasa Jawa. Sedangkan penonton Indonesia datang dengan rasa ingin tahu dicampur kagum. Hoffman telah menguasai beberapa lakon. Antara lain Wahyu Makutarama, Gatutkaca Lahir, Gatutkaca Krama. "Saya tidak menyingkat lakon semalam jadi dua jam," kata Hoffman. Yang dilakukannya adalah memainkan lakon bagian demi bagian yang dianggapnya paling menarik. "Meskipun saya berminat bisa memainkan wayang semalam suntuk," tambahnya. Seasli Mungkin Beberapa dialog yang tetap, "tentu saya ucapkan seasli mungkin," katanya lagi. Sedangkan dialog yang bisa diubah, disesuaikannya dengan penontonnya waktu itu. Sebelum main, biasanya Hoffman pergi ke Sala, minta restu kepada guru-gurunya. Restu berarti juga latihan di depan gurunya. "Nyuwun restu itu perlu," katanya, "apalagi kalau saya akan memainkan lakon baru." Hoffman menghadapi satu tantangan. "Banyak yang keberatan kalau cerita wayang itu diterjemahkan," ujar Hoffman "dianggap nilai-nilainya akan hilang." Tetapi tidak semua yang bisa diterjemahkan, dialihbahasakan hegitu saja. "Saya tidak berani menerjemahkan suluk "katanya, "karena, suluk adalah bagian yang berat." Tapi biarpun "berat", waktu mengalunkan suluk suara Hoffman hampir tak ada beda dengan dalang Jawa. Dengan para niyaga (pemain gamelan), dalang bule ini, seperti juga dalang yang lain, mempunyai sasmita (pertanda) khusus. Untuk meminta gending tertentu, lebih dulu ia mengucapkan sesuatu, di tengah dialog bahasa Inggris, yang kemudian dijelaskannya sedikit dalam bahasa Jawa. Hoffman mendalang sekitar 2,5 jam. Berapa honornya sekali main? "Itu tidak penting," kata Hoffman. Rupanya yang penting baginya, "kalau saya sudah pandai mendalang kelak, entah kapan, saya ingin mengadakan tour ke negara-negara berbahasa Inggris." Sementara ini, selain sekali-sekali mendalang, bujangan ini menjadi konsultan di sebuah radio swasta di Jakarta. "Syukur kalau dari dalang saya sudah bisa hidup," ujarnya. Di radio tempatnya bekerja itu, Hoffman juga mempunyai acara "Action! Jakarta".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus