JENGKEL melihat orang yang mengepungnya, gajah itu menjulurkan belalai, mematahkan pucuk tebu, lantas melontarkannya ke udara. Akhir minggu lalu, binatang-binatang yang merusakkan kebun tebu milik PT Gunung Madudan Gula Putih Mataram ini masih harus digiring 20 kilometer lagi untuk sampai ke Taman Nasional Way Kambas, habitatnya yang baru di Lampung Tengah. Operasi "Tata Liman" (liman = gajah), yang menghalau gajah ke Way Kambas, baru pekan silam berhasil membebaskan kebun tebu dari ancaman binatang-binatang besar ini. Daerah tebu berada 150 km di sebelah timur laut Tanjungkarang. Sebetulnya, sudah sejak setahun lampau kebun-kebun di kawasan ini sering didatangi gajah yang semena-mena memakani tebu. Konon, makanan jatah mereka di hutan kian langka. Ir. Syarif Bastaman dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung Tengah yang memimpin operasi itu mengatakan, jumlah gajah yang kelaparan sekitar 50 ekor. Perusakan kebun kian memuncak sejak pertengahan April lampau. Sedangkan pengiringan gajah kali ini, menurut Ir. Syarif, lebih sulit dibandingkan Operasi Ganesha 1981 lalu. Daerah yang dilintasi, selain kebun tebu, juga perkampungan penduduk. "Pengiringan harus dilakukan berhati-hati," katanya. Lagi pula, setelah diusir berulang kali, gajah itu balik lagi. Menurut Syarif, binatang itu tak mau pergi karena keenakan melahap tebu. Operasi tahap pertama, selama 10 hari berskhir 6 Mei silam -- melibatkan anggota ABRI dan penduduk daerah itu yang keseluruhannya berjumlah 120 orang. Karena gajah-gajah ada yang tidur di kebun tebu, petugas harus melepaskan tembakan untuk membangunkannya," ujar Syarif. Menurut sebuah sumber di PT Gula Putih Mataram, sekiranya operasi itu tak menggunakan kekerasan -- dengan tembakan dan memakai traktor -- kerusakan kebun tebu tidak akan terlalu besar. Mengapa? Ketika tembakan dilepaskan, binatang-binatang itu berpencar, dan akibatnya penggiringan kian sulit dilakukan. Hingga kini belum diketahui berapa kerugian Gunung Madu dan Gula Putih Mataram. Tapi sumber di BKSDA Tanjungkarang memperkirakan, kerugian pabrik gula itu sampai Rp 1 milyar. "Angka positif belum ada. Yang jelas, ratusan juta rupiah," katanya lagi. Tebu milik kedua perusahaan itu sekarang sebetulnya sudah bisa dipanen. Areal kepunyaan Gunung Madu yang rusak sejak awal tahun ini saja mencapai 100 hektar. Cara menghalau binatang itu dengan letusan? tampaknya, masih diteruskan pada operasi tahap kedua yang dimulai Jumat pekan lampau. Ir. Syarif memang sudah melarang anggota tim dari ABRI melepaskan tembakan. Tetapi rombongan yang dalam operasi tahap kedua ini berjumlah 90 orang itu dibekali juga dengan mercon berukuran sedang. Peledak jenis ini mungkin akan dimanfaatkan juga dalam operasi yang diperkirakan memakan waktu 10 hari lagi. Sebetulnya, kawasan yang dipakai untuk perkebunan tebu itu dahulunya adalah daerah lingkungan hidup gajah Lampung. Mungkin, karena itu, Dr. R. E. Soeriaatmadja, dosen ekologi ITB dan staf Menteri Negara PPLH, mempersalahkan manusia. "Selama ini," katanya, "gajah itu hanya merupakan faktor eksternal dalam perencanaan proyek." Menurut dia, ketika membuka lahan untuk transmigrasi ataupun perkebunan, masalah kehadiran gajah seharusnya diperhitungkan. Soeriaatmadja khawatir, penggiringan seperti itu akan menjadi hal yang rutin, jika tak diperhitungkan dalam perencanaan pembangunan. "Kalau terus-terusan dihalau dan digiring, binatang itu akan mati misterius," tambahnya. Di Lampung sekarang terdapat dua habitat gajah yakni: Lampung Selatan dan Way Kambas, Lampung Tengah. Ir. Syarif memperkirakan populasi binatang ini di Lampung sebanyak 500 ekor. Dengan kedatangan kawanan gajah, Taman Nasional Way Kambas menurut rencana akan dilengkapi pagar kawat yang diberi aliran listrik. Ini untuk mencegah makhluk malang itu supaya tidak keluar dari taman tadi. Menurut Direktur Jenderal Perlindungan Hutan, Prof. Rubini Atmawijaya, stroom yang dialirkan di situ tidak akan mematikan para gajah. Untuk mengawasi hutan dan faunanya, kata Rubini, tahun ini Departemen Kehutanan akan mengangkat 12.000 anggota polisi khusus. Dalam rapat Departemen Kehutanan di Jakarta belum lama berselang terlontar pendapat untuk mengurangi jumlah gajah sekarang ini, karena tak sesuai lagi dengan daya dukung hutan. Pendapat itu dibantah Menteri Kehutanan Soedjarwo pekan silam. "Gajah yang masuk kebun tebu itu sebetulnya mencari makanan yang lebih enak," katanya, "bukan karena kecilnya daya dukung hutan." Peristiwa seperti ini juga terjadi satu tahun silam, ketika 33 ekor gajah Padang Sugihan, Sumatera Selatan -- yang dulu dikenal dengan sebutan Lebong Hitam -- memasuki kebun milik transmigran dan menghabiskan palawija. Penerobosan itu terjadi karena saluran penghalang pada waktu itu belum selesai dibuat. Tetapi, gajah-gajah di Lampung Tengah ini boleh jadi tidak hanya sekadar kepingin makan tebu yang manis milik perkebunan Gunung Madu dan Gula Putih Mataram. Belakangan, kabarnya, daerah itu banyak didatangi pemburu yang mencari kijang dan binatang lain. Menurut Ir. Latif, gajah pasti takut mendengar bunyi tembakan. Sebuah sumber lain di Perbakin Lampung mengatakan bahwa kini memang banyak orang yang datang berburu ke daerah itu, asal membayar. Jumlah bayaran? Tidak jelas. Katanya, ratusan ribu rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini