TELEVISI bisa menyebabkan kanker, yang berasal dari gas beracun TBDF atau Tetrabromdibenzofurane. Gas ini muncul dari bahan penahan panas berunsur brom. Itulah yang diungkapkan Menteri Lingkungan Hidup Jerman Barat, John Kuhbier, yang dikutip koran Frankfurter Rundscheau, sewaktu ia bicara dalam suatu seminar di Hamburg belum lama ini. Dari penelitian di kementerian John Kuhbier itu, gas racun tersebut diketahui muncul dari TV yang disetel dan dihidupkan 3 hari terus menerus. Dalam jarak 10 cm dan pesawat TV ditemukan TBDF 11 pikogram, dan sekitar setengah meter ke tengah ruangan bahkan menyebar sekitar 2,7 pikogram. Bila terkonsentrasi dalam satu kubik udara, maka kondisi gas beracun TBDF tadi berubah dalam takaran mikrogram. Racun itu sama buruknya seperti polusi udara di berbagai kota besar yang disebabkan Chloriete dibenzofunare di jalan-jalan yang padat dan macet. Walau TBDF diduga cuma sepersepuluh kadar racun dioksin, akibatnya serupa: bisa menyebabkan kanker. Musibah ledakan sebuah pabrik di Saveso, Italia, 1982, bahkan masih menghantui. Sebab, gas dioksin pabrik bahan kimia itu sempat terhirup para karyawan yang sedang bekerja. Belakangan diketahui bahwa buruh-buruh yang meninggal setelah keracunan itu ternyata menderita kanker pada livernya. Kendati penyebab kanker itu masih diperdebatkan, bukan tak mungkin bila TBDF yang keluar dari TV tersedot melalui pernapasan, lalu masuk dalam tubuh, sehingga tumbuh menjadi kanker. Di Jerman Barat, setiap saat pemiliknya bisa memilih program acara dari 13 saluran televisi, kendati tak semuanya mengudara sepenuh waktu. Tapi dari dua saluran saja, misalnya RTL-Plus dan SAT-1 (mulai siaran sejak pukul 6 pagi sampai pukul 2.30 pagi besoknya) acaranya juga berbagai macam. Ada musik, berita, teknologi, dan berlanjut ke film hiburan. Siaran televisi di sana lain dengan di Indonesia, yang mengudara sore sampai tengah malam saja, kecuali pada hari-hari tertentu. "Kita nonton kan beberapa saat, sore dan malam. Saya kira bahayanya tidak kelihatan. Karena itu, terlalu dini kalau masyarakat di sini ditakutkan dengan gas beracun akibat nonton TV," kata Dr. Ir. Handayani Tjandrasa, Kepala Bidang Ilmu Komputer dan Informatika Pusat Penelitian Institut Teknologi Surabaya. Di ITS itu ia juga mengajar elektronika medikal. Dalam pada itu, Nani Djuaningsih, staf Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Padjadjaran, Bandung, sudah mencari di berbagai literatur, tapi ia tak menemukan persoalan TBDF. Masalah gas beracun itu agaknya cuma muncul di sana saja. Kondisi di Eropa lebih berbahaya, apalagi jika mulai tiba musim dingin. Pintu dan jendela rumah ditutup semua, kemudian pemanas ruangan dijalankan. Ruangan berubah pengap. Panas. Sementara itu, siaran televisi yang dibuka untuk tontonan keluarga itu semakin panas. Di saat itulah TBDF menghambur ke luar. "Waktu pemaparan dan konsentrasinya bisa melewati ambang," ujar Nani. Bisa dibayangkan bila kadar TBDF makin tinggi, terutama pada pesawat televisi yang baru. Menurut Prof. Ketut Karsa, Ketua Laboratorium Radio dan Gelombang Mikro di Institut Teknologi Bandung, penahan panas yang memanfaatkan brom mungkin yang dilapiskan di luar tabung TV yang berwarna kehitam-hitaman itu. "Karena panas, maka unsur bromnya keluar," ujarnya kepada Sigit Haryoto dari TEMPO. Dan gas beracun itu bukan saja muncul dari pesawat TV. Alat komputer serta pengering rambut yang memanfaatkan brom juga bisa menyebarkan racun tadi. Karena itu, masyarakat di Jerman Barat cepat memberi reaksi. Mereka mengadu ke Perhimpunan Konsumen Alat Elektronik, lalu mengusulkan kepada pemerintah untuk meneliti menyebarnya penahan panas yang menimbulkan gas TBDF. Mereka tak ingin tubuhnya berubah berbenjol-benjol disekap kanker dan tumbuhnya mirip pohon kaktus itu. Namun, Fritz Vahrenholt, anggota parlemen di Hamburg, mengimbau supaya masyarakat tidak panik. Sedang Kuhbier menyarankan, setidaknya sementara, beberapa jam setelah TV dinyalakan, maka harus ada udara yang cukup masuk ke dalam ruangan, terutama kalau mereka punya televisi baru. Pemerintah Jerman Barat sejak 1985 seperti dipacu agar membuat peraturan penggunaan dan penanganan akibat barang-barang yang mengandung brom sebagai penahan panas. Namun, hasilnya belum ada yang kongkret hingga kini. Sementara itu, industriwan gerah setelah merasakan ada gelagat yang mungkin memporak-porandakan bisnisnya. Di negara itu banyak merk televisi terkenal beredar. Misalnya Blaupunkt, Grundig, Philips, Orion, Panasonic, ICE (bikinan Jerman Barat), dan Samsung (Korea). Dan produk-produk itu mulai mengurangi konsentrasi brom. Bahkan di antara produsennya kini berusaha menguji kembali penggunaan brom sebagai bahan penahan panas. Memang, Indonesia belum mampu membuat tabung televisi sendiri. Masih impor. Dan tentang brom yang berbahaya itu, menurut Ketut Karsa, jangan mudah per-caya pada yang telah diteliti di Jerman Barat itu. "Walau demikian, pemilik televisi perlu juga lebih berhati-hati," katanya.Suhardjo Hs., Zed Abidien (Surabaya), Andriono (Jerman Barat)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini