HEBOH mayat dipotong tujuh selama Ramadan belum tuntas terjawab, sampai Lebaran pekan ini. Sampai kini yang hampir bisa dipastikan barulah si korban, yaitu Nyonya Hodiah alias Diah, guru TK Trisula Jakarta. Tapi alasan mengapa ibu guru itu harus dibunuh, apalagi dipotong-potong, tak terjawab. Tanda tanya besar memang tertuju kepada suami Diah, Agus Nasir, yang sampai kini menghilang. Sampai pekan terakhir menjelang Lebaran, polisi dan juga keluarganya masih sibuk mencari kepala SMA Muhammadiyah Kemayoran itu. Kedua anak Agus dan Diah, lis, 25 tahun, dan Chandra, 20 tahun, juga mengharap ayahnya cepat kembali. "Kami juga berharap Bapak bisa berkumpul bersama kami lagi," kata lis. Hanya saja, kedua anak itu tak percaya bahwa ayah mereka tega membunuh istrinya -- atau ibu kedua anak itu. Sebab? sehari-hari Agus itu dikenal anaknya sebagai orang pendiam, penyabar, dan rukun bersama istrinya. "Mustahil. Tidak mungkin Bapak membunuh Ibu," ujar Iis dan Chandra menyangkal. Kecurigaan bahwa Agus terlibat atau setidaknya tahu pembunuhan itu bermula dari kedatangan Agus bersama anaknya, Iis, ke RSCM untuk mengecek mayat itu. Ketika dokter bedah mayat memperlihatkan kepala korban, Agus menyangkal bahwa mayat itu istrinya, yang menghilang dari rumah sejak 7 April lalu -- sehari sebelum mayat itu ditemukan. Padahal anaknya, Iis, yang hanya melihat foto mayat, mencurigai korban adalah ibunya. Ternyata hasil penelitian tim ahli forensik RSCM memastikan mayat itu benar Nyonya Diah, 46 tahun. Anehnya, setelah itulah Agus, 54 tahun, menghilang. Tentu saja kecurigaan semakin tertuju kepadanya. "Kalau tidak merasa bersalah, mengapa harus menghilang?" kata Direktur Serse Mabes Polri, Brigjen. Koesparmono Irsan. Apalagi sebelum menghilang itu ia -- dua hali setelah potongan mayat ditemukan diam-diam memintakan izin untuk istrinya ke TK tempat Diah bekerja. Dan sehari sebelum ia-sendiri menghilang, ia membayar utang istrinya dan sekaligus pula pamitan di tempat ia bekerja. Tapi kecurigaan itu dibantah keras oleh kedua anak Agus. Pada Jumat 7 April subuh itu, menurut mereka, ayah dan ibunya masih tidur bersama. Ketika Agus terbangun, sekitar pukul 9 pagi, ia tak menjumpai istrinya. Semula Agus menyangka istrinya hanya pergi ke Pasar Genjing, yang tak jauh dari rumahnya di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Ternyata, hingga habis salat Jumat, ibu tiga anak itu tak juga muncul. Pergi tanpa pamit, menurut anaknya, bukanlah kebiasaan Diah. Wanita itu bila pergi selalu meninggalkan memo di atas kertas, yang ditempelkan di balik kaca lemari. Karena itu, sehabis Jumatan, Iis dan Chandra mencari ibunya ke rumah famili mereka di Rempoa, Jakarta Selatan. Tapi nihil. Sementara itu, Agus, kata mereka, sepanjang Jumat itu seharian di rumah. Begitu pula pada Sabtu keesokan harinya. "Bapak menunggu Ibu, agar kalau Ibu pulang tak kecewa, karena Bapak tak ada di rumah," kata Chandra tersendat-sendat. Kalau cerita Iis dan Chandra benar, sangat kuat alibi Agus: ia bukan orang yang membunuh istrinya -- sekurangnya bukan pelaku langsung. Sebab, mayat dipotong tujuh itu ditemukan Sabtu, 8 April, pagi sekitar pukul 7. Berdasarkan penyidikan, korban dibunuh antara pukul 01.00 dan 04.00 dinihari. Karena ibunya tak ditemukan di Jakarta, pada Sabtu itu Iis mencarinya ke rumah orangtua Diah di Bandung. Sebelum, Iis berangkat, Agus sempat berpesan agar jangan lama-lama di Bandung, cukup tiga hari saja. Selain itu, "Jangan bilang apa-apa pada orangtua Diah, nanti mereka malah bingung," petunjuk Agus. Ternyata Iis berada di Bandung sampai delapan hari. Selain karena merasa agak sakit, Iis juga masih kangen dengan anak dan istrinya, yang memang berdiam di kota itu. Celakanya pula, selama itu ia tak pernah membaca koran. Ia rupanya tak menganggap terlalu serius kepergian istrinya. "Saya tak punya firasat buruk apa-apa," katanya. Sementara itu, Agus dan dua anaknya yang lain di Jakarta merasa bahwa Iis sudah menemukan ibunya di Bandung. Karena itu, sehari menjelang liburan TK usai, 11 April, Agus memintakan izin istrinya itu ke kepala sekolah tempat Diah bekerja. "Bapak memintakan izin ke sekolah Ibu, karena kami menyangka Ibu selamat di Bandung," tutur Chandra. Ketenangan keluarga itu baru terusik setelah lis pada 17 April kembali dari Bandung. Keluarga itu panik. Esoknya, Agus, Iis, dan seorang familinya mendatangi RSCM untuk melikat mayat dipotong tujuh, yang waktu itu masih belum ketahuan identitasnya. Di kamar mayat itu hanya Agus yang boleh melihat kepala mayat itu. Di situlah Iis, yang hanya diperkenankan petugas melihat foto mayat, menduga korban adalah ibunya. Sementara Agus sendiri, yang melihat kepala korban, menyangkal wanita itu istrinya. Tapi, menurut Iis, ketika ayahnya meninggalkan kamar mayat, wajahnya seperti ketakutan. Karena itu, Iis penasaran dan mendesak petugas agar diperkenankan melihat wajah mayat itu. Tapi lagi-lagi permintaannya ditolak petugas. Sore hari, sepulang mereka dari RSCM, seorang tetangga bertamu ke rumah Agus. Ia menyarankan agar Agus aktif mencari istrinya, karena mayat potong tujuh itu mulai dikaitkan dengan istrinya, Nyonya Diah. Si tamu juga mengingatkan kesulitan yang akan ditemui Agus bila polisi sudah turun tangan. "Hidung Pak Agus nanti bisa pindah ke sini. Malah, bisa-bisa kuku Bapak akan dicabuti," katanya. Lelucon tetangga itu rupanya termakan oleh Agus. Ia kaget dan air mukanya berubah. "Benar juga, Pak," sahut Agus. Esoknya, Agus memang pergi, setelah pamit ke sekolah tempatnya bekerja. Kabarnya, Agus sempat sehari muncul di Bandung. Kepada seorang familinya ia bersumpah: "Saya bukan pembunuhnya." Tapi hingga Rabu pekan ini Agus belum kembali. Ada dugaan bahwa ia bersembunyi karena takut diperiksa polisi. Tapi ada pula yang menduga Agus takut kepada pembunuh yang sebenarnya ia ketahui. Dari situ, spekulasi seperti di atas bermunculan. Ada yang menyangka ia terlibat langsung dalam pembunuhan itu dengan mengupah pembunuh bayaran. Ada yang menyebut Agus, yang konon beristri dua, pencemburu, karena Diah, yang berwajah cantik, dikenal ramah dan banyak teman pria. Bahkan ada yang menduga Agus menghabisi istrinya itu di rumah mereka di BTN Depok. Semua sangkaan itu dibantah keras oleh anak-anaknya. "Semua itu tak benar. Kami sakit mendengar tuduhan itu," kata Iis. Rumah BTN di Depok itu, misalnya, belum ada. "Baru dalam proses akad kredit," kata Chandra. Ia juga tak yakin ayahnya beristri dua, apalagi sampai membunuh Diah. Semua tuduhan itu membuat anak-anak Diah sedih.Widi Yarmanto, Moebanoe Moera, Tommy Tamtomo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini