Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Dunia Manusia dan Binatang dalam Patung Perunggu Gregorius Sidharta

Karya-karya patung perunggu G. Sidharta dari berbagai periode disajikan di galeri Art Agenda dalam pameran bertajuk "Unearthed".

25 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YESUS dan Buddha. Di dalam ruangan kecil galeri Art Agenda, dua karya (almarhum) Gregorius Sidharta itu diletakkan dalam jarak dekat. Sosok Yesus itu bukanlah Yesus yang kita kenal. Rambutnya pendek. Matanya terpejam. Kepalanya terkulai ke bahu kanan. Dua tangannya terentang seperti tersalib. Namun baik tangan kanan maupun kirinya hanya sejengkal—tak utuh—dan dari samping terlihat bolong. Lekak-lekuk belitan kain bawahnya menonjol. Di kayu cokelat salib, palangnya tak terlihat lantaran tertutup kedua tangan Yesus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun Buddha menunjukkan seorang rahib bersila dalam posisi meditasi. Tangannya terkatup di depan dada. Sebuah sikap anjali umum tanpa mudra spesifik. Bukan di atas lapik ataupun bantalan lotus, ia duduk di atas punggung kura-kura. Bante yang tengah bersemadi itu diletakkan G. Sidharta dalam sebuah lingkaran roda atau kemudi. Jelas ini adalah simbol roda dhamma atau dharmacakra yang melambangkan perputaran ajaran Buddha yang terus bergerak tak henti untuk menyelamatkan umat manusia. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kedua karya perunggu itu bertarikh 2004 dan 2003. Artinya, keduanya dibuat cuma dua-tiga tahun sebelum G. Sidharta wafat pada 2006. Dari 15 karya yang dipamerkan, setidaknya enam patung bertarikh 2000-an, sementara sisanya dibuat pada 1980 hingga 1990-an. Karya terlama bertarikh 1982.

Sang Buddha karya seniman Gregorius Sidharta. Tempo/Hilman Fathurrahman W

Lokasi pameran, Art Agenda, baru diluncurkan pada 3 Februari 2024. Bertempat di Menteng, Jakarta Pusat, galeri kecil ini adalah bagian dari sederet galeri anyar yang menempati ruang-ruang Wisma Geha yang sebelumnya merupakan perkantoran. Mereka menamakan diri Art Hub.  

Di ruang bawah tanah, terdapat galeri Rubanah. Adapun di lantai 1 ada Andi Gallery, di lantai 2 terdapat Jagad Gallery, dan di lantai 3 berdiri Rachel Gallery, V&V Gallery, Artloka, serta Slab. Art Agenda dan Unicorn Gallery menempati lantai 4. Dengan menampilkan karya G. Sidharta dalam pembukaan, tampak selanjutnya Art Agenda akan memusatkan perhatian pada seri karya modernisme. Sepanjang Art Hub berdiri, agak jarang karya maestro modernisme ditampilkan. Karya (almarhum) Sudarso pernah dipamerkan di Rubanah, meski hanya tiga-empat lukisan yang ditampilkan.  

G. Sidharta sendiri sejak 1950-an sampai sebelum wafatnya kerap menggarap sosok Yesus, baik bersalib maupun tanpa salib. Bahkan salah satu karyanya dikoleksi Keuskupan Agung Semarang. Menjelang wafatnya, saat didera penyakit kanker paru-paru, ia membuat karya Kristus disalib tanpa salib berjudul Salib Kedamaian. Namun jarang terdengar dia menggarap tema Buddha. Yang menarik, dari informasi pameran bertajuk “Unearthed” ini, patung Buddha di sini adalah edisi ketiga dari tujuh seri yang dibuatnya.

Sebanyak 13 karya lain G. Sidharta bertema seputar manusia dan binatang. Ada sosok yang mendekati realis, tapi lebih banyak karya yang abstrak figuratif. Kalau mengamati Ayah dan Anak (2001), akan kita dapatkan impresi figur lelaki berotot berdiri tegap. Mulutnya terkatup. Wajahnya memandang ke depan. Gumpalan-gumpalan dada sampai perut mengesankan keperkasaan dan kejantanannya. Ia memanggul anak kecil di bahu kirinya. Tangan kirinya berkacak pinggang. Sang anak menengok ke arah kiri. Bandingkan patung ini dengan patung Ibu dan Anak (1999). Sementara Ayah dan Anak menampilkan kekokohan dan ketegaran, Ibu dan Anak menyajikan kelembutan. Di sini kepekaan G. Sidharta mengolah kualitas maskulin dan feminin demikian terasa.

Patung karya seniman Gregorius Sidharta dipamerkan dalam pameran bertajuk Unearthed di Art Agenda, Jakarta, 23 Februari 2024. Tempo/Hilman Fathurrahman W

Yang menonjol adalah Pembangunan Hari Depan (2004) karena ukuran patung ini lebih besar daripada yang lain. Patung itu berupa dua sosok jangkung dengan volume kepala kecil serta dada bidang dengan kotak-kotak kekekaran yang sama-sama mengangkat tangan mereka hingga melekat. Pinggang dan kaki mereka yang berotot juga melekat. Dua tubuh yang terhubung satu sama lain. Gagasan penyatuan ini bukan sekadar fisik, tapi juga rohani. G. Sidharta tampak berbicara tentang sesuatu yang spiritual. Hal yang sama bila kita melihat Berpelukan (1987). Dua sosok berpelukan. Kita melihat seluruh tubuh satu orang dari sisi belakang dari kepala, punggung, sampai kaki. Sedangkan orang yang lain hanya terlihat kepalanya saja di depan seseorang tadi yang tangannya merangkul erat.  

Pada beberapa patung, G. Sidharta agaknya mencari sosok yang sederhana, elementer, tapi ia deformasi terutama panjang dan kotak-kotak dada serta gumpalan ototnya. Para pelukis abstrak senantiasa mencari bentuk-bentuk dasar realitas. Agaknya G. Sidharta, untuk sosok manusia, menemukannya dari khazanah Nusantara. Dalam dunia totem dan patung suku pedalaman, sering kali patung-patung arwah diekspresikan dengan sosok anatomi sederhana, tanpa aksesori, kepala dan tubuhnya polos. Terkesan magis. 

Hal itu terasa pada karya Tapir (2005). Ini karya yang sangat imajis, surealis. Sesosok manusia kecil menunggangi tapir raksasa. Ia duduk di atas pelana dengan rileks dan sikap tangan anjali. Cara G. Sidharta menggarap moncong tapir mengingatkan pada wujud-wujud makhluk antah berantah dalam dunia dongeng. Makhluk buas. Mulutnya terbuka, giginya runcing, kupingnya terangkat. Badak babi ini akan menyeruduk siapa saja yang menghalangi. Pemilihan tapir sebagai sebuah wahana pun menarik—biasanya, dalam folklor atau legenda, hewan tunggangan adalah garuda, gajah, atau harimau. Karya ini juga menampilkan keakraban manusia dan hewan sebagaimana Buddha sebelumnya, yang duduk di atas penyu. 

Selain Tapir, ada patung Kuda (1987). Kita lihat Sidharta mendeformasi leher kuda lebih panjang dari tubuhnya sehingga memberinya kesan sebagai makhluk mitologis. G. Sidharta juga mematungkan unggas sehari-hari, tapi tetap tak sekadar representasional. Lihatlah seri ayam jago. Ekspresinya tidak lazim. Selalu ada percobaan pemiuhan. Bagian-bagian tubuh tertentu saat sang jago yang membusung dideformasi. Materi pameran ini pernah ditawarkan di Lelang 33 Auction milik Linda Gallery, Jakarta, dua tahun lalu. Tampaknya karya yang belum laku dibawa untuk pembukaan galeri anyar ini. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dunia Manusia dan Binatang G. Sidharta"

Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus