Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah merampungkan harmonisasi rancangan peraturan pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove.
Ditargetkan terbit pada tahun ini, pembahasan RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove masih diwarnai tarik-ulur kewenangan di antara kementerian.
RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove belum mengakomodasi partisipasi masyarakat dalam perlindungan mangrove.
SAAT laut surut, tampak banyak ikan tembakul atau glodok bermain lumpur di kawasan mangrove sekitar 400 meter sebelah barat pelabuhan penumpang Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara. Ikan amfibi itu melompat ke sana-kemari, bahkan memanjati akar bakau. "Dulu ikan glodok sempat menghilang dari kawasan sini," kata Rahmat Zainal, Sekretaris Komunitas Mangrove Muara Angke (Komma), sembari menunjukkan kondisi area perlindungan mangrove kelompoknya, Rabu sore, 14 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kembalinya ikan glodok dan satwa lain ke kawasan itu tidak lepas dari usaha Rahmat dan kawan-kawan menanam mangrove. Komma, kata pria 48 tahun itu, mengelola area seluas 4 hektare yang diberi nama Kawasan Hutan Mangrove Ecomarine Muara Angke. Lokasinya di ujung gang RT 06 RW 22, Jalan Dermaga Ujung 1, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. "Yang sudah ditanami ini seluas 2 hektare dengan lebih dari 60 ribu pohon," tutur Rahmat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rahmat mengenang, sekitar 15 tahun lalu, wilayah tersebut dipenuhi sampah. Pada 2010, ia bersama warga kampung nelayan pun tergerak melakukan penanaman mangrove pertama. Rahmat mencari bibit secara swadaya di hutan mangrove di Pantai Indah Kapuk. "Dari 100 bibit yang kami tanam, hanya 30 pohon yang bertahan hidup sampai sekarang. Penyebab gagal tumbuhnya bibit yang lain adalah cuaca panas dan air pasang," ucapnya.
Tiada vegetasi penahan gelombang air laut, pesisir Muara Angke mengalami abrasi cukup parah. Akibatnya, kata Rahmat, air pasang kerap menggenangi rumah warga. Setelah mangrove ditanam terus-menerus dan mulai banyak yang tumbuh, problem rob itu berangsur-angsur teratasi. "Sekarang sudah mulai tumbuh mangrove dan hijau kembali," ujar Rahmat.
Upaya Rahmat dan Komma ini menjadi contoh partisipasi masyarakat dalam penyelamatan mangrove yang kian menyusut. Merujuk pada MapBiomas, platform analisis transisi tutupan dan fungsi lahan berbasis citra satelit yang dikembangkan Yayasan Auriga Nusantara, dalam 22 tahun terakhir hutan mangrove seluas 87.881 hektare telah bersalin rupa menjadi tambak. Kawasan mangrove yang hilang itu hampir setara dengan satu setengah kali luas wilayah DKI Jakarta.
Rahmat Zainal di kawasan mangrove Muara Angke yang dikelola oleh Ecomarine Tourism Mangrove (KOMMA) di Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, 21 Februari 2024/Tempo/Irsyan Hasyim
Rahmat berharap pemerintah melahirkan regulasi yang bisa mempertahankan wilayah tutupan mangrove di Indonesia. Menurut dia, peraturan tentang perlindungan dan pengelolaan mangrove itu harus memiliki perspektif partisipasi masyarakat. "Saya malah bermimpi setiap wilayah yang ada mangrove-nya punya kampung mangrove," ucapnya.
Menurut dia, dengan adanya kampung mangrove, masyarakat sekitar bisa mendapat penghidupan dari konservasi mangrove. Rahmat menyebutkan, tanpa melibatkan masyarakat sekitar, upaya mempertahankan luasan mangrove bakal sia-sia. "Coba lihat mangrove Pantai Indah Kapuk yang dulu 65 hektare, sekarang hanya tersisa 25 hektare. Hal itu terjadi karena masyarakat tidak dilibatkan dalam pengelolaan dan pemanfaatannya," tuturnya.
Rahmat memberi contoh upaya konservasi mangrove yang bisa memberi manfaat bagi warga sekitar. Salah satunya pemanfaatan lahan mangrove untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. "Kami pernah mencoba membuat tambak, tapi limbahnya yang jadi tantangan," ujarnya. Tambak itu menggunakan konsep silvofishery, yakni penggabungan budi daya ikan nila dan bandeng dengan tanaman mangrove.
Usaha yang diinisiasi pada 2017 itu tidak berlanjut karena pencemaran yang terjadi. "Kami sudah dua-tiga kali panen. Tapi, karena ada limbah oli dari perahu yang lalu-lalang di pesisir, hasil panen ikut terkena dampak," kata Rahmat.
Rahmat dan kawan-kawan tak menyerah. Ia mencoba pemanfaatan lain dengan mengolah buah mangrove menjadi dodol dan sirop. Komunitasnya pun mengajak warga sekitar belajar mengolah mangrove sebagai bahan baku batik. "Lumayan karena warga sudah bisa buat pola batik dasar. Kami belum berani memperbesar pemanfaatan karena masih terhambat kendala bahan baku."
Pemanfaatan mangrove sebagai sumber ekonomi dan untuk menjaga alam juga dilakukan Amin Abdullah di Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Amin memilih usaha tambak tradisional dengan lahan seluas 4,5 hektare. Lahan itu ia bagi menjadi 60 persen area tambak dan 40 persen tetap hutan mangrove. "Mangrove itu menjadi sumber pakan bagi ikan nila, udang, dan kepiting," ucapnya melalui sambungan telepon, 30 Januari 2024.
Amin, 57 tahun, membuat lahan tambaknya menjadi empat petak. Petak pertama ia isi dengan udang vaname. Lalu isi petak kedua dibuat campur sari udang vaname dan ikan nila. Di petak ketiga, ia menebar udang vaname dan ikan bandeng. Sedangkan petak keempat berisi kepiting bakau. "Hasilnya lumayan buat biaya sekolah anak-anak," ujar Amin, yang biasa memanen 50 ribu udang vaname per hektare dalam tiga bulan.
Dadan Mulyana, ahli ekologi hutan Institut Pertanian Bogor (IPB University), Jawa Barat, mengatakan pelibatan masyarakat dalam konservasi mangrove belum terakomodasi dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove yang tengah digodok Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). "Peran masyarakat itu berupa keuntungan yang bisa didapatkan jika mempertahankan mangrove. Tanpa itu, bakal sia-sia penyusunan regulasinya," kata Dadan melalui sambungan telepon, 15 Februari 2024.
Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan KLHK Dyah Murtiningsih menjelaskan, penyusunan RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (PPEM) merupakan kebutuhan mendesak untuk menghadapi ancaman seperti pengalihan fungsi; memberikan manfaat ekologi, misalnya menahan abrasi; mendapatkan peluang terkait dengan nilai ekonomi karbon; serta menjamin kepastian hukum bagi para pemangku kepentingan.
Anak-anak bermain di kawasan mangrove Muara Angke yang dikelola oleh Ecomarine Tourism Mangrove (KOMMA) di Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, 21 Februari 2024/Tempo/Irsyan Hasyim
RPP PPEM, Dyah menambahkan, disusun sebagai aturan pelaksana Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penyusunannya menggunakan pendekatan ekosistem atau lanskap, bukan pendekatan sektoral. "RPP disusun secara sistematis, terpadu, dan komprehensif dengan ruang lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pengawasan, yang didukung kelembagaan dan tata kelola serta peran serta masyarakat dan pendanaan," tutur Dyah melalui jawaban tertulis, 16 Februari 2024.
Dyah mengatakan tahap harmonisasi rancangan ini telah rampung. Saat ini, dia menambahkan, rancangan tersebut sedang disiapkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk disampaikan kepada Presiden Joko Widodo. Dia mengungkapkan, penyusunan RPP itu telah melibatkan lembaga lain, di antaranya Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta pemerintah daerah. "RPP diharapkan dapat segera disahkan pada tahun ini."
Menurut Dyah, sejak awal 2022, RPP PPEM dibahas secara intensif untuk menyempurnakan substansi dan kesepahaman antar-kementerian/lembaga dan pihak-pihak lain. Harmonisasi yang dilakukan, dia menerangkan, meliputi regulasi yang berada di bawah kewenangan Kementerian Kelautan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Agraria. "Diberi masukan substansial untuk diintegrasikan dalam implementasi peraturan perundang-undangan, seperti perencanaan pembangunan serta penataan ruang dan pengawasan," ucapnya.
Salah satu poin terpenting dalam aturan ini, menurut Dyah, adalah pemetaan wilayah potensial mangrove dan bukan mangrove. Wilayah itu ditentukan dengan analisis Kesatuan Lanskap Mangrove. "Indikator yang kami pakai antara lain keberadaan hamparan ekosistem mangrove yang ada sesuai dengan Peta Mangrove Nasional yang diperbarui setiap tahun serta sistem lahan yang berasosiasi dengan mangrove dan/atau pesisir."
Ihwal pemberian sanksi bagi pelanggar aturan konservasi mangrove, Dyah menyebutkan secara umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah memuatnya. “RPP PPEM memberikan detail untuk sanksi administratif sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan peraturan perundangan terkait, meliputi teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan persetujuan lingkungan, dan pencabutan persetujuan lingkungan.”
Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono Prawiraatmadja mengatakan pihaknya turut aktif memberikan masukan substansial dalam penyusunan RPP PPEM. BRGM terutama memberikan perspektif tantangan di lapangan untuk pelaksanaan aturan pengelolaan ekosistem mangrove. Masukan itu antara lain mengenai penetapan fungsi ekosistem mangrove dan pengaturannya baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.
Hartono juga mengingatkan bahwa regulasi pengelolaan mangrove tersebut bersifat lintas kementerian. Selain itu, penting untuk mengakomodasi kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. "Kami juga meminta pengoptimalan peran pemangku kepentingan, termasuk kelompok masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor privat. Juga insentif dan disinsentif bagi masyarakat," kata Hartono melalui jawaban tertulis, 15 Februari 2024.
Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KKP, Muhammad Yusuf/twitter.com/@lpsplsorong
Sebagai pihak yang berwenang mengawasi mangrove, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan Muhammad Yusuf mempertanyakan batas kewenangan yang diatur dalam RPP PPEM. Menurut dia, jika merujuk pada regulasi yang ada, kewenangan KLHK dalam pengelolaan mangrove terbatas di kawasan hutan. Dia mengatakan indikator kesatuan lanskap mangrove dalam rancangan peraturan tersebut hanya bersifat rekomendasi. "Di luar kawasan hutan itu tidak ada kewenangan KLHK," kata Yusuf melalui sambungan telepon, 15 Februari 2024.
Ihwal kewenangan ini, dalam rapat harmonisasi yang berlangsung pada 4 Januari 2024, Yusuf telah mengusulkan kepada Kementerian Hukum untuk merujuk kembali pada regulasi lain yang telah lebih dulu mengatur mangrove. Menurut dia, jika mangrove berada di laut, rujukannya adalah peraturan tentang rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi. Sedangkan mangrove yang berada di daratan harus diatur dalam peraturan daerah tentang rencana tata ruang dan wilayah.
"Tentunya KLHK hanya bisa merekomendasikan ke peraturan daerah. Jika itu bukan pemanfaatan mangrove atau budi daya, direkomendasikan untuk perlindungan mangrove," ucapnya. Selain itu, Yusuf menyebutkan RPP PPEM jangan sampai bertabrakan dengan peraturan presiden tentang sempadan pantai. Peraturan tersebut menyatakan wilayah mangrove masuk kategori area yang dilindungi, bukan sebagai kawasan lindung, sehingga pemerintah daerah berwenang memanfaatkannya bagi kehidupan masyarakat sekitar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tarik-Ulur Regulasi Mangrove"