OLYMPIADE, wadah pertemuan persahabatan antarnegara dalam
olahraga, telah menjadi kancah permusuhan politik. Terakhir
tahun 1980 Amerika Serikat memboikot Olympiade Moskow.
Tahun ini muncul World Games, yang semula bertujuan
mempertandingkan cabang olahraga yang tidak masuk Olympiade.
"Tapi prinsip itu sulit diterapkan," kata Direktur Eksekutif
World Games, Hal Uplinger. Pengurus Federasi Sepakbola
Internasional (FIFA) mengatakan, "kalau cabang-cabang Olympiade
dikucilkan World Games, hal yang sama akan dilakukan Olympiade."
Akhirnya disepakati oleh federasi-federasi cabang olahraga
internasional bahwa semua cabang olahraga dapat ikut serta.
Ciri khas World Games yang membedakannya dengan Olympiade ialah
atlet tidak membawa nama negara. Karena itu tidak ada susunan
tim atau kontingen negara, tidak ada pengibaran bendera
nasional dan tidak ada pengumandangan lagu kebangsaan. Para
atlet dari berbagai negara yang bermusuhan bisa bertanding
secara sportif di satu lapangan.
Di World Games I di Santa Clara, AS, atlet Taiwan dan RRC
bertemu dalam cabang bulutangkis. Di sini pula untuk pertama
kali bulutangkis Indonesia mengalami prestasi terburuk sejak
1968. "Kandang kekuatan bulutangkis Indonesia menderita malu
tanpa seorang pun tersisa masuk final," tulis koran Malaysia,
New Straits Times. Ketua Harian KONI Pusat, D. Suprayogi merasa
kecewa, terutama karena Liem Swie King dan kawan-kawannya kalah
hanya karena kehabisan napas.
"Seharusnya untuk ke World Games diperlukan persiapan sama
seperti untuk kejuaraan All England," kata Sekjen KONI, M.F.
Siregar yang menjadi manajer tim atlet Indonesia ke Santa Clara.
Persiapan fisik mereka memang kurang matang. Sebulan sebelum
berangkat, Christian Hadinata mengeluh betapa sulitnya mereka
berlatih karena lapangan dipakai Pekan Olahraga Departemen
Penerangan.
Tapi Ketua Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) Drs.
Sudirman merasa tidak terlalu terpukul. "Para atlet itu tak
harus selalu menang, ibarat busur panah tak harus tegang terus.
Sekali-kali perlu dilenturkan," katanya kepada TEMPO, ketika
Liem Swie King dan kawan-kawannya tiba kembali pekan lalu.
Sudirman menerangkan bahwa World Games itu bukan target.
Semula ada 11 pemain Indonesia, antara lain Rudy Hartono, Liem
Swie King, Lius Pongoh, Hadiyanto, Tjun Tjun, ohan Wahyudi,
Verawaty, Imelda dan lain-lain yang diundang dengan tanggungan
biaya penyelenggara World Games. Kemudian karena dari Indonesia
berangkat pula atlet karate dan bowling, maka pihak KONI Pusat
mengambil oper, memutuskan pemain mana yang akan dikirim. KONI
telah menilai antara lain Rudy Hartono tidak siap, maka ia
dibatalkan.
Atlet-atlet karate yang memang mendapat bantuan KONI sudah
bersiap 2 bulan sebelum bertanding. Bahkan Federasi Karate
Indonesia (FORKI) sempat mendatangkan seorang Dan VIII dari
Jepang, Kanazawa, untuk memberikan petunjuk latihan teknik
kepada Adven Bangun dan kawan-kawannya.
Di bulutangkis pasangan putra Kartono/Herryanto masih sempat
masuk semi final dan merebut medali perunggu, tapi karateka
Indonesia tak satu pun merebut medali. Ketujuh karateka yang
dikirim, menurut manajer E. Tando, memiliki kemampuan teknik
yang seimbang dengan lawan-lawannya. "Kekurangan mereka ialah
pengalaman bertanding dan keberanian mental melakukan tipuan,"
katanya.
Satu-satunya atlet yang dikirim Persatuan Bowling Indonesia
ialah Winarsih Rahadjo. Istri pilot Penerbangan Sempati dan ibu
seorang putri itu sudah mempersiapkan diri tak kurang dari 5
bulan. Ketua PBI Sutopo Yananto cuma mentargetkan ia lolos
Enambelas Besar. Ternyata Winarsih masuk Delapan Besar bowler
putri dan menduduki urutan ke 5.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini